Cerita SedihCintaDramaFiksiKehidupan

Sepenggal Malam dan Sebait Rindu

Delillah terbangun oleh suara notifikasi Facebook yang berbunyi pelan, namun cukup mengusik tidurnya. Ia mengerjapkan mata perlahan, berusaha fokus walau kacamata masih tergeletak jauh dari jangkauannya.

“Apa sih… malam-malam masih saja menghubungi,” gumamnya setengah kesal, namun rasa penasaran membuatnya tetap membaca, meski huruf-huruf tampak kabur di matanya yang lelah.

Sekilas senyum tersungging di bibirnya, namun ia memilih membiarkan pesan itu tak terbalas. Delillah kembali memejamkan mata, mencoba meraih tidur yang sempat terganggu. Namun, matanya justru enggan tertutup lagi. Ia menghela napas dan beranjak, meraih kacamatanya, lalu kembali membuka pesan itu.

Senyumnya kembali muncul. Kali ini diiringi helaan napas panjang. “Ya Allah… usiaku sudah kepala enam. Tapi mengapa aku masih harus menghadapi ujian seperti ini…” Bisiknya pelan, matanya mulai basah. Air matanya jatuh ketika ia membaca ulang isi pesan itu. “Bikin penasaran saja… Sudah kubilang aku ini sudah tua. Tapi dia tak mau tahu. Katanya, dia akan tetap mencintaiku.”

Jarum jam menunjuk pukul dua lewat tiga puluh. Dengan tubuh yang mulai gemetar karena perasaan yang tak menentu, Delillah bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin berwudhu. Ingin melapor kepada Sang Maha Tahu, tentang gundah yang membebani dadanya.

Malam itu, Delillah melaksanakan salat tahajud. Dua rakaat. Lalu witir satu rakaat. Ia menangis dalam sujudnya, menumpahkan segala resah yang menggulung di hatinya.

“Ya Allah… apapun yang Engkau titipkan padaku… akan aku jalani sebaik-baiknya… Tanpa menyakitinya…”

Air mata membasahi sajadah, namun hatinya mulai terasa lapang. Ia bangkit, mengambil segelas air putih, lalu melangkah ke luar kamar, mengintip ke ruang tengah. Di sana, anak-anaknya masih berkutat di depan komputer, menyelesaikan tugas atau pekerjaan.

Wira menoleh saat melihat ibunya membuka pintu.

“Wah, kebetulan Mama bangun. Bikin nasi goreng dong, Ma…” katanya manja.

Delillah tersenyum lembut. Ia melangkah menuju dapur, mulai menyiapkan bahan-bahan, dan dalam sepuluh menit, aroma harum nasi goreng memenuhi rumah.

Sonya dan Sonia, si kembar, muncul dari kamar mereka, tergoda oleh aroma menggoda.

“Maaa, buatkan juga dong,” pinta Sonya dengan nada manja.

“Nak, ini belum waktunya sarapan. Masih tiga jam lagi.”

“Tapi Kak Wira dibuatin, kenapa aku enggak boleh?” rajuk Sonya.

“Sayang… kamu perempuan. Kondisi tubuhmu berbeda dengan laki-laki. Mama ambilkan air putih saja, ya?”

“Pleaaaase… kali ini aja…”

Delillah menghela napas. Ia tak tega. Akhirnya, dua porsi tambahan nasi goreng pun ia buat. Si kembar ikut membantu menyiapkan jus jeruk sebagai pelengkap. Tawa kecil terdengar di dapur, namun bunyi notifikasi dari ponsel Delillah kembali terdengar. Sonia yang mendengarnya, bertanya pelan,

“Mama, malam-malam gini… siapa sih yang nelpon? Papa kan udah nggak ada…”

Delillah mencoba tenang, menurunkan volume suara notifikasi. Namun ia tahu, anak-anaknya bukan anak-anak kecil lagi.

Sonya ikut bertanya, “Maaa… itu bunyi lagi. Aku ambil, ya?”

“Sudah, sayang. Biarin aja. Nanti Mama lihat sendiri.”

Sonia menyipitkan mata. “Mama punya sesuatu lagi ya…?”

“Ah, kalian ini… makan sana, Mama mau tidur lagi,” tukas Delillah, mencoba mengalihkan.

Namun Sonya menarik tangannya, “Temani kita dulu, dong…”

Delillah pun mengalah. Setelah menemani anak-anak makan, ia kembali ke kamar dan membuka pesan itu sekali lagi.

“Galang…?”

Hatinya bergetar.

Sudah dua tahun berlalu. Mengapa nama itu muncul lagi?

Ia mengetik, “Apa kabarmu? Lama tak mampir… Sibuk ya?”

“Sibuk sekali. Tapi aku tetap memikirkanmu,” jawab Galang.

Percakapan pun mengalir.

“Kapan ke rumah?”

“Bulan depan. Apakah terlalu lama?”

“Terserah kamu. Aku selalu di rumah.”

“Sayang… apakah kamu masih sendiri? Maaf aku memanggilmu begitu.”

Delillah terpaku sejenak, lalu menjawab, “Aku malu. Aku ini sudah kepala enam, Galang.”

“Usiamu tak penting. Aku mencintaimu sejak dulu, dan akan terus begitu.”

Tangan Delillah gemetar saat membaca kalimat terakhir. Lalu satu pertanyaan muncul dari Galang, membuat tubuhnya seperti membeku:

“Apakah aku diperbolehkan menjaga anak-anakmu?”

Delillah tak bisa langsung menjawab. Lidahnya kelu.

Akhirnya ia mengetik perlahan, “Tanya langsung pada mereka. Keputusan mereka adalah keputusanku juga.”


Di kota lain, Galang sibuk mempersiapkan keberangkatannya. Ia memantapkan hati, memberanikan diri untuk mendatangi rumah Delillah di Semarang.

“Ini saatnya…” gumamnya. Ia mengenakan mantelnya, membawa gitar, dan menyalakan lagu dari Modern Talking—musik nostalgia yang membakar semangatnya.


Sesampainya di depan rumah Delillah, ia sempat ragu. Rumah itu tampak sunyi. Ia menelepon.

“Aku di depan rumahmu, Delillah.”

“Sebentar, aku bukakan pintu.”

Begitu pintu terbuka, Galang melangkah masuk. Tak lama kemudian, si kembar pulang dari sekolah. Mereka bersalaman dengan sopan. Namun Wira, anak sulung Delillah, hanya diam dan langsung masuk ke dapur.

Suasana menjadi kikuk. Delillah yang menyadari hal itu segera mengambil inisiatif. Ia memanggil anak-anak, memperkenalkan Galang.

“Kenalkan, ini Om Galang.”

Si kembar bersikap ramah. Tapi Wira tetap dingin. Galang yang tak ingin suasana kaku, mengambil gitarnya dan mulai memainkan lagu. Namun begitu mendengar lagu itu, Wira mendekat dan menyuruhnya berhenti. Wajahnya menegang.

“Itu lagu kenangan kakakku… sebelum kecelakaan,” ucapnya pelan.

Galang terdiam. Ia tak tahu. Ia meminta maaf dengan tulus, tapi Wira sudah masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.

Delillah hanya bisa menatap Galang dengan tatapan meminta maaf. Ia tahu ini tak mudah bagi siapa pun.

Namun si kembar masih ingin mendengar lagu.

“Pelan-pelan saja, ya,” pinta Galang. “Kakakmu sedang sensitif.”

Sonya tersenyum, “Dia memang begitu. Biasa saja, Om.”

Mereka pun bernyanyi lagi. Sementara itu, Delillah masuk ke kamar Wira, mencoba menenangkan anak lelakinya.

“Wira… jangan seperti itu. Kasihan Om Galang. Dia jauh-jauh datang dari Malang.”

“Aku nggak mau kehilangan Mama lagi… Mama harus tetap di sini.”

Delillah terdiam. Ada luka yang belum sembuh di hati Wira, dan ia tahu, waktu yang akan menyembuhkannya.


Cerita mereka masih panjang. Namun malam itu, satu hal yang pasti: hati-hati yang dulu pernah menyentuh, kini perlahan saling menunggu untuk kembali bersatu.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock