Bara yang Padam di Senayan
Langit Jakarta siang itu berat. Ribuan buruh berkumpul di depan Gedung DPR, bendera berkibar, suara orasi menggema. Di tengah lautan massa, Agus berdiri dengan tangan menggenggam erat bendera serikat pekerja. Ia merasa darahnya berdesir. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia yakin dirinya bukan sekadar buruh kecil.
Hari itu mereka menuntut keadilan. Upah yang layak, penghapusan outsourcing, perlindungan kerja. Namun di balik pagar tinggi Senayan, tak ada satupun wakil rakyat yang keluar. Hanya aparat yang berdiri kaku, wajah-wajah tanpa ekspresi.
“Kalau mereka tetap menutup telinga, kita mogok nasional!” teriak pemimpin buruh dari atas mobil komando. Massa bersorak, termasuk Agus. Ia merasa ada api yang menyala di dadanya.
Malam itu, Agus pulang dengan badan lelah. Istrinya, Sinta, menunggunya di teras kontrakan.
“Gus, hati-hati ya kalau ada aksi lagi. Aku takut ada apa-apa.”
Agus hanya tersenyum. “Kalau kita diam, anak kita bakal terus hidup susah. Ini buat masa depan mereka.”
Sinta menunduk, menahan air mata. Ia tahu, kata-kata suaminya lahir dari hati.
Minggu demi minggu berlalu, DPR tetap bungkam. Sampai akhirnya, aksi besar diumumkan. Ratusan ribu buruh dari Jabodetabek dan luar kota bergerak menuju Jakarta. Pagi itu jalanan macet total. Agus ikut di antara kerumunan, melangkah tegap dengan bendera di tangannya.
Gedung DPR kembali menjadi tujuan. Kali ini jumlah massa lebih besar, suara orasi menggema bagaikan badai. Namun barisan aparat juga jauh lebih banyak. Truk-truk polisi berjejer, kawat berduri dipasang, gas air mata siap ditembakkan.
Agus merasakan jantungnya berdegup keras, tapi ia menolak mundur.
“Kalau kita menyerah, mereka tidak akan pernah dengar!” katanya kepada Arif, sahabatnya di pabrik.
Arif mengangguk, meski wajahnya pucat.
Siang menjelang sore, orasi memuncak. Suasana mulai panas. Dorongan dari barisan belakang membuat massa semakin mendesak pagar DPR. Teriakan bercampur dengan sirine. Tiba-tiba letupan terdengar. Gas air mata menembus udara.
Orang-orang berlarian panik. Agus batuk, matanya perih, tapi ia tetap bertahan. Ia melihat aparat mulai maju dengan tameng dan pentungan. Kericuhan pecah. Batu melayang, balasan tembakan gas kembali datang.
Di tengah kekacauan itu, Agus terpisah dari Arif. Ia berusaha menahan bendera tetap tegak. “Jangan mundur!” teriaknya, suara nyaris hilang tertelan hiruk pikuk.
Namun tiba-tiba, sebuah proyektil karet menghantam dada kirinya. Agus terhuyung. Napasnya terengah-engah. Dalam sekejap ia terjatuh di aspal panas, bendera terlepas dari genggamannya.
Orang-orang berlarian, sebagian menolong, tapi aparat maju semakin beringas. Sepak, pentungan, teriakan. Darah bercampur dengan air mata di jalan Senayan.
Berita sore itu heboh. Namun tak ada satupun stasiun televisi menayangkan gambar massa yang kocar-kacir, asap putih pekat menyelimuti Senayan. Pihak berwenang menyebut aksi berubah ricuh, beberapa buruh ditangkap, puluhan luka-luka.
Di antara nama korban, ada satu yang tertera: Agus, buruh pabrik tekstil dari Bekasi, meninggal dunia akibat bentrokan.
Sinta menatap layar televisi dengan tubuh gemetar. Tangannya tak kuasa menggenggam. Air mata jatuh deras. Di sampingnya, anak mereka yang masih kecil bertanya polos.
“Ibu, Ayah kapan pulang?”
Sinta tak sanggup menjawab. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Kontrakan terasa semakin sempit, semakin gelap. Hidup yang sudah berat kini hancur tanpa harapan.
Beberapa hari kemudian, ribuan buruh mengiringi jenazah Agus ke pemakaman. Di antara doa-doa yang terucap, ada amarah, ada luka, ada tekad yang semakin membara.
Namun bagi Sinta, tak ada yang lebih pedih selain kenyataan bahwa perjuangan telah merenggut orang yang ia cintai. Hidupnya kini harus ia jalani seorang diri, bersama anak yang akan tumbuh tanpa seorang ayah.
Di atas pusara Agus, bendera serikat pekerja diletakkan. Warnanya memudar terkena air mata dan debu jalan. Api perjuangan mungkin masih menyala di dada ribuan buruh lain. Tetapi bagi keluarga Agus, api itu telah padam, digantikan duka yang tak pernah bisa dihapus waktu.