HorrorThriller

Kedalaman yang Menganga

Aku kerja sebagai penambang. Tugasku setiap hari cuma satu: gali tanah, ledakkan batu, ambil isinya. Nggak banyak mikir, yang penting kerjaan beres. Gajinya lumayan, tapi resikonya juga bukan main.

Tambang tempatku bekerja namanya Tambang Kalgara Deep, letaknya jauh banget di pedalaman Australia Barat. Di peta hampir nggak kelihatan, cuma titik kecil di tengah hamparan tanah merah. Sekitar enam jam dari kota terdekat. Di sini, panasnya bisa bikin kepala meletus, dan debunya nempel di kulit kayak cat.

Tapi yang paling bikin ngeri itu bukan di atas tanah. Justru yang di bawah.

Lubang tambangnya masuk ke perut bumi, turun melingkar kayak ulir, makin dalam makin panas. Dinding lorongnya sempit, lembap, dan berbau logam. Di dalam sana, kita benar-benar terpisah dari dunia luar.

Kita menyebutnya “Kedalaman”.

Hari itu awalnya biasa aja. Aku dan temanku, Anton, kerja di lorong paling bawah, sekitar seribu meter di bawah permukaan. Panasnya udah kayak oven. Udara di sana pekat banget, bikin nafas sesak walau pakai masker.

Sambil pasang bahan peledak, Anton sempat nyeletuk,
“Kalau kita terus gali ke bawah, nyampe mana ya?”

Aku jawab, “Paling mentok ya neraka.”

Dia ketawa kecil. “Serem amat.”

Kami udah lama kerja bareng, jadi sering becanda biar nggak tegang. Tapi hari itu… entah kenapa, suasananya beda. Sunyi. Terlalu sunyi. Biasanya selalu ada suara mesin atau tetesan air dari langit-langit. Tapi kali ini, kayak semuanya sedang menahan nafas.

Pas aku lagi ambil kabel detonator dari mobil kecil tambang, tiba-tiba tanah bergetar pelan. Bukan gempa, lebih kayak tanahnya… berdenyut. Aku langsung diam. Di tambang, kalau ada getaran aneh, itu bisa berarti runtuhan.

Aku teriak lewat radio, “Anton! Lo denger itu?”

“Ya, gue juga ngerasa,” jawabnya cepat. “Kita ke ruang evakuasi aja dulu, buat jaga-jaga.”

Ruang evakuasi itu semacam bunker kecil di dalam tambang. Dindingnya dari baja tebal, ada oksigen, makanan, dan alat darurat. Kalau ada apa-apa, itu satu-satunya tempat aman.

Begitu aku sampai dan nutup pintunya, detak jantungku belum juga turun. Aku duduk, tarik nafas dalam-dalam. Ruangnya sempit, mungkin cuma tiga meteran. Lampu remang-remang, dindingnya putih kusam.

Aku mulai cek radio, tapi nggak ada suara. Hening. Bahkan suara kipas pun pelan banget, kayak kehabisan tenaga.

Aku pikir, “Mungkin runtuhannya nggak parah. Tunggu satu jam, pasti ada tim penyelamat datang.”

Tapi waktu terasa lambat banget di dalam ruangan kecil itu. Lama-lama mulai terasa… aneh. Seolah dinding-dinding ruangan itu mengamatiku.

Aku mulai merhatiin hal-hal kecil. Ada coretan di dinding: nama orang, tanggal, bahkan gambar hati. Mungkin ditulis penambang lain yang pernah terjebak di sini. Mungkin ada yang nggak pernah keluar lagi.

Tiba-tiba, aku denger suara.

Tuk.

Pelan banget, kayak ada yang ngetuk dari luar.

Aku langsung merapat ke pintu. Diam.

Tuk. Tuk.

Aku ambil radio, coba manggil. “Halo? Ada orang di luar? Ini ruang evakuasi. Tolong!”

Nggak ada jawaban.

Tuk. Tuk. Tuk.

Tiga kali. Pelan, tapi jelas.

Jantungku berdetak makin cepat. Suara itu bukan gempa. Bukan batu runtuh. Itu… seperti ketukan tangan manusia.

Aku pasang telinga di dinding.

Diam.

Lalu… aku denger langkah kaki. Tapi aneh. Bunyinya bukan sepatu kerja. Lebih mirip… kaki telanjang di atas batu.

Langkah itu berhenti tepat di depan pintu.

Lalu suara seseorang, pelan tapi jelas:
“Kau sudah terlalu dalam.”

Aku mundur. “Siapa itu?”

Tak ada jawaban. Hanya suara napas.

Lalu dia bicara lagi.
“Tanah ini ingat semua yang kau kubur.”

Tiba-tiba lampu ruangan berkedip. Dan… pintunya hilang.

Bukan terbuka. Bukan rusak. Hilang begitu saja, terganti dengan dinding batu yang padat. Nggak ada celah. Nggak ada bekas engsel. Seperti pintu itu nggak pernah ada.

Aku panik. Mundur ke sudut ruangan. Tangan gemetar.

Dari dinding batu itu… muncul wajah. Bukan lukisan. Tapi seperti ukiran yang tumbuh. Satu wajah, dua, tiga. Semuanya mengenalku. Satu mirip Anton. Satu lagi… mirip aku sendiri.

Aku nggak bisa teriak. Tenggorokanku seperti tercekik.

Dinding itu berbisik:
“Mau keluar?”

Aku diam.

Suara itu berkata lagi:
“Galilah.”

Aku nggak tahu berapa lama aku terjebak sebelum tim penyelamat datang. Bisa sejam, bisa sehari. Rasanya seperti mimpi buruk yang nggak ada ujungnya.

Mereka bilang tambang sempat runtuh sebagian. Beberapa orang berhasil selamat. Tapi Anton… nggak ditemukan. Hanya helmnya yang tersisa.

Sampai sekarang, aku masih kerja di tambang itu. Entah kenapa, aku nggak bisa pergi. Tapi sejak hari itu, setiap kali aku sendirian di lorong, aku selalu dengar suara itu.

Tuk. Tuk. Tuk.

Seolah tambang ini belum selesai denganku.

Dan aku tahu…

Kedalaman itu… hidup.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock