Rakyat di Gang Sempit
Pagi itu, di sebuah gang sempit di Jakarta, seorang tukang becak bernama Sarmin sedang menyiapkan sarapannya. Nasi aking sisa semalam ia taruh di atas piring kaleng penyok, lalu ditaburi garam seadanya. Perutnya sudah keroncongan, tapi ia tetap menggumam pelan, “Alhamdulillah masih ada.” Tidak jauh dari rumahnya, Bu Lastri sibuk menghitung uang receh hasil berjualan gorengan. Matanya sembab karena semalam tak bisa tidur, memikirkan tagihan listrik yang belum terbayar. Kalau sore nanti belum dilunasi, pasti petugas datang memutus aliran listrik.
Di warung kopi yang menjadi tempat berkumpul orang kampung, televisi butut menyiarkan berita pagi. Seorang pembawa acara dengan senyum kaku membacakan informasi bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR periode baru bisa mencapai seratus juta rupiah per bulan. Disebutkan pula rinciannya, dari tunjangan rumah yang nilainya lima puluh juta, sampai listrik dan telepon yang dibayar tujuh juta per bulan.
Warung mendadak hening. Orang-orang saling pandang, lalu terdengar suara Sarmin yang tercekat, “Seratus juta? Aku narik becak seharian paling cuma dapat lima puluh ribu, itu pun kalau ada penumpang.” Ia meneguk kopi hitamnya yang tanpa gula, hampir tersedak.
Bu Lastri yang ikut nongkrong mendengus, “Seratus juta? Dengan uang segitu aku bisa bikin gorengan gratis untuk satu kampung sebulan penuh.” Tawa kecil terdengar, tapi lebih mirip tawa getir ketimbang kegembiraan.
Obrolan terus berlanjut. Seorang buruh pabrik bernama Warto menimpali, “Bayangkan, listrik dan telepon mereka tujuh juta sebulan. Rumahku bayar seratus ribu saja sudah ngos-ngosan. Kalau nunggak dua bulan diputus, sementara mereka malah dikasih tunjangan.” Anak muda pengangguran bernama Beni yang sedang sibuk dengan ponselnya ikut menambahkan, “Tunjangan komunikasi mereka lima belas juta sebulan. Aku beli paket internet lima puluh ribu saja mikir berkali-kali. Lima belas juta itu bisa buat beli seratus lima puluh paket internet. Mau dipakai buat apa? Main TikTok seharian?”
Suasana warung makin riuh. Tawa, umpatan, dan keluhan bercampur jadi satu. Dari obrolan itu lahirlah ide gila. Mereka sepakat mengadakan rapat kecil di mushola kampung malam harinya, membicarakan soal gaji para wakil rakyat.
Ketika rapat dimulai, warga duduk di atas tikar, kopi tubruk dibagi dalam gelas plastik, dan Sarmin ditunjuk jadi ketua. Dengan gaya sok serius ia membuka rapat, “Hari ini kita membahas bagaimana caranya rakyat kecil bisa ikut menikmati gaji DPR.” Suara tawa meledak, tapi tawa itu getir.
Bu Lastri kemudian angkat tangan. “Daripada mereka dapat tunjangan rumah lima puluh juta, setengahnya saja cukup untuk perbaiki got yang mampet di kampung kita. Anak-anak sakit gara-gara bau got. Apa itu tidak lebih berguna?” Warto mengangguk keras, “Betul. Apalagi listrik mereka dibayarin tujuh juta. Kita ini dikejar-kejar PLN tiap bulan. Kalau telat, langsung diputus. Tidak ada belas kasihan.”
Akhirnya rapat menghasilkan sebuah keputusan. Mereka akan menulis surat terbuka untuk anggota DPR. Surat itu ditulis di kertas bekas kalender oleh Pak RT dengan spidol merah. Isinya singkat tapi tegas. Mereka mengucapkan terima kasih atas kerja keras wakil rakyat, namun juga bertanya kenapa gaji mereka bisa sampai seratus juta sebulan sementara rakyat kecil makan nasi aking. Kenapa listrik dan telepon mereka dibayar negara sedangkan rakyat kecil diputus alirannya kalau telat sehari. Kenapa rumah mereka ditunjang puluhan juta per bulan sementara rakyat hidup di kontrakan bocor. Mereka menutup surat dengan tantangan sederhana. Kalau wakil rakyat mau membuktikan diri, cobalah hidup dengan gaji UMR sebulan saja.
Surat itu difoto dan disebarkan lewat media sosial oleh Beni. Tak disangka, tulisan tangan di atas kertas kalender itu viral. Ribuan komentar bermunculan, sebagian mendukung, sebagian mengejek, sebagian lagi pura-pura tidak tahu. Yang mengejutkan, beberapa hari kemudian mereka menerima undangan resmi untuk datang ke Gedung DPR di Senayan.
Hari itu, warga kampung berangkat beramai-ramai. Mereka patungan ongkos naik metromini. Sesampainya di Senayan, mereka ternganga melihat gedung megah dengan karpet merah, lampu kristal, dan pendingin ruangan yang menusuk tulang. Semua terasa seperti istana.
Seorang anggota DPR menyambut mereka dengan senyum formal. “Kami menghargai aspirasi bapak-ibu sekalian. Tapi perlu dipahami, semua tunjangan kami sudah diatur undang-undang. Kami bekerja siang malam demi rakyat.”
Sarmin tidak tahan. Ia berdiri, wajahnya memerah. “Pak, kalau benar kalian kerja siang malam demi rakyat, kenapa jalanan kampung kami rusak bertahun-tahun? Kenapa harga beras naik terus? Kenapa kami harus ngutang untuk bayar sekolah anak? Kami tidak butuh kalian kerja siang malam di ruangan ber-AC ini. Kami butuh bukti nyata di lapangan.”
Ruangan mendadak hening. Beberapa anggota DPR pura-pura sibuk menunduk melihat ponsel. Ada yang cekikikan kecil, ada yang hanya menghela napas panjang.
Bu Lastri akhirnya memberanikan diri bicara. “Dengan tunjangan rumah bapak sebulan, saya bisa bangun kontrakan lima pintu. Dengan tunjangan listrik bapak sebulan, saya bisa bayar listrik setahun. Kami tidak minta belas kasihan. Kami hanya minta keadilan.”
Namun jawaban yang mereka dapat hanya putaran kata-kata. “Semua sudah sesuai regulasi. Kami hanya menjalankan aturan.” Kalimat itu diulang-ulang seperti kaset rusak.
Rombongan warga pulang dengan hati panas. Dalam bus yang berderit menuju kampung, Beni berbisik kepada Sarmin, “Kalau semua sudah diatur undang-undang, tapi undang-undangnya tidak adil, apa kita harus diam saja?” Sarmin menatap keluar jendela yang penuh debu. “Undang-undang itu mereka yang bikin. Jangan harap mereka mau membuat aturan yang memotong kenyamanan mereka sendiri.”
Tidak ada yang membalas. Semua hanya diam, larut dalam pikiran masing-masing.
Malam harinya, warga kembali berkumpul di mushola. Kali ini tidak ada tawa, hanya obrolan serius. Mereka sadar, menunggu belas kasihan dari wakil rakyat hanyalah mimpi. Bu Lastri dengan suara mantap berkata, “Kalau mereka tidak bisa wakili kita, ya kita harus wakili diri kita sendiri.”
Sejak hari itu, mereka mulai bergerak. Uang receh dari hasil narik becak, berjualan gorengan, dan kerja serabutan dikumpulkan. Mereka bikin koperasi kecil, saling bantu membayar listrik, memperbaiki got, dan menyekolahkan anak-anak. Mereka sadar wakil rakyat di Senayan mungkin tidak akan pernah benar-benar peduli, tetapi di gang sempit itu mereka belajar bahwa persatuan rakyat kecil jauh lebih berharga daripada seratus juta gaji sebulan.
Dan malam itu, sebelum bubar rapat, seseorang berbisik pelan tapi terdengar oleh semua, “Kalau wakil rakyat lupa rakyat, biarlah rakyat yang wakili dirinya sendiri.” Bisikan itu menjadi janji bersama, sebuah keyakinan baru yang lahir dari perut lapar dan kemarahan yang terlalu lama dipendam.