GURU PELAJARAN IPA/PASPAL
Pagi itu, Renata berjalan cepat menuju Pasar Karangayu untuk membeli beberapa bahan keperluan tugas sekolah. Ia tak menyadari ada seseorang yang mengikutinya dari belakang dengan napas terengah-engah.
“Rena… tunggu…” seru suara yang ia kenal. Renata menoleh dan mendapati Faisal sedang berlari kecil menghampirinya, dengan wajah kusut dan tubuh sedikit membungkuk, seolah baru lari maraton.
“Sal? Kamu kenapa ngos-ngosan begitu?” tanya Renata heran, menghentikan langkahnya.
Faisal menyeka keringat di dahinya. “Aku… aku belum ngerjain PR fisika. Bantuin dong. Nomor 5, 6, sama 7 belum kelar.”
Renata terkekeh. “Ya ampun. Aku juga belum, tapi cuma nomor 3. Ya udah, nanti di kelas kita cocokin bareng, ya?”
“Makasih, Ren. Semalam aku begadang. Bapak masuk rumah sakit, aku jagain beliau sampai subuh. Makanya otak ini rasanya kosong,” ucap Faisal sambil memegangi lututnya.
Raut wajah Renata berubah. “Pantas kamu kelihatan lelah banget. Semoga bapakmu cepat sembuh, ya. Dan… ya sudahlah, PR bisa dicicil.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan ke sekolah sambil sesekali mengeluh soal pak Handoko, guru fisika yang terkenal killer. Di tengah jalan, Faisal membuka bukunya.
“Eh, kamu tahu nggak sih? PR yang benar itu halaman belakang, soal Efek Rumah Kaca, bukan soal Pemanasan Global kayak yang kamu kerjain itu,” katanya sambil menunjukkan catatannya.
Renata menatap kosong ke arah bukunya. Ia merasa seperti ditampar. “Yah… aku salah ngerjain, dong?”
Faisal mengangguk pelan. “Tenang, PR-ku bisa kamu pinjam. Masih ada waktu di kelas sebelum bel.”
Sesampainya di kelas, suasana sunyi seperti perpustakaan. Siswa-siswa lain juga panik karena salah mengerjakan PR. Rupanya bukan hanya Renata yang salah. Wajah-wajah panik memenuhi kelas Paspal 3. Bahkan Rozikun, si ketua kelas yang biasanya tenang, ikut gelisah.
Lalu, suara motor pak Handoko terdengar di luar. Semua langsung duduk tegak. Beberapa anak piket sigap meletakkan kapur dan penggaris berwarna.
Bel berbunyi. Ketegangan memuncak.
Pak Handoko masuk, membawa setumpuk kertas. “Selamat pagi. Buku PR dikumpulkan. Hari ini kita ulangan dadakan.”
Teriakan protes tak terdengar. Semua diam membisu. Rozikun memberanikan diri bertanya, “Pak, ini PR-nya… bagaimana?”
Pak Handoko hanya tersenyum. “Kerjakan saja ulangannya. Bapak akan keluar sebentar. Jangan gaduh.”
Begitu pak Handoko keluar, kelas berubah jadi ruang strategi. Bisik-bisik, saling contek, dan beberapa anak bahkan buka buku diam-diam. Renata dan Faisal saling mencocokkan jawaban.
“Nomor tiga?” bisik Renata.
“Tenang, udah kuisi. Tinggal salin aja,” jawab Faisal sambil menyodorkan kertasnya.
Waktu berjalan cepat. Ketegangan sedikit mereda saat semua sadar: mereka bisa saling bantu.
Di luar dugaan, ternyata pak Handoko sedang ke rumah sakit. Istrinya baru saja melahirkan anak pertama mereka setelah sepuluh tahun menikah. Seluruh guru menyambut kabar itu dengan gembira.
Setelah pelajaran fisika, bu Dewi, kepala sekolah, masuk dan memberi kabar tersebut kepada kelas. “Anak-anak, kalian tahu kan pak Handoko sudah lama menikah dan hari ini, jam lima pagi, beliau dianugerahi putra pertama.”
Seketika kelas penuh dengan tepuk tangan dan senyum lega.
“Iya bu, kami sudah menduga, soalnya pak Handoko tiba-tiba kasih ulangan dan pergi cepat,” celetuk Rozikun disambut tawa.
Tak lama, bu Melati masuk kelas. Mata pelajaran berikutnya adalah Kimia. Suasana berubah kembali serius.
“Renata, tolong jelaskan tentang konfigurasi elektron,” perintah bu Melati.
Renata berdiri. Kali ini dia lebih siap. Dengan suara jelas, ia menjelaskan, “Konfigurasi elektron adalah susunan elektron dalam sebuah atom…”
Teman-temannya mengangguk. Meskipun tadi pagi panik karena PR, kini mereka bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Saat jam istirahat, Faisal mendekati Renata. “Hari ini gila banget ya. Ulangan dadakan, PR salah, tapi entah kenapa aku senang.”
“Senang?” tanya Renata sambil menyeruput teh botol.
“Iya. Soalnya kamu bantuin aku. Kamu… baik banget.”
Renata tersenyum, pipinya sedikit memerah. “Ah, kamu aja yang manja.”
Rozikun datang membawa bakwan. “Bakwan spesial dari Renata, siapa cepat dia dapat!”
Anak-anak berebut. Tawa kembali memenuhi kelas. Sesaat, semua beban terasa ringan.
Bel kedua berbunyi. Kali ini giliran pak Wardoyo, guru matematika yang dikenal tegas tapi suka berkelakar.
“Masih lapar atau udah ngantuk?” tanyanya sambil masuk kelas.
“Dua-duanya, Pak!” jawab siswa kompak.
Pak Wardoyo menggeleng sambil tertawa. “Udah, kita mulai aja. Tapi sebelumnya, siapa yang mau menghapus papan tulis, saya kasih bonus nilai.”
Semua tertawa. Bahkan Renata merasa hari itu, meskipun kacau di awal, jadi salah satu hari yang paling mengesankan selama masa SMA-nya.
Di tengah hiruk-pikuk tugas, PR, dan guru-guru galak, ada tawa, ada kerja sama, dan ada kepedulian kecil yang diam-diam tumbuh, antara teman, antara guru, dan juga, mungkin, antara dua hati muda yang belum tahu kalau hari itu akan jadi kenangan manis di kemudian hari.