Thriller

Time Loop

Langit tampak cerah, sinar matahari menembus jendela kaca gedung pencakar langit itu. Namun bagi Alex, semua itu tidak lebih dari ilusi. Karena dalam beberapa menit ke depan, segalanya akan berubah menjadi neraka.

Alex menatap layar ponselnya, tangannya gemetar saat mengetik nomor yang sudah tertanam di kepalanya sejak lama. Dia baru saja menemukan kartu nama itu di dalam laci tua di rumahnya. Nama yang tercetak di atasnya seharusnya milik orang yang telah lama mati—Roni.

Roni adalah sepupunya, sepuluh tahun lebih tua, pria dengan senyum paling cerah yang pernah dikenalnya. Seorang insinyur muda yang berambisi, bekerja di lantai 88 sebuah menara tinggi di kota. Dan pada tanggal 11 September 2001, dia tewas.

Namun, ketika Alex menekan tombol panggil, sesuatu yang mustahil terjadi.

“Roni di sini,” suara yang begitu familiar menjawab dari ujung telepon.

Jantung Alex serasa berhenti. Ini tidak mungkin. Dia mengingat dengan jelas bagaimana tubuh Roni ditemukan di antara reruntuhan, kulitnya tertutup debu dan abu, dengan sepotong besi menembus dadanya.

“Roni?” suara Alex bergetar. “Ini… ini aku, Alex.”

Roni tertawa kecil. “Alex? Ya Tuhan, sudah lama sekali! Apa kabar, Bro? Suaramu terdengar aneh.”

Alex mencengkeram ponselnya lebih erat. “Roni, cepat keluar dari gedung. Sekarang!”

“Apa maksudmu?”

“Dengar aku, ini bukan lelucon. Sebuah pesawat akan menabrak menaramu. Lantai 88. Tepat di tempatmu bekerja! Kau harus keluar dari sana sekarang juga!”

Hening. Alex bisa mendengar suara langkah kaki dan suara kertas-kertas yang dibolak-balik dari kejauhan.

“Alex, kau mimpi buruk lagi, ya?” Roni tertawa kecil. “Kau selalu punya firasat aneh sejak kecil.”

“Sialan, ini bukan firasat!” Alex berteriak. “Percaya padaku, Roni! Kau akan mati kalau tetap di sana!”

Tapi saat itu juga, suara keras terdengar di seberang telepon. Raungan mesin pesawat. Suara jeritan. Suara kaca pecah.

Lalu, hening.

Alex menatap layar ponselnya. Panggilan terputus. Tangannya gemetar saat mengecek waktu. 08:48 pagi.

Jantungnya berdetak tak menentu.

Dia telah gagal.


Alex terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Nafasnya tersengal. Tangannya buru-buru meraih ponselnya. 11 September 2001. Pukul 08:00 pagi.

Tidak mungkin.

Dia masih di sini.

Hari ini masih berulang.

Tangannya bergetar saat menekan tombol panggil lagi.

“Roni di sini,” suara itu kembali terdengar, sama seperti sebelumnya.

Kali ini, Alex tidak membuang waktu. “Roni, ini Alex. Dengarkan aku baik-baik. Ini akan terdengar gila, tapi kau harus keluar dari gedung sekarang juga. Jangan tanya kenapa. Jangan ragu. Cukup percayai aku!”

Roni terdiam sesaat. “Kau benar-benar terdengar panik. Ada apa, Bro?”

“Pesawat! Sebuah pesawat akan menabrak menaramu. Jika kau tetap di sana, kau akan mati!”

Tawa gugup terdengar dari ujung sana. “Kau bercanda, kan? Tidak mungkin hal seperti itu terjadi.”

“Roni, tolong. Aku mohon. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”

Hening sejenak. Kemudian suara langkah kaki terdengar. “Baiklah, aku keluar. Tapi kalau ini cuma lelucon, kau utang makan siang padaku, oke?”

Alex mengangguk meskipun Roni tidak bisa melihatnya. “Ya, apa saja. Asal kau keluar dari sana.”

Alex mendengar suara langkah kaki turun tangga dengan terburu-buru. Detik-detik yang berlalu terasa seperti siksaan.

Lalu, suara itu datang lagi. Raungan mesin pesawat. Suara jeritan. Suara kaca pecah.

Dan panggilan terputus.

Tidak! Alex ingin berteriak. Dia masih gagal. Bahkan setelah peringatan itu, Roni tetap mati. Sesuatu masih salah. Sesuatu yang belum ia perhitungkan.

Ponselnya jatuh ke lantai.

Dan semuanya menjadi gelap.


Alex terbangun lagi.

08:00 pagi.

Tidak. Dia masih di sini. Hari ini masih terulang.

Kali ini, dia akan menyelamatkan Roni. Apa pun yang terjadi.

Tangannya menekan panggilan dengan lebih cepat dari sebelumnya. Begitu suara Roni terdengar, dia langsung berbicara.

“Roni, aku tidak peduli jika kau tidak percaya padaku. Aku ingin kau keluar sekarang, dan jangan gunakan tangga darurat. Jangan pakai lift. Pergilah ke atap. Kau harus ke sana sekarang juga!”

Roni terdiam. “Alex, ada apa denganmu?”

“Dengar! Tangga dan lift tidak aman. Percaya padaku. Aku mohon. Aku… aku sudah melihatmu mati berkali-kali.” Suara Alex bergetar. “Aku tidak ingin itu terjadi lagi.”

Roni menghela napas. “Baiklah. Aku ke atap.”

Alex menunggu dalam ketegangan. Kali ini, dia tidak akan gagal.

Raungan mesin pesawat kembali terdengar, tapi kali ini lebih jauh. Alex menahan napas.

“Alex,” suara Roni di telepon terdengar serak. “Aku di atap. Aku masih hidup.”

Mata Alex membelalak. Dia berhasil. Kali ini, Roni selamat.

Tapi sebelum Alex sempat merayakannya, suara lain terdengar di latar belakang. Suara deru angin. Suara baling-baling helikopter.

Lalu suara pria lain berbicara di telepon. “Apakah ini Alex? Saya Kapten Thomas dari tim penyelamat. Kami akan mengevakuasi Roni sekarang.”

Alex hampir menangis lega. “Ya… ya! Tolong selamatkan dia!”

Dan panggilan terputus.

Namun kali ini, itu adalah panggilan yang diakhiri dengan harapan.

Alex menutup matanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa abadi, dia merasa ringan.

Roni selamat.

Dan akhirnya, siklus ini berakhir.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock