Golden Gate Bridge
Issabel duduk diam, memandang kekasihnya, Emanuel, yang sedang menerima telepon sambil mengemudi. Suara di ujung telepon terdengar samar, hingga tiba-tiba tanpa peringatan, Emanuel menampar pipinya.
“Apa-apaan ini, Nul?!” Issabel kaget sambil memegang tangannya.
Emanuel tetap menatap jalan, rahangnya mengeras. “Kau ribut sendiri. Aku sedang dengar informasi penting dari Kattye soal pekerjaan.”
Issabel menunduk. “Maaf… aku cuma dengar musik. Nggak maksud ganggu.”
Namun, permintaan maafnya tak dihiraukan. Emanuel menancap gas, membuat mobil melesat lebih cepat. Issabel mulai gelisah.
“Nul, kita baru setengah jalan ke Marin. Bisa nggak kamu nyetir lebih hati-hati? Bahaya ini.”
Suara klakson dari belakang menyela. Tapi Emanuel tetap menyalip mobil-mobil lain secara mendadak. Di tengah perjalanan, Issabel meminta berhenti sejenak di sisi jalan saat melihat kerumunan orang.
Ada sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Ponsel si wanita terjatuh hingga nyaris meluncur ke laut. Seorang petugas keamanan berhasil mengambilnya kembali, disambut tepuk tangan dan ucapan terima kasih dari pasangan tersebut.
Issabel kembali ke mobil. Dia masih harus bersiap bertemu ibu Emanuel sore nanti. Saat telepon kembali berdering, kali ini Issabel yang mengangkat.
“Hello, Kattye. Maaf, Emanuel lagi fokus nyetir. Aku bisa bantu?”
Namun, sambungan langsung dimatikan. Issabel mengerutkan dahi.
“Aneh banget, orang itu. Nggak sopan.”
Emanuel mendengus pelan. “Dia memang cuma mau bicara langsung sama aku. Nanti aku hubungi lagi pas udah sampai.”
Issabel tersenyum melihat wajah Emanuel yang mulai tenang. Ia membuka kotak kecil dan mengulurkan stik roti ke mulut kekasihnya.
“Makan dulu, perutmu bunyi tuh.”
“Thanks… one more, please?” balas Emanuel sambil tersenyum. Issabel menyuapi lagi, membuat suasana kembali hangat.
Menjelang sore, mereka tiba di rumah keluarga Emanuel di Marin. Mama Lydia menyambut mereka hangat dan menggandeng Issabel ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Di ruang tamu, Emanuel berbincang dengan ayahnya, Elton Musk.
“Kapan rencana pernikahan kalian, Nuel? Nenek sudah tak sabar pengin cicit.”
Emanuel menghela napas. “Sebenarnya kami sepakat menunda dulu. Aku baru saja ditawari posisi asisten manajer oleh Kattye di San Francisco. Perlu fokus dulu.”
Elton mengangguk, senang tapi juga memahami. “Itu kabar baik. Yang penting, kamu tahu arah hidupmu.”
Kattye menelepon kembali dan mengabari bahwa ia resmi jadi site manager mulai besok. Emanuel pun bergegas menyampaikan kabar itu ke dapur.
“Sayang, aku resmi kerja di proyek barunya Kattye. Kita harus siap.”
Issabel membawa kue ke meja makan, diikuti Lydia yang menyajikan minuman. Mereka semua duduk dan mulai makan malam bersama.
Di sela obrolan ringan, Emanuel meminta maaf kepada Issabel.
“Maaf soal tadi siang… aku emosi dan nggak seharusnya nyakitin kamu.”
Issabel tersenyum sambil mengusap pipinya yang masih terasa nyeri. “Aku tahu kamu lagi stres. Aku maafkan.”
Usai makan, Emanuel duduk bersama ayahnya lagi.
“Besok aku balik ke San Francisco, Pa. Harus mulai kerja.”
Elton mengangguk. “Kalau begitu, liburan nanti sempatkan pulang ya. Mama selalu kangen.”
“Iya, Pa.”
Emanuel adalah lulusan arsitektur yang baru mendapat pekerjaan tetap di perusahaan kontraktor milik sepupu Issabel. Dia ingin fokus dulu sebelum membahas pernikahan lebih lanjut. Elton menerima keputusan itu dengan lapang dada.
“Yang penting kalian saling mendukung. Itu yang utama.”
Menjelang malam, Issabel dan Emanuel berpamitan. Saat melintasi Golden Gate Bridge, Kattye kembali menelepon. Ada kerusakan mendesak di jembatan dan Emanuel diminta segera datang.
“Sayang, katanya urgent. Kita langsung ke sana, ya,” ujar Issabel.
Mobil meluncur menuju lokasi. Golden Gate Bridge tampak megah dalam remang malam, dihiasi kerlap-kerlip lampu. Di sana, Kattye memperkenalkan Emanuel pada kontraktor utama dan menyerahkan helm pengaman.
“Besok kita ketemu lagi jam sepuluh, ya,” ujar Kattye.
“I’m ready,” jawab Emanuel mantap.
Issabel menyaksikan kekasihnya bekerja dari kejauhan. Ia mengabadikan momen itu lewat kamera ponsel, lalu mengirimkan fotonya pada orangtua Emanuel. Mereka bangga.
Pekerjaan selesai pukul 23.00. Kali ini Issabel yang menyetir pulang ke San Francisco, memberi waktu bagi Emanuel untuk beristirahat.
Di rumah Marin, Elton dan Lydia masih membicarakan anak mereka.
“Elton,” kata Lydia pelan, “Emanuel akhirnya mulai menemukan jalannya.”
“Ya,” sahut Elton. “Semoga semua keinginan mereka tercapai. Dan semoga mereka siap menghadapi dunia nyata, seperti dulu kita juga menghadapinya.”
Mereka terdiam sejenak, lalu berdoa dalam hati, penuh syukur atas langkah pertama Emanuel di Golden Gate Bridge, sebuah permulaan menuju masa depan.