Langkah Kecil Menuju Langit
Sore itu, suara roda becak tua berderit pelan menyusuri jalan sempit di pinggiran kota Semarang. Mugiono, lelaki paruh baya dengan tubuh kurus dan kulit legam terbakar matahari, menepikan becaknya di depan sebuah rumah kayu sederhana. Dari dalam, keluarlah seorang gadis berseragam SMA, dengan ransel lusuh di punggung dan senyum hangat di wajahnya.
“Capek, Raen?” tanya sang ayah sambil mengelap keringat dengan handuk kecil.
Raeni menggeleng dan tersenyum. “Enggak, Pak. Tadi belajar kelompok di rumah Dini. Pulangnya jalan kaki, biar Bapak enggak repot jemput.”
Mugiono hanya mengangguk, hatinya tercubit. Anak semata wayangnya itu selalu lebih memikirkan orang lain. Meski hidup mereka pas-pasan, Raeni tak pernah mengeluh. Ia tetap belajar dengan giat, tetap percaya bahwa masa depan bisa diraih, walau hanya dengan langkah-langkah kecil.
Di sekolah, Raeni dikenal sebagai salah satu yang paling cerdas. Ia selalu duduk di bangku depan, mencatat rapi, dan menjawab soal dengan penuh keyakinan. Teman-temannya kadang iri dengan nilainya, tapi juga segan, karena mereka tahu Raeni tak punya apa-apa selain semangat.
Guru favoritnya, Bu Ratna, menyemangatinya agar mencoba beasiswa Bidikmisi. Mata Raeni berbinar. Ia tahu ini adalah satu-satunya cara agar ia bisa kuliah. Malam itu, rumah kecil mereka dipenuhi harapan. Mereka bicara tentang masa depan yang cerah, bukan sekadar bertahan hidup.
Raeni belajar makin giat. Ia menyalin catatan, meminjam buku dari perpustakaan, dan rajin mengikuti les gratis yang diadakan sekolah. Ketika pengumuman kelulusan datang, ia diterima di Universitas Negeri Semarang jurusan Pendidikan Akuntansi dengan beasiswa penuh. Mugiono memeluk Raeni erat-erat di teras rumah, di bawah langit malam yang sunyi.
“Langit itu… bisa kita sentuh juga ya, Raen?” bisik Mugiono lirih.
Raeni tersenyum sambil menahan air mata. “Bisa, Pak. Asal kita terus melangkah.”
Masa kuliah tidak mudah. Ia tinggal di asrama sederhana, makan seadanya. Ia jarang nongkrong dan lebih sering di perpustakaan. Tapi nilai-nilainya cemerlang. Ia sempat menjadi asisten dosen dan aktif di berbagai kegiatan kampus. Di sela kesibukannya, ia sering menelepon sang ayah, sekadar untuk memastikan bahwa becak tua itu masih berjalan.
Hari wisuda pun tiba. Ketika mahasiswa lain datang dengan mobil dan kamera mahal, Raeni datang dengan becak. Becak yang sama yang dulu mengantarnya ke sekolah. Foto Raeni diantar ayahnya dengan becak menuju tempat wisuda menjadi viral. Banyak yang meneteskan air mata melihat betapa besarnya cinta dan perjuangan dalam keluarga kecil itu.
Tak lama kemudian, Raeni mendapat kabar bahwa ia lolos seleksi beasiswa LPDP untuk studi di Inggris. Saat membaca pengumuman itu, tangannya gemetar. Ia akan belajar di University of Birmingham. Seorang anak tukang becak, kini akan terbang ke negeri asing demi ilmu.
Menjelang keberangkatannya, ia duduk di samping sang ayah.
“Pak… Raeni takut,” katanya lirih.
Mugiono menggenggam tangan anaknya. “Kamu cahaya, Raen. Cahaya enggak diciptakan buat disembunyikan. Teruslah menyala.”
Hidup di luar negeri tidak mudah. Bahasa yang asing, cuaca yang dingin, dan budaya yang berbeda membuatnya kewalahan di awal. Ia sempat merasa kecil dan tak mampu. Tapi tiap kali ia ragu, ia membayangkan ayahnya yang mengayuh becak di bawah terik matahari. Ia sadar, perjuangan ini bukan cuma tentang dirinya.
Ia belajar dengan tekun, mengirim kabar secara rutin, dan menabung sebagian uang beasiswanya untuk dikirim ke rumah. Ia kadang menangis di malam hari, rindu aroma dapur kayu, rindu suara becak yang berderit. Tapi ia bertahan. Ia tahu, ini bukan akhir.
Dua tahun kemudian, ia lulus dengan predikat cumlaude. Tawaran kerja berdatangan. Ada yang dari Singapura, ada juga dari London. Tapi Raeni hanya tersenyum. Ia sudah tahu ke mana harus pulang.
Sesampainya di Indonesia, ia disambut hangat oleh kampus lamanya. Kini, ia berdiri di depan kelas sebagai dosen muda. Ia mengajar dengan penuh semangat, bukan hanya soal akuntansi, tapi juga tentang mimpi dan harapan.
Suatu hari, seorang mahasiswa bertanya, “Bu, apa yang membuat Ibu bertahan? Apa yang jadi motivasi Ibu dulu?”
Raeni menatap langit-langit kelas sejenak, lalu menjawab, “Karena saya tahu, orang tua saya berjuang bukan untuk melihat saya biasa-biasa saja. Mereka bertaruh segalanya. Saya enggak boleh sia-siakan itu.”
Setelah mengajar, ia pulang ke rumah kecil tempat ayahnya menanti. Becak tua itu kini tak lagi dikayuh, tapi masih terparkir di depan rumah, seolah menjadi monumen perjuangan.
“Pak,” kata Raeni sambil duduk di samping ayahnya. “Kalau dulu Raeni nyerah, mungkin kita masih menatap langit dari bawah.”
Mugiono tertawa kecil. “Tapi kamu enggak nyerah. Kamu terus jalan. Karena itu becak ini bisa sampai ke langit.”
Langit sore berwarna jingga, memantulkan cahaya lembut ke wajah keduanya. Di antara suara jangkrik dan aroma tanah basah, ada kedamaian yang sulit digambarkan. Mereka tidak kaya. Rumah itu masih sederhana. Tapi mereka tahu, mereka telah menang.
Raeni menatap becak tua yang kini diam tak bergerak. Tapi baginya, becak itu sudah lebih dari sekadar alat transportasi. Ia adalah saksi dari setiap tetes keringat, setiap mimpi, dan setiap harapan yang pernah mereka titipkan pada jalanan kota.