Api di Halaman DPRD
Langit Makassar sore itu berwarna jingga, udara panas bercampur riuh suara massa yang memenuhi Jalan AP Pettarani. Spanduk terbentang, toa berteriak lantang. Di barisan tengah, Ardi melangkah bersama Dimas, kawan seperjuangannya. Mereka mahasiswa, datang dengan semangat menyuarakan tuntutan rakyat.
“Ini waktunya, Di. Kalau kita tidak keras, suara kita tak akan pernah didengar,” kata Dimas sambil mengepalkan tangan.
Ardi mengangguk pelan. Ia setuju bahwa pemerintah sering tuli, tapi di dalam dadanya ada keraguan. Ia hanya ingin menyampaikan suara, bukan merusak.
Massa makin padat, sorakan semakin keras. Pagar besi DPRD menjulang di depan mereka. Dorongan demi dorongan dilakukan. Ardi terhimpit di tengah, napasnya sesak. Hingga suara logam berderak, pagar itu roboh. Sorak kemenangan pecah. Orang-orang berlari masuk ke halaman.
Ardi ikut terdorong masuk. Detik berikutnya, ia melihat kilatan api. Seseorang menyiramkan bensin ke motor parkir, lalu melempar korek. Dalam sekejap, api menjilat kendaraan. Ledakan ban terdengar, membuat massa makin bergemuruh.
“Hidup rakyat! Hancurkan semua!” teriak seseorang.
Ardi terperangah. Motor demi motor terbakar, asap hitam menggumpal di udara. Di pojok halaman, sebuah mobil putih ikut terbakar. Dimas menepuk bahunya dengan penuh semangat.
“Lihat, Di! Beginilah cara kita kasih pelajaran. Kalau tidak anarkis, siapa yang peduli?”
Ardi menatap api dengan dada bergetar. “Tapi itu motor siapa, Dim? Apa kau yakin punya anggota dewan? Bagaimana kalau milik satpam? Atau pegawai kecil?”
Dimas mencibir. “Kalau korban kecil, itu harga perjuangan. Tidak ada perubahan tanpa pengorbanan.”
Sebelum Ardi sempat menjawab, seorang bapak satpam berlari ke arah kobaran. “Tolong! Jangan bakar! Itu motor saya!” teriaknya. Namun massa mendorongnya hingga jatuh.
Ardi segera menolong, membantu bapak itu bangun. Satpam itu terisak. “Motor itu hasil cicilan tiga tahun. Saya hanya kerja jaga di sini. Kenapa saya yang jadi korban?”
Ardi terdiam. Api terus menjalar, dan di dekatnya seorang perempuan muda menangis. “Itu motor saya juga… habis sudah,” lirih Rina, pegawai honorer DPRD. Wajahnya pucat, matanya merah.
Ardi menoleh ke arah massa. Mereka bersorak gembira, seakan kobaran itu adalah kemenangan. Tapi di depan matanya, yang terbakar justru harapan rakyat kecil.
Malam semakin gelap, api semakin besar. Pos jaga ikut dilalap api. Massa menendang mesin ATM hingga hancur. Suara kaca pecah bercampur sorak sorai.
“Ini revolusi!” teriak seorang demonstran.
Ardi memandang ngeri. Ia mendekati Dimas. “Lihatlah, Dim. Apa kau masih mengira ini perjuangan? Satpam, pegawai, rakyat kecil yang jadi korban. Apa kau pikir dewan takut? Mereka bisa beli mobil baru besok. Tapi rakyat? Mereka kehilangan segalanya.”
Dimas menatapnya tajam. “Kalau tanpa kekerasan, kita dianggap angin lalu. Kau tahu sendiri, aksi damai sudah berulang-ulang, hasilnya nol.”
Ardi menggenggam tangan, suaranya tegas. “Kalau kita anarkis, yang tersisa hanya abu. Orang-orang tidak melihat tuntutan kita, hanya melihat kita sebagai perusuh. Apa kau ingin perjuangan kita dikenang begitu?”
Dimas terdiam sesaat, tapi tatapannya tetap keras.
Suara sirine meraung. Mobil pemadam dan polisi datang. Massa kocar-kacir, sebagian melempar batu, sebagian kabur ke gang. Ardi menolong Rina dan bapak satpam menjauh. Bersama-sama mereka menyaksikan api menghanguskan kendaraan.
Rina menangis, “Mereka bilang ini demi rakyat. Tapi kami rakyat juga. Kenapa kami yang hancur?”
Satpam itu menunduk. “Mereka pikir sedang melawan ketidakadilan. Tapi yang kena justru kami, yang sama-sama rakyat kecil.”
Ardi hanya terdiam, merasa dadanya sesak. Ia ingin menjawab, tapi tidak ada kata yang cukup.
Beberapa jam setelah kejadian, media sosial penuh dengan video kobaran api. Foto motor hangus, ATM hancur, dan pos jaga yang rata dengan tanah viral di mana-mana. Komentar bermunculan. Banyak yang mengecam, tapi tak sedikit juga yang memuji.
“Bagus! Akhirnya ada yang berani lawan pemerintah!” tulis seseorang.
“Kalau tidak anarkis, tidak akan didengar. Salut buat yang bakar!” komentar lainnya.
Ardi membaca dengan tangan gemetar. Ia tahu komentar itu lahir dari kemarahan, tapi ia juga tahu betapa salahnya. Ia baru saja melihat sendiri: yang terbakar bukan mobil pejabat, melainkan motor satpam dan pegawai honorer.
Ia mengetik di akun medsosnya:
“Kalian yang bersorak karena motor terbakar, tahukah siapa pemiliknya? Seorang satpam yang gajinya pas-pasan. Seorang pegawai honorer yang cicilannya belum lunas. Kalian pikir mereka wakil rakyat? Tidak. Mereka rakyat kecil seperti kita. Api memang menarik perhatian, tapi bukan tuntutan kita yang dilihat, melainkan kerusakan. Suara kita justru hilang, tenggelam dalam asap.”
Komentar balasan datang deras. Ada yang mendukung, ada yang mencemooh.
“Kalau tidak ada korban, pemerintah takkan gentar,” tulis seseorang.
Ardi menjawab dengan hati-hati:
“Kalau korban justru rakyat sendiri, perjuangan ini kehilangan makna. Pemerintah tetap bisa beli mobil baru, tapi rakyat kecil hanya tinggal abu. Perjuangan tanpa moral bukan perjuangan, tapi perusakan.”
Malam itu, Ardi tidak bisa tidur. Kobaran api, tangis Rina, wajah satpam itu, semua berputar di kepalanya. Ia sadar, jika dibiarkan, pandangan yang membenarkan anarki akan semakin banyak, mengaburkan batas antara perjuangan dan perusakan.
Esoknya, ia menemui Rina dan bapak satpam. Dengan wajah tertunduk ia berkata, “Maafkan saya. Saya seharusnya mencegah teman-teman saya. Saya salah karena membiarkan.”
Bapak satpam menepuk bahunya. “Nak, kesadaranmu itu sudah cukup. Jangan biarkan generasimu mengulang.”
Rina menambahkan, “Kalau benar ingin perubahan, buktikan dengan cara yang membuat rakyat mendukung, bukan membenci.”
Ardi mengangguk. Kata-kata itu ia simpan di hatinya.
Beberapa hari kemudian, aksi baru digelar. Ardi kembali turun ke jalan. Namun kali ini ia membawa spanduk besar bertuliskan:
“Suara rakyat, bukan api. Perjuangan tanpa anarki.”
Massa berjalan, suara toa menggema, tuntutan dilantangkan. Tidak ada pagar dijebol, tidak ada motor dibakar. Tapi sorakan tetap lantang, bahkan lebih tertib dan lebih kuat. Polisi berjaga, masyarakat menonton.
Ardi tahu, mungkin perjuangan tidak langsung berhasil. Tapi ia juga tahu, anarki bukan jawabannya. Karena ia sudah melihat dengan mata kepala sendiri: yang terbakar bukan hanya kendaraan, tapi juga harapan rakyat kecil.