DramaKehidupanMotivasi

Semua Orang Benci Badut

Dani menuangkan gula ke dalam gelas kertas dan mengaduknya dengan stik kayu kecil yang selalu mengingatkannya pada tongkat Baseball. Sebuah tangan besar dan berbulu tiba-tiba muncul di pinggir pandangannya. Ia menoleh dan melihat wajah pemilik tangan itu, seorang pria dengan rambut acak-acakan, kumis dan janggut tebal tersenyum kepadanya.

“Tarjo, badut rodeo,” ucap pria itu sambil mengulurkan tangan.

Dani menjabat tangan itu dan membalas, “Dani, badut sirkus.”

“Baru pertama kali ikut ya? Nggak pernah lihat kamu sebelumnya,” kata Tarjo dengan logat khas daerah.

Dani mengangguk pelan.

“Sekarang masih kerja?” lanjut Tarjo sambil menunjuk ke janggutnya dan terkekeh.

“Nggak, aku masih cuti sekarang,” jawab Dani datar.

Wajah Tarjo berubah serius. “Nggak mudah ya kerjaan kita. Capek, fisik dan mental. Kadang diperlakukan kayak lelucon aja. Tapi kamu pasti tahu lah, makanya kamu di sini.”

Dani kembali mengangguk. Ia lalu menuju kursi di tengah ruangan. Ia ragu akan ada yang menarik kursinya sebagai bahan lelucon, tapi tetap memilih duduk di kursi kosong di setiap sisi. Sayangnya, sisi kanan langsung diisi oleh Tarjo dan sisi kiri oleh pria besar bersuara lantang yang tampaknya mengenal semua orang di ruangan.

Tarjo menyikut Dani. “Itu Pak Budi, alias Budi Badut. Dia fasilitator di sini, dulu juga badut sirkus.”

Sebelum Dani bisa bertanya, Pak Budi sudah berdiri dan membuka pertemuan. “Selamat datang semuanya. Silakan duduk. Sepertinya tidak banyak yang hadir hari ini.”

Seorang pria gemuk di seberang lingkaran menyahut, “Ya iyalah, semua orang benci badut.”

Beberapa orang tertawa kecil sebelum Pak Budi menimpali, “Tidak semua. Hanya sebagian kecil yang membuat dunia jadi berat buat kita. Siapa yang mau mulai sesi curhat?”

Saat seorang pria jangkung berdiri, Tarjo mendekat dan berbisik ke Dani, “Sebenarnya sih, semua orang memang benci badut. Jangan percaya Pak Budi.”


 

Sejak kecil, Dani memang ingin jadi badut. Saat anak-anak lain bermain petak umpet, Dani sibuk membuat balon berbentuk hewan. Umur sepuluh tahun, ia sudah bisa membuat jerapah dan gajah dari balon. Namun, balon-balon itu dianggap mengganggu oleh guru dan orang tua murid lain, terlalu berisik, sering dilempar-lempar, dan bikin kacau.

Orang tuanya mengira itu hanya fase sementara, seperti suka dinosaurus. Mereka bahkan membantunya membuat kostum badut untuk Halloween dan mendaftarkannya ke kamp pelatihan badut. Tapi saat Dani berumur tiga belas, orang tuanya mulai khawatir. Teman-temannya sudah mulai tertarik dengan olahraga atau musik. Dani malah makin serius jadi badut.

Psikolog yang mereka datangi cuma bilang, “Anak ini cuma sangat suka jadi badut. Nggak ada yang salah.”

Saat kuliah, orang tuanya mengizinkan Dani ikut sekolah badut selama liburan, dengan syarat mengambil jurusan yang ‘mudah’. Dani setuju kuliah drama. Setelah lulus, ia bekerja di perusahaan hiburan acara ulang tahun. Salah satu rekan kerjanya adalah seorang pesulap bernama Pak Herman yang selalu batuk-batuk saat pertunjukan dan kemudian merokok di belakang mobil van.

Dani pernah mencoba berteman dengannya, tapi Pak Herman bahkan tak mau menatap mata Dani. “Saya benci badut,” katanya. “Bukan salah kamu, tapi saya nggak suka badut.”

Di dunia nyata, Dani baru sadar banyak orang yang tidak suka badut. Selalu ada anak yang menangis saat ia tampil, dan orang tuanya melihatnya seperti ia membuat anak mereka trauma. Anak-anak remaja malah lebih kejam lagi.

“Namamu Dani Badut? jelek banget,” kata seorang anak SD.

“Nama apa yang lebih bagus?” tanya Dani dengan suara lucu khas badut.

“Badut tolol saja.” Anak itu menjawab sambil pergi dengan mata melotot.

Dani bisa menahan diri ketika anak-anak menangis melihatnya, tapi kini makin sulit saat bertemu mereka yang benar-benar membencinya. Ia pernah disemprot cairan merica. Pernah dilempar botol minuman saat tampil. Sekali waktu, seorang nenek tua menjerit histeris hanya karena melihat wajahnya.

Waktu audisi untuk Sirkus Raya, ia sangat gugup. Tapi setelah tampil, sang pemimpin sirkus hanya berkata, “Kamu lolos.” Dan pergi begitu saja.

Ia kira akan bertemu dengan badut-badut yang bersemangat seperti di kamp. Ternyata, mereka cuek dan lebih suka merokok dan main kartu. Dalam lima tahun, delapan badut datang dan pergi. Semua laki-laki. Tidak seperti teman-teman pelatihan dulu, yang banyak perempuan. Pernah ia bertanya ke seorang badut, “Kamu latihan di mana?” Orang itu malah tertawa terbahak-bahak.

Ada yang hanya bertahan seminggu, lalu mabuk sebelum tampil dan tidur di dalam mobil sirkus. Meski profesional saat tampil, mereka seperti malu jadi badut. Bagi mereka, ini hanya pekerjaan. Tapi bagi Dani, ini adalah mimpinya.

Ia mulai menarik diri dari pergaulan kru sirkus. Saat ia bicara tentang seni badut, orang-orang hanya mengabaikannya. Lama-lama, tak ada yang mau mengajaknya ngobrol. Tapi Dani tetap tampil sepenuh hati, berharap setidaknya satu penonton bisa ia buat tertawa setiap pertunjukan.

Hingga suatu hari, pemimpin sirkus mendatangi kosnya. “Kita perlu bicara.”

Dani tahu itu bukan hal baik. “Ada masalah?”

“Dani, kamu badut yang bagus. Tapi terlalu… serius. Banyak yang komplain. Ada yang bilang kamu menyeramkan. Bahkan ada ibu-ibu yang bilang kamu bikin anaknya mimpi buruk.”

Dani terdiam.

“Ambil cuti enam bulan dulu. Nanti kita lihat lagi,” ucap pemimpin itu.

“Tapi saya cuma bisa jadi badut…”

“Itulah masalahnya, Dani,” ujarnya pelan, sebelum pergi.

Dani kembali tinggal bersama orang tuanya. Suatu hari ia pergi ke taman kota. Di sana ia melihat kerumunan orang mengelilingi seorang penghibur jalanan. Seorang pemuda bertubuh kecil memakai kostum badut minimalis. Tapi bukan badut biasa. Ia lebih mirip pelawak pantomim, dengan gerakan yang ekspresif dan jenaka.

Dani terpaku menyaksikannya. Penonton tertawa, bertepuk tangan, dan memberikan uang. Setelah selesai, si badut itu menarik napas panjang dan memeriksa isi kotak. Saat matanya bertemu dengan Dani, ia tersenyum.

“Kamu juga badut, ya?”

“Bisa kelihatan?” tanya Dani.

“Nggak banyak orang yang memperhatikan seperti kamu. Aku Dimas. Kamu?”

“Dani.”

Dimas tersenyum lebar. “Kita punya komunitas, loh. Namanya Sahabat Badut. Kita kumpul di basement gedung tua dekat sini, curhat, tukar cerita. Kadang cuma nongkrong aja. Mau ikut?”

Dani mengangguk.

Dan itulah mengapa Dani kini duduk di ruangan basement tempat mereka kumpul, mengaduk kopi hangat. Saat pertemuan selesai, Tarjo menepuk bahunya. “Kami mau ngopi bareng, santai aja. Gabung yuk?”

Dani awalnya ingin menolak, tapi kali ini ia tersenyum. “Boleh. dimana?”

“dari sini belok kiri, tiga blok. Warung Kopi Bu Haji.”

Dani melangkah pelan ke arah pintu. Sebelum keluar, ia menoleh ke dalam ruangan yang tadi dipenuhi tawa, keluhan, dan kisah yang mirip dengannya. Tempat di mana semua orang mengerti apa artinya jadi badut.

Malam itu, ia melangkah ke warung kopi. Dari jendela, ia melihat Tarjo dan teman-teman sedang tertawa terbahak-bahak. Tarjo melambai padanya.

Dani menarik napas, membuka pintu kayu besar, dan masuk. Kini, ia tahu: mungkin banyak orang tak suka badut, tapi tidak semuanya. Dan kini ia juga tahu dimana ia seharusnya berada.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock