Luqman merasa sangat bahagia ketika ayahnya membelikannya motor Honda Supra Fit bekas. Kini, ia bisa pergi dan pulang sekolah dengan lebih mudah, tanpa harus tergantung pada angkot yang memakan banyak biaya.
“Pak, Luqman pergi dulu ya!” pamitnya kepada sang ayah.
“Baik, Nak. Sekolah yang benar ya! Lihat tuh, Bapak harus nyangkul di sawah tiap hari, sementara Ibumu di Taiwan kerja keras sebagai TKW,” jawab ayahnya sambil menatap Luqman dengan tatapan penuh harapan.
“Iya, Pak. Luqman mengerti,” jawabnya dengan semangat.
Luqman memang anak yang rajin dan berprestasi. Sejak kecil, ia selalu masuk dalam peringkat tiga besar di kelas. Ia juga pernah menjadi juara olimpiade matematika tingkat Kota Surabaya dan juara Taekwondo tingkat nasional kelas 70 kg. Meski begitu, Luqman tidak memiliki ambisi untuk menjadi seorang dokter, insinyur, atau pegawai negeri sipil. Baginya, yang paling penting adalah bisa membeli motor impian—Honda CB—seperti yang ia lihat di film Dilan.
Waktu terus berjalan, dan Luqman yang penuh tekad akhirnya berhasil meraih impian-impian itu. Setelah lulus SMA, ia diterima di STAN, sekolah kedinasan dari Kementerian Keuangan. Berkat kerja kerasnya, Luqman bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah, hingga akhirnya bisa membeli motor Honda CB yang sudah ia idam-idamkan sejak lama.
Namun, meskipun sudah memiliki rumah dan mobil baru, Luqman tetap setia menggunakan motor Supra yang dibelikan ayahnya saat SMA. Meskipun ada banyak kenangan indah bersama motor itu, ia merasa tidak bisa menambah kendaraan baru karena garasi sudah mulai penuh.
Suatu hari, Luqman berbicara dengan Dewi, istrinya, tentang niatnya untuk menjual motor Supra.
“Kamu yakin mau jual motor itu?” tanya Dewi.
“Yakin, Beb. Kamu juga tahu, Honda CB itu impian aku sejak dulu,” jawab Luqman mantap.
“Tapi, ingat ya, Beb. Motor itu yang selalu menemani perjalananmu menuju sukses. Itu juga bentuk kerja keras Bapak dan Ibu kamu. Aku tahu kalau motor itu dijual, garasi akan lebih lapang. Tapi, kalau kamu ingin beli Honda CB, aku rasa nggak perlu jual motor ini,” kata Dewi dengan penuh pertimbangan.
Luqman terdiam, mendengar nasihat Dewi.
“Iya ya, Beb. Aku pikir-pikir dulu,” jawabnya.
Akhirnya, Luqman memutuskan untuk tidak menjual motor Supra-nya, meskipun ia sudah memiliki motor impian. Namun, ia harus mencari solusi untuk memperbesar rumah agar bisa memasukkan Honda CB ke garasi. Luqman pun berkonsultasi dengan temannya, Imron, seorang ustaz yang juga teman dekatnya.
“Benar kata istrimu, motor itu jangan dijual,” kata Imron. “Motor itu, meskipun sudah tua, tetap membawa banyak kenangan dan arti. Lagian, ngapain beli motor lagi? Itu bisa jadi mubazir.”
“Duh, jadi nggak boleh beli motor baru, nih?” tanya Luqman, setengah bercanda.
“Man, ingat dulu sebelum kamu jadi seperti sekarang. Dulu kamu bukan siapa-siapa, kan? Dan sekarang, kamu udah banyak berlimpah harta. Tapi ingat, bulan Zulhijah sebentar lagi. Daripada beli motor baru, mending gunakan untuk berkurban atau wakaf tanah untuk panti asuhan. Sedekah itu balasannya pahala, apalagi ini. Sahabat-sahabat Nabi dulu juga tidak hidup bermewah-mewah,” jelas Imron.
“Oh iya! Kalau begitu, beli motor itu malah jadi sia-sia. Lagian, suatu saat juga pasti bosen dan motor itu rusak juga,” jawab Luqman, sambil merasa tergerak. “Makasih ya, Ustaz Imron, sudah menasihati aku.”
Keesokan harinya, Luqman membeli satu ekor sapi untuk berkurban. Harganya sekitar 30 juta rupiah. Selain itu, ia juga membeli tanah seluas 1000 meter persegi untuk panti asuhan. Dua puluh tahun kemudian, Luqman berhasil menjadi kepala dinas keuangan di kota Malang. Namun, sebuah tragedi terjadi. Luqman ditemukan tewas dibunuh oleh Bejo, seorang yang iri pada kesuksesannya.
Bejo merasa terganggu dengan kenaikan pangkat Luqman yang terus-menerus, meskipun Luqman bukanlah orang yang haus jabatan. Sebaliknya, Bejo merasa dirinya pantas mendapatkan posisi tersebut.
Tiga hari setelah kejadian, polisi berhasil menangkap Bejo berkat usaha keras Joni, seorang detektif yang juga pernah dibantu oleh Luqman. Joni datang menemui Dewi setelah sidang selesai.
“Ibu, masih ingat saya?” tanya Joni dengan penuh hormat.
“Siapa ya dik?” jawab Dewi, tampak bingung.
“Saya, Joni. Dari panti asuhan Kasih Ibu,” jawab Joni, tersenyum.
“Oh, Astaghfirullah! Saya hampir lupa. Panti asuhan itu kan didirikan oleh suami saya!” Dewi tampak terkejut dan terharu.
“Betul, Bu. Saya berusaha keras mengungkap kasus ini karena saya pernah ditolong beliau,” kata Joni dengan tulus.
Tiba-tiba, Imron datang dan berkata, “Meskipun saya sangat berduka atas kematian Luqman, saya percaya Allah benar-benar membalas setiap kebaikan dengan kebaikan.”
“Betul, Pak Ustazd. Kalau bukan karena kebaikan suami saya, mungkin kasus ini tidak akan terungkap,” tambah Dewi, sambil menahan air mata.
Joni mengangguk. “Semua ini karena Allah, dan karena kebaikan Pak Luqman. Kalau beliau tidak pernah berbuat baik, mungkin pelakunya belum ditemukan sampai sekarang.”
Imron menambahkan, “Andai dulu Luqman memilih untuk membeli motor itu, mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi, yang jelas, kebaikan yang beliau tanamkan akan terus berbuah.”
Walaupun Luqman meninggal dengan cara yang tragis, kisah hidupnya menunjukkan bahwa setiap perbuatan baik yang kita lakukan, meskipun tampak kecil, akan berbalas dengan kebaikan. Terkadang cobaan datang, namun motivasi terbaik adalah untuk kebermanfaatan bersama, bukan hanya sekadar mengejar materi.
karya: Hamka Firmansyah