Anak-anakCerita SedihKehidupanPersahabatan

Maafkan Aku, Sahabatku

Derit sepeda itu datang lagi pagi ini, seperti biasa. Suaranya tajam dan memekakkan telinga, tapi Marlena sudah tak kaget. Ia tahu betul itu suara sepeda Alica, temannya yang selalu datang dengan sepeda reyot dan semangat yang, entah bagaimana, tak pernah ikut reyot juga.

Marlena menoleh, sedikit kesal. Alica tersenyum sambil mendorong sepedanya pelan, tanpa rasa bersalah.

“Belum juga kamu benerin sepeda itu?” celetuk Marlena singkat.

“Udah, ke Pak Kliwon malah. Tapi tetep aja bunyinya begini,” jawab Alica, mencoba terdengar ringan.

Marlena hanya mengangkat alis. Sudah sering ia menyarankan agar Alica benar-benar memperbaikinya, bukan cuma tambal sulam. Tapi ya begitu, Alica selalu punya alasan, entah itu karena bengkel tutup, atau katanya sudah dibenerin tapi masih saja begitu.

Hari itu mereka tetap berjalan bareng menuju sekolah. Marlena menolak dibonceng, katanya takut jatuh. Sebenarnya, dia hanya malas mendengar suara derit yang makin nyaring kalau sepeda itu ngebut. Tapi dia tak berkata jujur, hanya menampakkan wajah masam.

Sesekali mereka tertawa kecil, saling meledek. Tapi ada jarak yang mulai tumbuh tanpa disadari.

Saat di sekolah, Marlena ngos-ngosan masuk kelas. Sementara Alica sudah sampai duluan dan membelikan air minum dari kantin kecil dekat gerbang. Marlena menerima dengan anggukan singkat, tak sempat berterima kasih. Hari itu ada ulangan mendadak, dan kepala Marlena penuh rumus.

Jam pelajaran berjalan lambat. Alica duduk di sebelah Marlena, diam-diam membersihkan tangannya dari noda oli. Tadi pagi sebelum masuk kelas, ia sempat mencuri sedikit oli dari gudang sekolah, lalu melumas sepeda tuanya diam-diam di belakang sekolah. Ia ingin Marlena tak perlu risih lagi mendengar bunyi derit.

Tapi tangan dan roknya kotor terkena minyak. Ia lap sembarangan. Tak sempat bersih. Tapi tak ada yang tahu.

Sampai akhirnya, saat jam istirahat, Marlena nyeletuk pelan, “Rokmu kotor banget, Lic… kayak habis nyervis motor.”

Alica nyengir saja. “Sepedaku udah gak bunyi kan?”

Marlena mengangguk. Ia senang, tentu. Tapi tetap tak berkata apa-apa lagi.

Saat pulang, Alica mengantar Marlena sampai depan rumah. Marlena yang melihat rok sahabatnya bernoda, akhirnya tergerak juga. Ia masuk ke rumah, mengambil seragam lamanya yang sudah tak muat, lalu memberikannya begitu saja ke Alica.

“Buat ganti aja. Daripada kamu dimarahin ibu.”

Alica tampak terkejut, lalu menerima dengan hati-hati. “Makasih ya… aku pulang dulu. Rumah masih jauh.”

Sebenarnya Marlena ingin mengajaknya masuk, tapi gengsi. Dan entah kenapa, selalu ada sesuatu dalam dirinya yang membatasi. Ia peduli, tapi sering tidak tahu harus menunjukkan bagaimana.


Hari berganti. Marlena tak berpikir banyak soal itu. Tapi ada satu momen yang tertinggal di kepalanya.

Suatu siang, ia mampir ke rumah Alica secara tak sengaja. Ia ingin mengembalikan buku PR yang dipinjam. Saat tiba di depan rumah kecil yang setengah rapuh itu, Marlena sempat ragu mengetuk pintu. Dari balik jendela, ia melihat Alica sedang menyuapi ibunya yang terbaring di dipan rotan tua. Rumah itu gelap, tak ada kipas, dan hanya ada setumpuk mie instan di atas meja yang sempit.

Marlena menahan napas. Tiba-tiba, suara-suara kecil dalam hatinya seperti saling menampar.

Sepeda yang berisik. Rok yang kotor. Alica yang telat masuk kelas. Alica yang jarang jajan. Alica yang selalu diam kalau disindir.

Semua itu bukan karena dia malas. Bukan karena dia ceroboh. Tapi karena hidupnya memang tak mudah. Dan Marlena, teman dekatnya sendiri, selama ini terlalu sering mengeluh dan menuntut, tapi tak pernah benar-benar bertanya.

Ketika Alica keluar dan melihat Marlena berdiri di depan pagar, wajahnya langsung cerah.

“Eh… Mau ngembaliin buku ya? Maaf aku lupa bilang makasih soal bajunya, nyaman banget dipakainya.”

Marlena hanya mengangguk pelan. Matanya sedikit berkaca, tapi buru-buru ia mengalihkan pandangan. “Itu… buat kamu dan ibumu,” katanya sambil menyerahkan plastik berisi roti dan susu kotak.

Alica tampak kikuk menerima. Tapi ia tetap tersenyum.

Malam itu, Marlena duduk sendiri di kamarnya. Di luar, suara jangkrik riuh. Tapi di dalam dirinya, ada kesunyian yang menekan. Ia menatap foto-foto di mejanya. Ada satu foto saat kelas piknik bersama, Alica berdiri di sampingnya, tersenyum kecil. Senyum yang sama yang ia lihat siang tadi, saat menerima roti dari tangan sahabatnya.

Marlena pun menangis diam-diam. Bukan karena Alica sedih. Tapi karena ia merasa terlalu lambat untuk mengerti.

Tak ada permintaan maaf langsung. Tak ada pelukan hangat. Tapi sejak hari itu, Marlena tak pernah lagi menyindir Alica, bahkan soal sepeda tuanya yang kini tak bersuara itu.

Karena ia tahu, di balik roda sepeda yang berderit, ada beban yang jauh lebih berat yang dipikul oleh sahabatnya, dan ia tak mau menambahinya lagi.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock