PersahabatanTeknologi

Anyaman Ratna

Ratna Triningsih melangkah mundur dari kanvasnya, kuas cat terselip di antara bibirnya, matanya meneliti pusaran warna hitam dan hijau tua yang memenuhi lukisannya. Bagi orang lain, mungkin itu hanya gambaran jamur biasa, tapi bagi Ratna itu adalah keindahan. Ia menambahkan sentuhan kilauan dengan kuas halus yang dicelupkan ke campuran biru kehijauan dan putih. Studio kecilnya yang berada di gang sempit kawasan Tebet, Jakarta Selatan, beraroma khas: cat minyak dan tanah basah. Ia sengaja menjaga kelembapan ruangan tetap tinggi, sekitar 78%, dengan meletakkan ember air di sudut-sudut studio. Buruk untuk peralatan elektronik, tapi sempurna untuk lukisannya.

Sejak kecil, Ratna memang selalu tertarik pada hal-hal yang sering diabaikan orang. Teman-temannya memetik bunga kembang sepatu, dia malah mengumpulkan serangga mati. Saat kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dosen mengakui teknik melukisnya luar biasa, tapi sering mengernyit melihat pilihannya.

“Bakatmu luar biasa, Ratna, tapi kenapa malah melukis jamur tempe busuk?” kata salah satu dosen, tak bisa menyembunyikan ekspresi geli.

Kini, di usia 34 tahun, Ratna membangun tempat kecil untuk dirinya di dunia seni Jakarta. Pameran terakhirnya di Galeri Cikini hanya dihadiri tujuh orang—tiga di antaranya keluarganya sendiri. Ulasannya? Tidak mengejutkan:

“Teknik Triningsih sangat solid, namun obsesinya pada objek membusuk membuat karyanya lebih cocok untuk buku mikologi ketimbang galeri seni.”

Ulasan itu malah ia bingkai dan gantung di studionya.

Hari itu, Selasa sore di bulan April, Ratna sedang mempersiapkan karya baru untuk pameran kecil di Galeri Seni Rawamangun, yang dikenal dengan tema-tema “seni ilmiah.” Ia sebenarnya kurang suka label itu. Berbeda dari seniman lain yang melukis dengan bakteri atau darah, Ratna tidak “menciptakan” jamur, ia hanya mengamati dan mengabadikannya.

Karya yang ia rampungkan kali ini sangat istimewa. Selama tiga bulan, ia mengamati pertumbuhan jamur aneh di langit-langit kamar mandinya. Bukannya dibersihkan, jamur itu ia rawat dan ia potret setiap hari, mengamati perubahan warnanya, kemudian menuangkannya ke dalam lukisan. Pola percabangannya begitu halus, seperti renda alami.

Telepon berdering, memecah konsentrasinya. Anna, pemilik galeri, menelepon.

“Ratna, sayang… ada perubahan untuk pameran Jumat nanti,” suara Anna terdengar agak canggung. “Pameranmu dipindah ke ruang belakang. Yang di depan buat Mas Martin Sembiring… kamu tahu, pelukis dengan warna yang meledak itu? Agennya ngebet banget…”

“Gak apa,” potong Ratna cepat, meski hatinya kecewa.

Ruang belakang kecil dan biasanya sepi pengunjung. “Aku sudah biasa disembunyikan.”

“Hey, jangan baper ya sayang. Ini cuma soal bisnis. Lukisanmu butuh ‘penikmat khusus’,” jawab Anna menenangkan.

Setelah telepon ditutup, Ratna menatap lagi kanvasnya. Tekadnya malah semakin kuat. Biarlah ditempatkan di sudut tersembunyi, ia tetap percaya: ada keindahan dalam dunia jamur yang tak semua orang mau lihat.

Di sisi lain Jakarta, Dr. Dewi Lestari membungkuk di depan mikroskop di laboratorium Mikrobiologi Lingkungan Universitas Indonesia. Usianya 46 tahun, terkenal perfeksionis, khusus meneliti jamur lingkungan Indonesia. Setahun terakhir, Dewi mengejar satu pertanyaan besar: bisakah jamur lokal membantu mengurai sampah plastik di sungai dan laut? Ada beberapa kandidat, tapi semuanya bermasalah: prosesnya lambat, atau hasil akhirnya malah beracun.

“Ada hasil baru, Bu?” tanya Malik, asisten mudanya sambil menyodorkan kopi sachet.

Dewi menggeleng. “Jamur Aspergillus sudah diujicoba, hasilnya malah beracun.”

Ia melihat jam tangannya. “Aku harus pergi. Malam ini ada pameran di tempat sepupu.”

“Seni-seni gitu, Bu?”

“Iya, padahal aku gaptek soal seni,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Malam itu, Dewi tiba di galeri. Anna segera menyambut dan membawanya keliling.

“Pameran utamanya sih karya Martin, tapi di ruang belakang ada lukisan Ratna Triningsih. Agak… unik. Tapi tekniknya luar biasa.”

Saat memasuki ruang kecil itu, Dewi berhenti. Dinding-dinding dipenuhi lukisan formasi jamur dengan detail luar biasa. Ia mengenali beberapa jenis jamur familiar, kapang roti, jamur kayu, jamur kotoran sapi. Tapi satu lukisan besar di ujung ruangan benar-benar membuatnya terpaku.

Ia mendekat. Struktur percabangan jamurnya rumit sekali, membentuk pola fraktal alami, berwarna hijau tua dengan ujung-ujung berkilau kebiruan.

“Menarik, kan?” ujar seseorang di sampingnya.

Dewi menoleh. Seorang perempuan berusia tiga puluhan dengan jemari penuh cat tersenyum malu-malu.

“Kamu pelukisnya?”

“Ratna Triningsih,” jawab Ratna pelan.

Dewi langsung bertanya, “Jamur di lukisan ini… kamu lihat di mana?”

“Langit-langit kamar mandiku, di rumah kontrakan di Tebet,” jawab Ratna.

“Aku sudah dua dekade meneliti jamur, tapi belum pernah lihat pola kayak gini. Ini sangat original.” Dewi mengulurkan tangan. “Dr. Dewi Lestari, ahli mikologi lingkungan.”

Mata Ratna membesar. “Serius?”

“Serius. Ini bukan sekadar lukisan. Ini dokumentasi ilmiah.”

“Selama ini aku berusaha bilang ke orang-orang,” Ratna hampir berbisik, “aku cuma menggambar apa yang kulihat.”

Dewi berpikir sejenak. “Masih ada jamurnya?”

“Masih. Aku rawat.”

Dewi cepat menyerahkan kartu namanya. “Besok aku mau lihat. Tolong hubungi aku, ya.”

Malam itu, Ratna tidak bisa tidur, setengah yakin itu hanya basa-basi. Tapi paginya, ia tetap memberanikan diri menelepon.

“Bu Ratna! Bagus, Aku kosong hari ini. Bisa aku ke rumah sekarang?”

Tiga jam kemudian, Dewi berdiri di kamar mandi Ratna, menatap langit-langit penuh rasa kagum. Jamur itu membentuk anyaman alami yang begitu rapuh tapi indah.

“Boleh aku ambil sampel?”

Ratna mengangguk.

Di studionya, Dewi melihat portofolio lukisan Ratna dari tahun ke tahun. Semakin ke belakang, semakin jelas keakuratan tekniknya.

“Ratna,” kata Dewi serius, “sepertinya kamu sudah mendokumentasikan spesies jamur baru yang mungkin bisa mengurai plastik tanpa efek racun.”

Ratna terpana. “Serius jamur di kamar mandiku bisa… menyelamatkan lingkungan?”

“Mungkin saja. Tapi harus diuji dulu.” Dewi tersenyum. “Mau kolaborasi?”

“Aku? Tapi aku cuma pelukis!”

“Kamu punya mata jeli yang bahkan ilmuwan pun belum tentu punya,” jawab Dewi.

Setelah berpikir sejenak, Ratna mengangguk. “Baiklah.”

Bulan-bulan berikutnya, Ratna rajin datang ke laboratorium. Lewat mikroskop, ia melihat jaringan halus jamur yang kini dinamai “Ratnaria verrucosa” atau “Anyaman Ratna“.

Uji awal menunjukkan jamur ini bisa mengurai mikroplastik hingga 73% dalam dua minggu, tanpa efek racun. Namun jamur ini sangat sensitif terhadap kelembapan. Setelah Ratna menyebut suhu dan kelembapan studionya, Dewi sadar: itu kunci pertumbuhannya.

Dengan bantuan Ratna, mereka membuat ruangan budidaya baru. Jamur itu pun tumbuh subur.

Setahun kemudian, Ratna berdiri di Museum Nasional Indonesia, dalam pameran bertajuk “Anyaman Ratna: Ketika Seni Bertemu Sains.” Lukisannya dipajang sejajar dengan data ilmiah hasil penelitian.

Saat sesi tanya jawab, seorang wartawan bertanya, “Bagaimana rasanya akhirnya karya Anda diakui dunia sains?”

Ratna tersenyum. “Ini bukan tentang pengakuan. Ini tentang menemukan keindahan di tempat yang dulu dianggap kotor.”

Dewi menambahkan, “Penemuan besar sering lahir dari pertemuan dunia yang berbeda. Ratna mengajarkan kita melihat dengan cara baru.”

Di tengah riuhnya tepuk tangan, Ratna sadar: obsesinya terhadap jamur yang dulu dianggap aneh, akhirnya menjadi jembatan yang menyatukan seni dan sains.

Dan kini Ratna merasa benar-benar dihargai.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock