Penjaga yang menggiringku ke dalam ruangan menarik rantai di leherku dengan kasar. Rasa sakit menjalar hingga ke tengkuk, dan aku menggeram marah, memperlihatkan taringku yang mengerikan. Dia spontan mundur, wajahnya pucat diliputi ketakutan, lalu seolah baru ingat siapa sebenarnya yang jadi tahanan di sini.
“Hati-hati, anjing liar. Mau makan dari kloset pakai rahang yang dipasangi kawat?” gertaknya dengan suara bergetar, bau ketakutan keluar dari tubuhnya.
Aku mencibir. “Ayolah, sipir. Kita berdua tahu siapa yang sebenarnya takut sama Si Serigala Jahat.”
Ekspresinya menjadi tegang, rahangnya menggigil kencang. Tangannya meraba tongkat di pinggangnya.
“Cukup, Petugas,” kata suara baru. “Lakukan tugas Anda tanpa melanggar hak-hak klien saya.”
Aku menoleh melewati si penjaga. Di ujung meja, duduk seorang pria pendek. Ruangan ini suram, hanya disinari lampu neon yang berkedip di langit-langit, tapi penglihatanku tajam. Pria itu terlalu pendek untuk kursinya, mengenakan setelan mahal, rambut rapi, dan wajah yang begitu keriput hingga mirip buah plum kering dijemur di gurun. Aromanya campuran antara parfum mahal, sutra, jerami busuk… dan…
Hmm. Aneh. Tak ada bau takut. Sedikit pun. Artinya dia bodoh… atau penjahat.
Sepertiku.
Penjaga itu mengaitkan rantai leherku ke cincin di lantai, cukup panjang agar aku bisa menjangkau sisi mejaku, lalu menguncinya dengan bunyi klik. Ia lalu mundur ke dinding.
Mata pria kecil itu, kecil dan tajam di balik kacamata kawat, menoleh ke si penjaga. “Tinggalkan kami berdua.”
“Bukan ide bagus, Pak,” gumam penjaga, melirikku. “Tahu dia siapa, kan?”
“Tentu saja,” sahut si pria pendek. “Dan saya juga tahu soal hak antara terdakwa dan pengacaranya. Harus saya ulangi?”
Penjaga itu menghela nafas, menggeleng, lalu pergi sambil membanting pintu. Terkunci dengan suara keras.
Aku merentangkan tubuh sejauh rantai mengizinkan, menggoyangkan badan hingga bulu abu-abuku mengembang. “Klien, ya? Lucu. Aku nggak ingat pernah sewa pengacara.”
Senyum tipis melintas di wajah keriputnya. “Belum. Tapi saya yakin Anda akan mempertimbangkan jasa saya setelah mendengar penawaran saya.”
“Kenapa begitu?” tanyaku, malas.
“Karena saya bisa pastikan Anda tidak harus menghabiskan sisa hidup di penjara.”
Telingaku reflek bergerak. Tapi aku paksa tertawa kecil. “Heh. Kayaknya bukti mereka cukup kuat, deh.”
“Justru karena itu Anda butuh saya.” Senyumnya makin licik. “Perkenalkan, nama saya…” Ia meletakkan kartu nama di meja.
Aku melirik sekilas. Tuan R, Pengacara Hukum, Spesialis Kasus Tuduhan Keliru. Huruf-huruf hitam mengkilap menonjol di atas latar putih, dihiasi simbol roda berputar dari foil emas. Simbol khas itu jelas banget.
“Tuan R, ya? Itu singkatan dari…”
Dia mengangkat tangan kecilnya, menghentikanku. “Saya lebih suka hubungan ini tetap profesional.” Senyum penuh gigi kuning menyeringai.
“Pengacara sekarang, ya?” aku mengedip. “Pekerjaan lama kurang cocok?”
“Bisa dibilang terlalu… melelahkan. Pekerjaan baru ini jauh lebih menyenangkan. Dan secara etika, saya tidak perlu banyak menyesuaikan diri. Jadi, cukup panggil saya Tuan R. Anda sendiri, saya panggil apa?”
Aku mengangkat bahu, gaya manusia yang sudah kupelajari. “Biasanya orang cuma teriak ‘Serigala!’ lalu lari terbirit-birit.”
“Baiklah. Kalau begitu, saya panggil Anda Tuan Serigala.”
“Terserah.”
“Jadi,” katanya sambil menyandarkan diri ke kursi kayu, “Saya sudah membaca kasus Anda, Tuan Serigala. Tapi mungkin Anda ingin menceritakan versi Anda sendiri?”
Aku tertawa kecil. “Versiku? Heh. Siapa juga yang mau dengar? Buat mereka, aku cuma penjahat yang kerjanya berbuat jahat. Udah dari dulu ceritanya begitu.”
“Jadi Anda tidak membantah tuduhan itu?”
Aku tersenyum sinis. “Yah, kalau aku bilang iya atau tidak, tetap aja ujungnya sama. Mereka udah mutusin aku bersalah.”
“Pengakuan Anda akan tetap dirahasiakan. Kami terikat sumpah sebagai pengacara.”
“Ya udah. Aku ngaku. Semua yang mereka bilang itu benar.”
Tuan R melepas kacamatanya, mengelapnya dengan sapu tangan. “Anda membuntuti Peter dan teman-temannya, mencoba membunuh seekor… bebek, ya?”
Aku meringis pura-pura menyesal. “Nyaris kena, tapi dia terlalu lincah. Sampai sekarang masih kerasa bulunya di lidah.”
“Dan Anda merusak rumah tiga babi pekerja keras?”
“Eh, bukan salahku rumah mereka rapuh. Tapi habis itu mereka coba bakar aku hidup-hidup. Sampai bulu habis setengah.”
“Lalu Anda menelan seorang gadis kecil dan neneknya?”
Aku tertawa kecil. “Sama kucing neneknya juga. Tidak banyak orang yang ingat itu. Tapi setelah aku bangun di tepi sungai, perutku dioperasi tiga kali buat ngeluarin batu-batu?, lalu enam bulan pakai kerucut plastik sialan dikepala… Kalau si penebang kayu itu ketemu aku lagi, dia yang masuk daftar menu berikutnya.”
Tuan R kembali mengenakan kacamatanya. Ekspresinya tak berubah. “Jadi Anda memang bersalah. Dan polisi sudah punya bukti lengkap.”
Aku menunjukkan taring. Entah itu senyum atau geraman. “Ya. Aku penjahat. Cerita selalu begitu. Itu… apa namanya? Oh ya. Moral. Pesan moral cerita. Penjahat berbuat jahat.”
Alis berantakannya terangkat. “Bagaimana kalau saya katakan cerita ini bisa berakhir berbeda?”
Aku miringkan kepala. “Maksudnya?”
“Tugas saya bukan membuktikan Anda tak bersalah,” kata Tuan R. “Tapi mengubah Anda dari pelaku jadi korban.”
“Apa?”
“Benar, Tuan Serigala. Kita akan fokus pada masa lalu Anda yang kelam, diskriminasi yang Anda alami. Anda sendiri bilang, orang cuma lihat Anda sebagai monster. Itu bentuk prasangka. Sudah mewarnai hidup Anda sejak lama, bukan?”
“Uh…” Aku kehilangan kata. Tak pernah kupikirkan dari sisi itu.
“Punya pasangan? Anak? Kawanan yang menunggu Anda?”
“Enggak. Nggak ada.”
“Berarti makin cocok. Kita bisa menjual citra Anda sebagai korban sistem yang kejam. Saya tahu caranya. Percayalah, saya jago dalam… mengemas kenyataan.”
Aku meringis. “Kenapa nggak bayar uang jaminan aja? Biar aku kabur.”
Dia tertawa singkat. “Hidup diburu? Sembunyi seumur hidup?”
Aku menyeringai. “Itu udah biasa buatku. Aku ini Si Serigala Jahat, ingat?”
“Tidak harus begitu,” katanya. “Kalau saya yang tangani, Anda cuma habiskan beberapa bulan di penjara. Setelah itu hidup tenang, rumah nyaman, hutan pribadi, tak ada yang akan menganggumu lagi. Dengan publisitas yang cukup, saya bisa atur semuanya. Dan tentu, saya ambil lima puluh persen dari keuntungannya.”
Busuk. Jijik. Dia ingin aku berpura-pura jadi korban, menyangkal siapa diriku, hanya demi uang. Aku ini penjahat, dan dia ingin manfaatkan itu demi ketenaran.
“Aku nggak yakin,” kataku pelan. “Kedengarannya seperti kebohongan besar.”
“Dan Anda belum pernah bohong sebelumnya?” tanyanya sinis. “Bukankah Anda pernah menyamar jadi nenek-nenek? Itu juga termasuk tipu daya, bukan?”
Aku mendesis. “Itu strategi. Seorang pemangsa harus cerdik.”
“Persis. Jadi mari kita hentikan basa-basinya.” Ia meletakkan map di atas meja, mengeluarkan pena emas. “Tanda tangan di sini, dan saya mulai ubah Anda jadi korban tragis.”
Korban. Aku?
Tidak.
Aku adalah penjahat. Aku memilih jalan itu. Dan meski aku menyesal karena tertangkap, bukan karena perbuatanku. Kalau bukan karena si penebang kayu, aku masih bebas. Tapi lihat sekarang, aku duduk berhadapan dengan seseorang yang lebih jahat dariku. Yang ingin memanfaatkan kelemahanku demi keuntungan.
Dan dia bukan tipe penjahat yang ingin kutiru.
“Dengar, Tuan R,” kataku sambil menunjukkan taring. “Aku tahu aku penjahat. Aku terima itu. Dan aku lebih pilih menanggung akibat dari perbuatanku.”
Wajahnya meringis, seolah mencicipi sesuatu yang busuk. “Tuan Serigala, tolong pikirkan lagi…”
“Pergi dari sini, sebelum aku sebut nama aslimu. Atau mungkin, langsung kutelan saja. Pilih sendiri.”
“Tuan Serigala….”
Aku menerjang ke depan, rantai menegang. Kedua cakarku menghantam meja, aku menggonggong, ludah menyembur ke jas mahal dan kacamata mengilapnya. Dia jatuh terguling, berhamburan bersama koper dan penanya. Sekejap kemudian, dia bangkit dan lari ke pintu.
Akhirnya aku mencium baunya. Ketakutan. Pekat dan menyengat. Ternyata dia memang tidak bodoh.
Saat tangannya di gagang pintu, dia menoleh. “Mereka tak akan pernah melihatmu selain sebagai penjahat. Mereka akan terus memburu dan menghukummu.”
“Mungkin,” jawabku, lelah. “Tapi mungkin aku pantas mendapatkannya. Dan kalau aku mau mengubah itu, mungkin aku harus membuktikan bahwa aku bisa berubah.”
Aku mengangkat bahu. “Jadi meski aku penjahat dalam cerita ini… mungkin aku masih bisa memilih untuk melakukan hal yang benar.”
“Mungkin itu udalah pesan moral dari cerita ini”