Cerita SedihKehidupanTragedi

Langkah Terakhir di Jababeka

Matahari masih malu-malu ketika Aldi tiba di Jababeka Convention Centre, Cikarang. Map biru di tangannya mulai lembek, tergencet peluh dan doa yang tak kunjung dikabulkan. Pagi itu, ia sudah berjalan sejauh dua kilometer dari terminal terdekat, setelah sebelumnya menumpang truk sayur dari Tambun. Ongkos terakhirnya habis dua hari lalu.

Sudah dua tahun ia menganggur, sejak pabrik tempatnya bekerja mendadak gulung tikar. Ayahnya meninggal saat pandemi, ibunya tak sanggup lagi membayar listrik. Rumah kontrakan mereka kini hanya diterangi lilin. Aldi sendiri, sudah mulai berpikir untuk menyerah, tapi pagi itu ia bangkit lagi, menaruh harapan terakhirnya di spanduk besar bertuliskan Job Fair Bekasi Pasti Kerja 2025.

Yang datang? Lautan manusia. Bukan sekadar banyak, tapi sesak. Wajah-wajah tegang, keringat bercucuran, bau badan bercampur semangat dan keputusasaan. Seseorang pingsan di dekat pintu. Dua orang bertengkar karena saling salip antrean. Petugas sibuk berteriak, namun antrian tak kunjung maju.

“Dua ribu lowongan, tapi yang datang dua puluh lima ribu,” bisik seorang pria tua di belakang Aldi.

Aldi mengangguk perlahan. Ia berdiri dalam diam, hanya sesekali melirik mapnya yang kini mulai sobek di sisi. Ijazah SMK, CV, dan foto, semua masih ada. Harapannya tinggal di situ.

Tiga jam kemudian, setelah melewati dorong-dorongan dan hampir jatuh dua kali, ia akhirnya masuk ke aula. Matanya langsung menyapu deretan booth perusahaan. Di sana, petugas berdiri dengan wajah lelah, menggelar berkas seperti menilai dagangan pasar. Aldi mendekat ke salah satu meja.

“Operator mesin?” kata petugas itu tanpa menatap wajahnya. “Minimal pengalaman dua tahun. Maaf, kami cari yang sudah senior.”

Aldi menunduk. Ia baru satu tahun kerja sebelum pabrik tutup. Di booth lain, ia ditolak karena belum punya sertifikat forklift. Di tempat ketiga, bahkan tidak sempat bicara, petugas menempel tulisan KUOTA PENUH dengan selotip.

Ia berjalan ke sudut aula, duduk sebentar, dan membuka bekal nasi goreng yang dibungkus ibunya semalam. Tapi tak sanggup makan. Matanya menatap seorang ibu muda yang membawa anak balita di gendongannya, mengantri sambil menangis pelan karena anaknya rewel. Di seberangnya, seorang mahasiswa melamun sambil menggenggam ijazah S1 teknik industri.

Dunia tampak sepi, walau ruangan itu penuh orang.

Saat Aldi kembali berdiri, ia menuju booth terakhir yang buka: PT Andalan Plastik.

“SMK Teknik Mesin ya?” tanya petugas, seorang perempuan berkerudung.

“Iya, Bu. Saya pernah kerja di Karawang. Satu tahun, lalu PHK.”

“Kami butuh lima orang operator. Tapi pelamar sudah lima ratus lebih. Kami sortir dulu ya. Nanti dikabari.”

Aldi memaksakan senyum. “Baik, Bu. Terima kasih.”

Ia tahu maksud “nanti dikabari.” Artinya: dibuang diam-diam. Sudah puluhan kali ia dengar kalimat itu. Tak pernah ada telepon. Tak pernah ada email.

Keluar dari gedung, langit mendung menggantung. Di luar, antrean masih sama panjangnya. Ribuan orang masih berharap bisa masuk. Di samping trotoar, seorang bapak tua muntah karena dehidrasi. Seorang pemuda yang baru keluar dari aula duduk di pinggir got, menatap kosong ke jalan.

Aldi duduk tak jauh dari situ. Kakinya gemetar. Ia membuka mapnya, mengambil selembar CV yang sudah lecek, lalu merobeknya perlahan. Angin membawa potongan itu pergi.

Seorang petugas lewat dan berteriak, “Bagi yang belum sempat masuk, harap tunggu gelombang sore pukul empat!”

Tapi Aldi tak bergerak. Ia hanya duduk. Wajahnya kosong.

Ia mengingat ibunya di rumah: wanita renta yang terus meminjam uang ke tetangga agar dapur bisa tetap mengepul. Ia mengingat adik perempuannya yang belum bisa kuliah karena tak ada biaya. Ia mengingat ucapan tetangganya minggu lalu: “Malu dong, laki-laki umur segini nganggur terus.”

Ia bangkit, berjalan menjauh dari kerumunan. Pikirannya seperti ruangan kosong. Tak ada suara, tak ada arah. Ia melewati tenda penjual minuman, menolak tawaran sebotol air gratis. Ia hanya ingin pergi.

Di pinggir Jababeka, di dekat jembatan kecil tempat air limbah mengalir, ia berdiri lama. Mobil-mobil melintas, tapi matanya kosong.

Hari itu, Aldi tak pulang. Hingga malam tiba, ibunya duduk di depan pintu rumah sempit mereka, menunggu sambil menggenggam HP usang yang tak kunjung berdering.

Sementara di Jababeka, petugas mulai membongkar booth. Spanduk diturunkan. Sisa-sisa plastik berserakan. Seseorang menyapu lembaran CV yang terbuang, sebagian basah terkena hujan sore.

Keesokan harinya, sebuah kabar kecil muncul di kolom berita lokal:

“Seorang pemuda ditemukan tak bernyawa di bantaran kali dekat kawasan industri Jababeka. Diduga bunuh diri. Tidak ditemukan identitas kecuali map biru yang basah, berisi ijazah dan surat lamaran kerja yang dengan tulisan yang sudah tidak jelas.”

Tak ada yang tahu namanya. Tak ada yang tahu bahwa dia pernah berdiri di antara dua puluh lima ribu orang, berharap jadi satu dari dua ribu yang terpilih.

Dan di rumah kecil itu, seorang ibu terus menyisakan piring makan malam untuk anak sulungnya. Masih berharap. Masih menunggu.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock