Anak-anakDramaPendidikan

HIPERAKTIF

Pernikahan Ratmi dan Anwar tidak mewah, tak ada tenda biru atau panggung dangdut, hanya akad nikah di ruang tamu yang sempit dengan tumpukan piring pinjaman dari tetangga. Namun, dari pernikahan sederhana itu, lahirlah sebuah “petualangan hidup” bernama Mulyanto.

Yanto, si buah hati pertama mereka, sejak bayi sudah menunjukkan gelagat tidak biasa. Bayi lain tidur nyenyak setelah kenyang, Yanto malah terjaga semalaman, menendang-nendang seolah sedang ikut bela diri tingkat dasar. Saat menginjak lima tahun, diagnosis dokter akhirnya keluar: hiperaktif. Tapi bagi Ratmi, diagnosa itu tak lebih dari kata sopan untuk “anak yang seperti setrikaan konslet tanpa kabel.”

Ratmi tak pernah benar-benar bisa duduk santai. Baru saja menuangkan teh panas, Yanto sudah lari mengejar kucing tetangga dengan sapu lidi. Pernah juga, hanya ditinggal ke kamar mandi sebentar, Yanto membongkar bantal dan membuat “salju” dari isi kapuknya. Satu rumah penuh bulu, dan Yanto berdiri di tengahnya, tertawa seperti penguasa musim dingin.

Suatu pagi, Ratmi hendak belanja ke pasar. Ia sengaja meninggalkan Yanto bersama neneknya. Trauma masih membekas dari insiden pasar sebelumnya, di mana Yanto membanting setengah kilo telur hanya karena penasaran ingin “melihat anak ayam keluar dari cangkang.” Ketika telur-telur itu hanya menyisakan lendir dan cangkang pecah, Yanto justru berdiri sambil berjoget kecil dan berkata, “Mana anak ayamnya? Kok nggak ada?” Akibatnya, Ratmi harus menggadaikan dua ribu rupiah recehan untuk bisa beli tempe buat makan siang.

Namun pagi itu, Yanto merengek. Ia ingin ikut ke pasar. “Nggak, Nak. Nanti pasar bisa roboh,” kata Ratmi dalam hati. Tapi ia tetap tersenyum dan bilang, “Yanto jaga rumah, ya. Nenek butuh bantuan.”

Dan benar saja, saat Ratmi pulang, rumah sudah seperti kapal pecah. Nenek berdiri dengan wajah pasrah di dapur, dan Yanto duduk di lantai dengan wajah penuh sambal, entah dari mana ia menemukannya. Rupanya, Yanto mencoba jadi koki, mencampur garam, kopi, cabe, dan odol di satu panci. Ia menyebutnya “sop semangat naga.”

Anwar, yang baru pulang kerja dan berharap bisa rebahan lima menit saja, malah jadi sasaran empuk. Belum sempat duduk, Yanto sudah loncat ke punggungnya. “Pak! Gendong! Ayo terbang!” katanya sambil menjepit leher ayahnya seperti pembalap rodeo.

Anwar hanya bisa menarik napas panjang. Tapi hari itu, ada hal yang lebih mengagetkan dan memalukan. Anwar hendak buang hajat di sungai belakang rumah. Baru beberapa langkah keluar, Yanto berteriak, “Pak! Tunggu! Aku ikut! Aku pengen lihat!”

“Lho, lihat apa?” Anwar kaget.

“Lihat Bapak buang hajat,” jawab Yanto polos, penuh semangat.

Nenek, yang sedang menggoreng nasi, langsung mengangkat spatula tinggi-tinggi. “Yanto! Buang hajat itu bukan pertunjukan sirkus!”

Tapi Yanto tetap memaksa, bahkan menarik-narik sarung Ratmi sambil merengek. Akhirnya Ratmi menyerah dan mengantar, tapi Anwar sudah kembali. Yanto pun kecewa, lalu berdiri di pinggir sungai sambil teriak, “Pak! Buang hajat lagi dong! Sekali lagi ajaaa!”

Untuk meredakan krisis, nenek mengambil beberapa batu kecil dan pura-pura melemparkannya ke air sambil bilang, “Tuh, dengar. Plung, plung. Bapak buang hajat tuh.”

Yanto pun sumringah. Ia mengambil batu yang lebih besar, melemparkannya ke sungai dan teriak, “Horeee! Aku juga bisa!”

Muncratan air nyasar ke sarung Anwar yang sedang dijemur. Anwar hanya diam, menggigit bibir. Matanya menatap nanar, seolah sedang menghitung sisa hari cuti.

Melihat kegilaan ini tak kunjung reda, Anwar akhirnya membangun jamban kecil di belakang rumah. Solusi sementara yang membuat privasi keluarga terselamatkan. Tapi Ratmi tahu, ini bukan akhir dari segalanya.

Lalu, berita baik datang. Ratmi hamil anak kedua. Tapi kehamilan itu harus dijaga ekstra ketat. Kenapa? Karena Yanto punya hobi baru: memukul perut ibunya sambil menyebutnya “gendang ajaib”. Ia sangat antusias, kadang mengecup perut itu, kadang memukulnya pakai sendok nasi.

Ratmi mulai khawatir. Sekolah menjadi harapan satu-satunya untuk “mengunci” energi Yanto. Tapi guru-guru juga kewalahan. Pernah suatu pagi, Yanto menghapus semua tulisan di papan tulis dan menggantinya dengan gambar manusia lidi dan seekor kucing pakai dasi. Saat ditegur, ia menjawab, “Saya cuma memperindah, Bu!”

Panggilan dari sekolah datang hampir tiap minggu. Tapi para guru mulai memahami: Yanto bukan nakal, hanya tak tahu bagaimana menyalurkan energinya. Maka dibuatlah sistem hukuman kreatif: tiap kali Yanto berulah, ia harus menyusun balok atau menyapu halaman. Anehnya, ia menurut.

Ketika adiknya lahir, Yanto sempat “membungkam” mulut bayi itu dengan bantal karena merasa terganggu dengan tangisnya. Anwar, yang biasanya sabar, kali itu langsung memukul tangan Yanto. Untuk pertama kalinya, Yanto menangis keras bukan karena sakit, tapi karena kaget.

Ia lari ke neneknya. “Tangan Yanto sakit, Nek… dipukul Bapak…”

Nenek menatapnya sambil membelai rambutnya. “Tangan Yanto dipukul karena tangan Yanto yang nakal. Kalau adikmu bisa bicara, dia pasti bilang, ‘Tolong jangan tutup mulutku.’ Dia cuma bisa nangis karena belum bisa ngomong, Nak.”

Yanto termenung. Ia lalu mendekati adiknya, mencium pipinya, dan ajaibnya si bayi tersenyum. Yanto pun terlonjak, “Nek! Adik senyum! Dia suka Yanto!”

Hari itu, hati Ratmi luluh. Anaknya mulai mengerti. Mungkin belum sepenuhnya, tapi satu langkah kecil terasa seperti lompatan besar bagi keluarga mereka.

Kini, Yanto duduk di kelas lima. Ia sudah bisa duduk tenang di kelas, mengerjakan PR tanpa minta ditemani, dan bahkan membantu adiknya belajar membaca. Anwar dan Ratmi memberikan mainan edukatif sesuai saran dokter, juga membacakan cerita setiap malam. Dulu Yanto hanya diam mendengarkan, sekarang ia suka menirukan suara karakter dalam cerita.

Rumah yang dulu selalu gaduh kini terasa lebih hangat. Tidak sunyi, tidak juga ribut, tapi penuh tawa dan kisah kecil yang lucu.

Karena satu hal yang tak pernah Ratmi lupakan adalah ini: Yanto bukan masalah yang harus diselesaikan, tapi keajaiban kecil yang harus diajak tumbuh bersama dengan sabar, tawa, dan cinta yang tak ada habisnya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock