DramaKehidupan

Masa Kritis

Naomi terbaring lemah di ruang ICU. Tubuhnya penuh dengan selang infus, kabel, dan alat-alat medis yang bersuara lirih namun menghantui. Setiap bunyi bip dari mesin pemantau membuat hati Liu Kong semakin bergemuruh. Ia berdiri di balik kaca pembatas, tak bisa menyentuh, hanya bisa memandang. Di matanya yang merah, air mata menggantung tak mampu jatuh. Ada duka yang ditahan dalam diam.

Operasi caesar yang harusnya jadi awal kebahagiaan berubah menjadi mimpi buruk. Naomi, yang sehari-hari ceria sebagai pemandu wisata, tiba-tiba pingsan saat kontraksi datang. Komplikasi datang begitu cepat, dan sejak itu, Naomi belum kembali sadar. Tekanan darahnya naik tajam, tubuhnya menolak antibiotik, dan kini hidupnya menggantung pada peralatan medis.

Liu Kong mengepalkan tangannya berulang kali. Ada doa yang terus ia bisikkan dalam hati, ada ketakutan yang tak berani ia ucapkan. Ia hanya ingin istrinya kembali membuka mata. Ia ingin Naomi mendengar bahwa anak mereka lahir dengan selamat, bayi perempuan mungil dengan nama Mimi yang sudah ia bisikkan sejak awal kehamilan.

Di ruang lain, Amanda, ibu Liu Kong, menjaga si kecil. Bayi perempuan itu tampak tenang di dalam inkubator, sesekali merengek seolah memanggil ayahnya. Amanda menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri melalui cucunya. Ia tahu anaknya sedang hancur. Ia tahu, sebagai ibu, tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat anaknya terluka tanpa bisa berbuat banyak.

Ketika malam semakin larut, Naomi tetap tak kunjung sadar. Dalam pingsannya, ia seperti terombang-ambing di antara dunia yang nyata dan dunia lain. Ia berjalan di tempat asing, penuh kabut, bertemu wajah-wajah yang telah lama tiada. Kadang ia merasa berada di sebuah makam, lain waktu ia seperti berdiri di tepi tebing sambil mendengar suara bayinya yang menangis. Di sela kesadarannya, Naomi melihat dirinya sedang memandu wisatawan di depan kuil tua peninggalan Dinasti Qing. Ia berbicara dengan semangat, lalu tiba-tiba terdiam, kehilangan arah.

Sementara itu, Liu Kong menolak pulang. Ia tidur di kursi tunggu, tubuhnya gatal dipenuhi gigitan nyamuk yang tak peduli dengan kelelahan manusia. Ia hanya sempat tertidur sebentar sebelum akhirnya bangun karena lapar, lalu berjalan pelan ke kantin rumah sakit sambil terus menengok ke ruang ICU.

Setiap kali ia melongok ke jendela, harapannya tak pernah pudar, meski tubuh istrinya membengkak, meski wajah Naomi tak lagi seperti dulu. Bahkan ketika dokter datang dengan kabar buruk bahwa tubuh Naomi tak merespons antibiotik, Liu Kong masih berdiri tegak, meski dadanya nyaris runtuh. Ia membutuhkan antibiotik langka yang bahkan tak tersedia di apotek rumah sakit.

Saat kabar datang bahwa masih ada dua tablet tersisa di apotek luar, Liu Kong hampir menangis. Perawat bergegas mengambilnya, dan malam itu, antibiotik baru disuntikkan ke tubuh Naomi. Ia tampak sedikit lebih tenang. Nafasnya tak seberat sebelumnya.

Hari ketujuh, Naomi mulai mengigau dalam tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Amanda yang menjaga si kecil memerhatikan dari jauh sambil terus berdoa dalam diam. Ia belum siap kehilangan menantu yang sudah ia anggap anak kandung sendiri.

Liu Kong masih bertahan di rumah sakit. Sebagai guru, ia mengambil cuti penuh. Ia ingin ada di sana saat Naomi membuka mata. Dan pada pagi hari di minggu berikutnya, harapannya menjadi nyata.

Mata Naomi terbuka pelan.

Tangannya yang lemah menggenggam jemari Liu Kong yang duduk di samping ranjang. Senyuman kecil muncul di wajah Naomi, dan Liu Kong mencium tangan itu sambil menahan isak. Ia merasa hidupnya kembali utuh, walau dokter tetap mengingatkan bahwa masa kritis belum sepenuhnya lewat.

Tubuh Naomi masih membengkak, dan dokter menjelaskan bahwa efek reaksi tubuhnya belum hilang. Liu Kong hanya mengangguk pelan, lalu berjanji dalam hati akan melakukan apa pun untuk memulihkan istrinya.

Hari berganti. Naomi semakin sadar. Liu Kong membawa bunga mawar kesukaan istrinya. Ia menaruhnya di meja kecil dekat ranjang. Naomi menatap bunga itu lama sekali, lalu tersenyum tipis.

Setelah sepuluh hari, Naomi dipindahkan dari ICU ke ruang rawat biasa. Kini ia bisa memeluk bayinya. Ia bisa mencium kening anak perempuannya yang begitu mungil. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia merasa hidupnya baru saja dimulai.

Liu Kong dan Amanda tetap bergantian menjaga. Mereka tidur di rumah sakit, pulang hanya untuk mencuci pakaian dan kembali lagi. Tak ada keluhan. Tak ada keluh kesah. Mereka tahu satu nyawa yang berhasil diselamatkan adalah berkah yang tak bisa dihitung.

Dan malam ketika Naomi akhirnya bisa duduk dan menyusui bayinya sendiri, Liu Kong hanya berdiri di sudut ruangan, memandang mereka berdua dengan mata penuh cahaya. Ia tahu semua rasa sakit ini ada artinya. Semua tangis dan lelah ini bukan sia-sia.

Naomi telah kembali dari ambang batas kehidupan.

Dan kini, di antara pelukan hangat keluarga kecil mereka, hidup terasa seperti baru dimulai kembali, dengan satu senyum, satu napas, dan satu harapan baru yang menggantung di langit pagi.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock