Fiksi

Makna di Balik Kata

Arka menatap layar laptop yang menyala redup. Statistik websitenya terpampang jelas di depan mata: lima belas pengunjung hari ini. Hampir sama setiap hari. Kadang sebelas, kadang delapan belas, jarang lebih dari itu. Ia sudah terbiasa dengan angka kecil itu, meski dalam hatinya selalu ada keinginan agar lebih banyak orang membaca tulisannya.

Dua tahun lalu, ia membangun website sederhana berisi cerpen. Ada cerita cinta remaja, horor ringan, sampai kisah inspiratif tentang kehidupan sehari-hari. Semua ia tulis dengan satu tujuan: menghadirkan bacaan yang membuat orang berpikir lebih dalam.

Namun belakangan, ada sesuatu yang mengusik. Dari catatan pencarian di websitenya, ia menemukan kata kunci yang paling sering muncul. Bukan “cerpen cinta”, bukan “cerita horor”, melainkan “cerita bokep” atau kata-kata lain yang membuat keningnya berkerut.

Ia menghela napas panjang. “Kenapa orang cari hal seperti ini di sini?” gumamnya lirih.

Malam itu, rasa penasaran mendorongnya mencoba mengetik kata kunci yang sama di kotak pencarian websitenya. Tentu saja hasilnya kosong. Ia tidak pernah menulis hal semacam itu. Tapi tetap saja, ada rasa kecewa yang menempel di dadanya.

“Aku capek nulis kalau orang datang hanya untuk cari yang begituan,” katanya pada dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Arka bertemu Dina, sahabatnya, di warung kopi dekat rumah.

“Din, aku bingung. Websitenya jelas-jelas buat cerpen biasa, tapi orang datang cari cerita bokep. Rasanya semua usahaku sia-sia.”

Dina menatapnya dengan tenang. “Arka, orang itu aneh. Mereka gampang tergoda hal-hal instan. Tapi ini bukan salahmu. Justru kamu bisa menjadikan ini kesempatan. Kalau mereka salah tempat, siapa tahu mereka dapat sesuatu yang berbeda dari yang mereka harapkan.”

Arka terdiam. Kata-kata itu membuat pikirannya bekerja. Malamnya, ia kembali menyalakan laptop dan mulai menulis.

Kali ini tokohnya seorang remaja bernama Rio. Awalnya, Rio hanya iseng mencari cerita panas di internet. Ia merasa tidak ada yang salah, toh hanya membaca. Namun perlahan pikirannya berubah. Ia jadi melihat teman-temannya dengan cara yang kotor, sulit berkonsentrasi belajar, bahkan hubungannya dengan keluarganya renggang. Yang dulu tampak sepele, ternyata perlahan merusak hidupnya.

Cerpen itu ditutup dengan penyesalan Rio. Tidak ada kebahagiaan, hanya rasa hampa karena ia sadar kebiasaan buruknya telah menggerogoti dirinya sendiri.

Arka menaruh cerpen itu di halaman depan websitenya. Judulnya: “Bukan Cerita yang Kau Cari.” Di bawahnya, ia menuliskan catatan singkat: Website ini tidak pernah dibuat untuk cerita bokep. Jika kau mencarinya, mungkin sudah waktunya berhenti. Hidupmu terlalu berharga untuk dihabiskan dengan hal-hal semacam itu.

Hari berganti, pengunjung tetap sekitar belasan orang. Tidak ada komentar, tidak ada email masuk. Hanya angka yang naik dan turun sedikit setiap hari. Arka tahu sebagian dari mereka mungkin kecewa karena tidak menemukan apa yang dicari. Sebagian lain mungkin membaca sebentar lalu menutup halaman.

Namun entah kenapa, kali ini ia tidak terlalu kecewa. Ia sadar, mungkin saja ada satu dari lima belas orang itu yang membaca sampai akhir. Mungkin ada yang menutup laptopnya dengan perasaan tak nyaman, lalu berpikir ulang tentang kebiasaan yang dianggap sepele. Ia tidak tahu pasti, dan mungkin tidak akan pernah tahu. Tapi itu cukup.

Hari-hari berikutnya, Arka tetap menulis. Ia membuat cerita tentang seorang ayah yang kehilangan kehormatan di depan anaknya karena kecanduan bacaan kotor. Ia menulis tentang seorang gadis yang merasa direndahkan karena dijadikan fantasi. Semua ia tulis dengan hati-hati, bukan untuk menggurui, hanya menunjukkan akibat nyata dari sesuatu yang salah.

Statistik tetap sepi. Kadang belasan, kadang lebih sedikit. Kadang ia merasa menulis untuk udara yang kosong. Tapi setiap kali ragu, ia mengingat kata-kata Dina: “Kalau orang datang untuk hal buruk, biarlah mereka pulang dengan sesuatu yang baik.”

Suatu sore, ia kembali duduk bersama Dina di warung kopi.

“Gimana sekarang? Masih merasa percuma?” tanya Dina sambil tersenyum tipis.

Arka menatap secangkir kopi hitam di depannya. “Entah ya. Kadang aku merasa percuma, kadang tidak. Tapi aku pikir, kalaupun cuma satu orang yang berubah pikiran, itu sudah cukup. Aku tidak butuh orang bilang terima kasih. Aku hanya ingin menulis, supaya ada kemungkinan kecil dunia jadi sedikit lebih baik.”

Dina mengangguk pelan. “Itu jawaban yang bagus, Ar.”

Senja merayap, meninggalkan cahaya jingga di langit barat. Arka menatapnya lama. Ia tahu websitenya mungkin tidak akan pernah populer. Ia tahu pengunjungnya mungkin akan selalu sedikit. Tapi ia juga tahu, menulis bukan soal angka. Menulis adalah tentang keberanian melawan arus, meski kecil, meski sepi, meski tidak ada seorang pun yang mengaku tersentuh.

Ia menutup laptop malam itu dengan hati yang lebih ringan. Dalam kesepian angka-angka kecil, ia menemukan makna yang jauh lebih besar: menulis bukan untuk menunggu tepuk tangan, tapi untuk menjaga agar satu cahaya kecil tidak padam di tengah gelapnya dunia.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock