CintaKehidupanRomansa

Cinta yang Tak Kusadari

Kau bilang akan mencintaiku selamanya.
Selamanya? Aku mengerti…..
Tapi apa sebenarnya cinta?

★★★★

Sasa menyadari sesuatu pada usia 28 tahun, sebuah kesadaran yang membuatnya duduk termenung di tepi ranjang selama berjam-jam: dia tidak mampu jatuh cinta.

Bukan karena hatinya tertutup, bukan karena trauma masa lalu. Ia berasal dari keluarga terpandang, hidup dalam kehangatan rumah yang harmonis, dengan orang tua yang saling menyayangi dan kehidupan yang nyaris tanpa cela. Pendidikan tinggi, karier mapan, penampilan menarik, serta jejaring sosial yang luas, semuanya dimiliki. Tapi satu hal tidak pernah ia temukan sepanjang hidupnya: perasaan cinta.

Tak pernah ada degup jantung tak terkendali karena pandangan pertama. Tak pernah ada rasa rindu yang datang tanpa alasan. Ia tidak tergila-gila pada siapa pun, bahkan sekadar menyukai pun tidak. Dulu, saat sekolah, dia berpikir bahwa fokusnya hanya belajar. Setelah terjun ke dunia kerja, kompetisi yang ketat membuatnya berpikir bahwa cinta hanya akan menghambat karier. Tapi setelah sekian lama, ia mulai bertanya, apa memang dirinya tidak sanggup mencintai?

Selama seminggu, Sasa dilanda kecemasan. Ketidakmampuannya jatuh cinta terasa seperti kekurangan besar, sebuah kelemahan tak terlihat. Tapi kemudian ia mencoba membandingkan. Ada orang yang takut ruang sempit, ada yang tak bisa makan seafood, bahkan ada yang tak mampu berjalan lurus karena syaraf yang rusak. Mungkin, pikirnya, tidak bisa mencintai bukanlah akhir dunia… Mungkin.

Nyatanya, bukan tak ada pria yang tertarik padanya. Wajah cantik, kecerdasan tajam, dan karakter lembut membuat banyak pria mencoba mendekat. Tapi semuanya berhenti di tengah jalan, atau akhirnya ditolak secara halus. Bukan karena Sasa benci mereka. Ia justru menghargai keberanian mereka. Tapi ia tak bisa membalas perasaan itu, dan daripada menyakiti lebih jauh, ia memilih menjauh sebelum semuanya menjadi lebih rumit.

Ironisnya, ketidakmampuannya mencintai justru menjadi alasan ia diangkat sebagai Asisten Khusus General Manager. Kariernya menanjak tanpa distraksi romansa. Ia pikir itu murni karena kerja keras, tapi satu hal baru ia sadari belakangan: selama enam tahun bekerja di perusahaan, ia belum pernah bicara dengan sang General Manager selain urusan pekerjaan.

Namanya Evan. Seorang pria muda dengan latar belakang luar biasa. Tampan? pastinya. Tapi Sasa tak berani mengatakan itu keras-keras. Takut dianggap tak profesional, atau malah dipanggil HRD. Tapi tak bisa dipungkiri, Evan adalah sosok karismatik yang kerap dijadikan standar idaman di mata para wanita kantor. Ia tak menggoda, tak genit, namun aura elegannya selalu menarik perhatian.

Sasa mengagumi Evan, tapi hanya sebatas itu. Ia tidak merasa ada sesuatu yang lebih dari kekaguman profesional. Ia menyaksikan kisah cinta Evan dari jauh dan penuh lika-liku, kadang dramatis, kadang sunyi. Tapi ia tak pernah terlibat di dalamnya. Ia hanya penonton yang duduk tenang di pojok panggung.

Hingga suatu sore, setelah pekerjaan selesai dan ruangan kantor mulai lengang, Evan menatapnya dan bertanya:

“Maukah kamu menikah denganku?”

Sasa menoleh, kaget. Otaknya segera memproses segala kemungkinan. Apakah ini bentuk pelarian dari patah hati? Apakah dia baru saja bertengkar dengan kekasihnya? Tapi Evan tampak tenang, seperti pria yang membuat keputusan besar dengan sangat sadar.

Lima detik. Hanya lima detik yang ia butuhkan untuk menganalisis situasi. Menikah di usia 28 bukan hal aneh. Evan tidak mencintainya, dan tidak menuntut cinta. Bukankah ini sempurna?

Ia tersenyum tipis. “Oke,” jawabnya ringan.

Pernikahan itu membawa banyak komentar di kantor. Sebagian menyebutnya licik, sebagian lagi iri. Tapi Sasa tahu, ia bukan wanita yang haus kesempatan. Jika ada hal yang luar biasa dari dirinya, mungkin hanya keberuntungan dan karakternya yang tulus. Saat Evan butuh seseorang yang tidak mencintainya, ia berada di sana. Tepat di sampingnya.

Malam pernikahan mereka jauh dari romantis. Evan mabuk, dibopong ke kamar oleh teman-temannya. Sasa merawatnya tanpa keluhan. Membersihkan wajahnya dengan handuk hangat, membantu melepaskan bajunya, bahkan tak lupa meninggalkan kaus kaki yang masih menempel. Saat ia menyeka wajah suaminya, Evan membuka mata dan berbisik lirih:

“Terima kasih telah menikahiku dengan sukarela.”

Sasa terdiam. Ada sesuatu dalam suaranya yang menggetarkan hati.

Ia tersenyum. “Terima kasih juga karena telah memintaku menikahimu.”

★★★★

Tahun-tahun berlalu. Mereka menjalani kehidupan seperti pasangan pada umumnya. Bertengkar karena anak, berdiskusi soal masa depan, dan melewati banyak fase naik-turun dalam karier. Tapi semakin lama, mereka jadi tahu isi fikiran masing-masing hanya lewat lirikan. Seperti dua manusia yang tak pernah bicara cinta, tapi saling memahami lebih dari siapa pun.

Cinta mereka bukan api yang membakar, melainkan hangat yang perlahan-lahan menyusup dalam kebiasaan dan kepercayaan.

Dua puluh tahun setelah menikah, perusahaan mereka berada di ambang kehancuran. Evan berkata dengan nada berat, “Mari kita bercerai.”

Apa yang disebut perceraian bagi Evan mungkin maksudnya untuk membuat garis pemisah di antara mereka dan menyingkirkan hutang dan tuntutan hukum. Sasa tahu bahwa ini adalah niat baiknya, tapi dia jadi tersinggung. Dia tidak menyangka Evan akan mengakui kekalahannya dalam berbisnis kali ini.

Darah sasa terasa mendidih. Untuk pertama kalinya, ia marah, benar-benar marah.

“Cerai?! Jangan mimpi! Kalau kamu mau cerai, tunggu sampai kamu punya uang untuk mengurus perusahaanmu!”

Evan menatapnya, dan tertawa kecil.

“Oke, kita bicarakan setelah bangkit lagi.”

Dan mereka benar-benar bangkit. Namun perceraian tak pernah mereka bahas lagi.

★★★★

Sasa tahu, ada wanita lain di hati Evan. Seorang wanita yang tak pernah ia miliki, tapi sangat ia cintai. Ia tahu nama wanita itu, tempat kerjanya, bahkan kisah masa lalu mereka. Tapi ia tak pernah cemburu. Sasa tahu, cinta Evan itu tulus dan diam. Justru ia iri, karena Evan pernah mencintai seseorang, sementara dirinya tak pernah tahu rasanya mencintai.

Ketika Evan sakit tumor di usia 60, wanita itu datang menjenguk. Ia wanita yang hangat, baik, dan menyenangkan. Sasa mengenalnya sebagai teman lama. Dan dari obrolan ringan itu, ia memahami bahwa Evan mencintai wanita itu dalam diam, seumur hidupnya.

Sasa tiba-tiba mengerti mengapa dia melamarnya saat itu: Dia mencintai seorang wanita, tetapi dia terlalu baik dan tidak ingin menyakiti wanita itu dengan mengutarakan isi hatinya. Jadi dia mencari seorang wanita yang tidak mencintainya. Sebetulnya…Evan dan Sasa memiliki sifat yang mirip.

Evan menyerahkan bisnis pada anak mereka. Sasa berhenti bekerja, fokus menjadi nenek. Ia menderita rematik, sering tak bisa berjalan tanpa bantuan. Dan Evan selalu ada, menggandengnya dengan sabar. Orang lain menganggap mereka sebagai pasangan tua yang setia. Dan di mata anak dan cucu, mereka adalah contoh cinta seumur hidup. Sejujurnya,Sasa tahu bahwa tidak ada banyak cinta diantara mereka berdua. Terkadang mungkin karena kebiasaan, Sasa bisa merasakan kedamaian dan kehangatan dalam hatinya ketika Evan menggenggam tangannya.

★★★★

Lalu, suatu hari, Evan pergi. Di ranjang rumah sakit, dengan tangan kurus menggenggam tangannya, Evan menatapnya lembut.

“Terima kasih telah menghabiskan hidup ini bersamaku…”

Sasa membalas genggaman itu dengan dua tangannya.

“Terima kasih juga telah melewati perjalanan panjang ini bersamaku…”

Pada saat itu, Sasa menyadari bahwa, pada kenyataannya, dia telah jatuh cinta dan mencintai pria ini sepanjang hidupnya. Setiap tetasan cinta ini terlalu halus hingga Sasa tak mampu merasakannya, namun pada akhirnya tetesan cinta itu menjadi satu dalam lautan cinta yang tak terbatas.

Kau bilang akan mencintaiku selamanya.
Selamanya? Aku mengerti…..
Tapi apa sebenarnya cinta?
Aku rasa cinta adalah bagaimana aku tersenyum mengenang kehidupan kita dan tetap mengingatmu di akhir hayatku.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock