Sampai jumpa lagi ibu…
Pagi itu begitu sunyi. Tidak ada suara kendaraan yang biasanya terdengar ramai di depan rumah kami. Matahari bahkan belum tampak sepenuhnya, hanya menyisakan bayangan oranye yang menerpa dinding ruang tamu. Aku berdiri di depan pintu, menatap koper yang sudah tertata rapi di sisi kanan, siap untuk dibawa pergi ke perjalanan yang sangat jauh. Di belakangku, Ibu sedang menyusun beberapa toples di atas meja, berisi kue-kue kesukaanku. Tangannya bergerak perlahan-lahan, seakan ingin memastikan setiap toples tertutup rapat, agar isinya tetap segar dan wangi, meski aku tidak tahu kapan akan kembali untuk mencicipinya.
“Ibu. Ibu tidak perlu repot-repot menyiapkan ini semua,” kataku sambil menatapnya dengan senyuman kecil. “Aku hanya pergi sementara, Bu. Lagi pula, aku bisa beli makan-makanan sesampai di sana.”
Ibu menoleh, tersenyum lembut sambil menggelengkan kepalanya. “Makanan buatan Ibu pasti rasanya berbeda, Nak. Kamu tahu kan, Ibu selalu suka membuatmu merasa nyaman dengan kue buatan ibu, meskipun kamu sedang jauh dari ibu.”
Aku tidak bisa menahan senyum yang tiba-tiba mengembang di wajahku. Ya, itu benar. Ibu selalu punya cara untuk membuat segalanya terasa lebih hangat dan akrab. Setiap gigitan kue buatan Ibu seperti membawa kembali kenangan masa kecilku—masa-masa ketika kami masih tinggal di rumah kecil di desa, nan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan besar . Aku teringat bagaimana Ibu selalu mengajarkanku cara membuat kue-
“Ibu-Ibu. Ibu Tahu gak kalau sekarang hari apa..?” aku dengan gembiranya loncat-loncat kegirangan
“Iya, ibu tahu sekarang ulang tahun dedek” ucap ibuku sambil mengelus-elus rambut lebat ku “Ini ibu siapkan hadiah buat dedek ibu”
Aku dengan gembiranya membuka kado dari ibu, dan ternyata itu adalah kue buah kesukaan buatan ibuku. Dengan gembiranya aku segera membuka tutup toples kue buah buatan ibu dan tercium bau khas buah dari kue tersebut.
“Bagaimana! Kamu suka…?”tanya ibuku memandangi wajah ku yang masih kegirangan dengan hadiah yang ibu berikan.
“Tidak. Aku tidak suka” celetuk ku sambil memainkan toples kue.
Ibuku sedikit terkejut dengan jawaban yang ku ucapkan padanya “Aku lebih suka kalau ibu mengajariku cara membuatnya, agar jika ibu tidak lagi menemaniku seperti ayah, aku masih bisa membuat kue dengan kenangan yang ibu berikan padaku.” Dengan sedikit malu terhadap ibuku. Aku hanya bisa menundukkan kepala ku sambil melihat toples yang ku pegang.
“Jangankan cara membuat kue. Cara merapikan rumah, cara memasak hidangan yang sangat enak, bahkan cara sederhana untuk membuat teh hangat di sore hari ibu akan kasih tahu padamu nak.”
Air kasih sayang mengalir di pipi putih ibuku yang tidak pernah ku tahu bahwa ibu juga bisa mengeluarkannya setelah ibu memeluk ku dengan dekapan yang sangat lembut di taburi kenangan kenangan yang tak bisa terlupakan dalam sejarah
“Bu, apakah Ibu pernah merasa ingin pergi jauh dari sini? Seperti aku yang ingin pergi ke luar negeri, meninggalkan semua ini?” tanyaku sambil menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Ibu terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Pernah, Nak. Dulu, waktu Ibu masih seumuran kamu, Ibu juga punya mimpi. Ibu ingin keliling dunia, melihat tempat-tempat baru. Tapi waktu itu situasi tidak memungkinkan. Ayahmu datang dan kami membangun keluarga ini. Itu pilihan Ibu, dan Ibu tidak menyesal. Karena dari situlah Ibu mendapat kamu, dan kamu adalah mimpi yang paling berharga bagi Ibu.”
Kata-katanya menusuk hatiku. Aku tahu, dalam setiap langkah yang aku ambil, ada bagian dari mimpi Ibu yang mungkin tidak tercapai. Ada pengorbanan besar yang dilakukannya, sebuah cerita yang jarang ia bagi denganku. Dan kini, saat aku memutuskan untuk pergi, aku merasa seperti sedang mengambil sebagian dari keberaniannya, membawa mimpi yang pernah ia simpan dalam diam.
“Ibu, aku takut…” lirihku.
Ibu mendekat, lalu meraih tanganku dengan erat. “Takut itu wajar. Bukan berarti kamu lemah. Takut berarti kamu menyadari betapa berharganya apa yang kamu tinggalkan dan apa yang akan kamu harus hadapi. Yang penting, kamu tetap melangkah meskipun kamu takut. Itulah keberanian sejati.”
Aku menghela napas panjang. Perkataan Ibu selalu memiliki makna yang dalam, yang baru bisa aku pahami setelah lama merenung. Aku mencoba menguatkan hati, meyakinkan diriku bahwa ini adalah pilihan yang benar, bahwa perjalanan ini adalah bagian dari mimpi yang sudah lama aku bangun. Namun, di balik itu, ada rasa bersalah yang masih menggantung. Rasa bersalah karena harus meninggalkan Ibu seorang diri di rumah ini, menghadapi hari-hari tanpa kehadiranku, tanpa suara gaduh yang biasa menemani kesepiannya.
“Ibu, aku akan kirim kabar sesering mungkin. Aku janji” ucapku sambil menggenggam tangannya lebih erat.
Ibu mengangguk, matanya berkaca-kaca, namun ia tetap tersenyum. “Ibu tidak meminta banyak, Nak. Ibu hanya ingin kamu ingat bahwa rumah ini akan selalu ada untukmu. Kapan pun kamu merasa lelah, kapan pun kamu merasa ingin pulang, Ibu akan selalu menunggumu di sini.”
Kata-kata Ibu membuat dadaku terasa sesak. Aku tahu bahwa di luar sana, dunia begitu luas, begitu penuh dengan kemungkinan dan harapan. Namun, aku juga tahu bahwa di rumah inilah, di sisi Ibu inilah, aku menemukan ketenangan yang tak pernah bisa kugantikan. Mungkin aku bisa menjelajah ke tempat-tempat jauh, bertemu dengan banyak orang baru, namun pada akhirnya, hanya di sini aku bisa merasakan pulang yang sesungguhnya.
Satu per satu kenangan mulai berputar di benakku—kenangan saat Ibu menemaniku belajar hingga larut malam, saat ia memasak makanan kesukaanku, saat aku merasa terpuruk, dan saat ia menemaniku pergi ke sekolah mau pun ke madrasah di hari pertama. Semua kenangan itu terasa begitu hidup, begitu nyata. Dan di hadapan semua itu, aku merasa kecil, merasa tak cukup kuat untuk melangkah meninggalkan semuanya.
Namun, saat aku menatap kembali mata Ibu, ada kekuatan yang mengalir dari tatapan hangatnya. Tatapan yang penuh dengan cinta dan dukungan, seakan mengatakan bahwa aku harus pergi, bahwa aku harus berani mengambil langkah ini. Ibu tidak pernah menahan langkahku, tidak pernah juga meragukan pilihanku, dan itu membuatku merasa lebih yakin, lebih berani.
Waktu keberangkatanku semakin dekat. Aku memeluk Ibu untuk terakhir kalinya pagi itu, memeluknya dengan seluruh cinta yang bisa kuberikan. “Terima kasih, Bu, untuk segalanya. Aku akan kembali suatu hari nanti, membawa semua cerita yang sudah aku impikan.”
Ibu membalas pelukanku dengan lembut, sambil berbisik, “Pergilah, Nak. Dunia menunggumu. Bawa mimpimu setinggi mungkin, tapi jangan pernah lupa jalan untuk pulang.”
Aku mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. Dengan langkah berat, aku meninggalkan rumah, meninggalkan sosok yang paling berharga dalam hidupku. Namun, dalam setiap langkahku, aku tahu bahwa Ibu selalu ada, menemaniku dalam doa, dalam setiap harapan yang ia titipkan.
Jarak mungkin akan memisahkan kami, namun cinta ini…cinta yang ibu kasihkan tanpa pamrih sebagai seorang ibu dan anaknya, akan selalu abadi, menuntunku pulang baik di mana pun dan kapan pun aku ingin kembali.
Penulis: inoiasca8790 @gmail.com