Di Atas Langit, Di Bawah Bintang
Aku dikhianati.
Begitu dalam, begitu menyakitkan.
Oleh seseorang yang begitu aku cintai, yang kehadirannya membuatku tidak membutuhkan apa pun lagi selama aku memilikinya.
Oleh sahabat yang begitu aku andalkan, yang kehadirannya saja sudah memberiku kekuatan.
Dan mereka… bersama-sama, merenggut segalanya dariku.
Termasuk nyawaku.
Api yang mengamuk perlahan mendekat, tapi anehnya aku tidak merasakan panas sama sekali.
Mestinya udara dipenuhi jeritan kesakitan, namun yang kudengar hanyalah suara api yang berderak pelan.
Seolah-olah api itu bukan hendak membakarku, tapi tengah memainkan senar duka di upacara kematian.
Aku masih sulit percaya bahwa aku telah dikhianati. Aku ragu.
Aku tak ingin menerimanya. Aku menyalahkan diriku karena bahkan tidak pernah curiga.
Jika aku mengakui pengkhianatan itu, semua yang pernah kujalani akan terasa sia-sia, dan itu menakutkanku.
Tapi… itu nyata.
Mereka menyayat habis hatiku, menarik keluar amarah, kesedihan, penyesalan, kebingungan, kebencian, hingga yang tersisa hanyalah kehampaan dan kematian.
Namun Itu… sudah lama sekali.
★★★★
“Bagaimana? Masih menyakitkan?”
Biasa saja.
“Kaah! Jawaban macam apa itu? Seperti remaja galau saja! anakku yang manis, tapi menyebalkan!”
Siapa yang kau panggil anakmu?
Kakek tua itu berseru lagi, lalu menjentikkan jenggotnya yang panjang menyentuh lantai ke arahku, menamparku seperti cambuk.
Aneh. Rasanya perih, padahal aku seharusnya tak bisa merasakan apa pun lagi.
“Sudah kubilang berkali-kali, kalau kau punya orang tua baik, seharusnya kau sudah kembali sejak lama… Dasar keras kepala.”
Dengan suara berdebum yang dramatis, si kakek duduk di sebelahku. Atau setidaknya di tempat di mana seharusnya aku berada.
Tapi aku sudah lama kehilangan bentuk. Aku hanya melayang. Tak ada lagi konsep ‘di sampingku’. Kesadaranku masih ada, tapi tubuhku sudah tiada.
Aku tidak punya mulut, tidak punya pita suara, tapi entah bagaimana, aku tetap bisa berbicara dengannya.
Bukan berarti aku peduli kenapa bisa begitu.
Tempat ini berada di atas langit, namun di bawah bintang-bintang. Ruang yang tak akan pernah bisa dimengerti manusia.
Setiap makhluk hidup memiliki jiwa. Saat jiwa diberi tubuh, ia hidup sebagai manusia. Dan saat kehidupan itu berakhir, jiwanya datang ke tempat ini untuk bersiap menjalani kehidupan berikutnya.
Jiwa-jiwa melayang di sini, menatap dunia di bawah, lalu pada akhirnya memilih ke mana mereka akan dilahirkan kembali. Kadang, kekuatan karma menarik jiwa tanpa ampun. Tapi kebanyakan memilih sendiri.
Ada yang seperti aku, masih membawa ingatan, dan melayang tanpa arah. Ada pula yang melayang begitu saja, tanpa pikir.
Tapi… tak ada jiwa yang bertahan di sini selama aku.
“Untungnya, tak banyak yang seperti kamu! Hanya mondar-mandir, tak mau pergi!”
Teriaknya di dekatku.
Berisik. Andai saja aku benar-benar tak bisa mendengarnya. Tapi aku bahkan tak punya telinga lagi.
“Tapi begitu bicara soal masa lalu, kau bersikap seperti bayi yang suci. Ayolah, sadarlah berapa lama kau di sini.”
Berapa lama? Entahlah. Tanpa tubuh, aku sudah kehilangan rasa waktu.
“…Oh, lihat, mereka datang lagi.”
Si kakek memandang ke satu arah. Meski aku tak punya mata, aku bisa ‘melihat’ dua jiwa muncul.
Mereka berputar di sekelilingku, lalu… whoosh! Terhisap turun ke dunia.
“Akankah mereka mencarimu lagi kali ini, juga?”
Aku menatap ke arah jiwa-jiwa itu menghilang.
Kulihat dua pasang orang tua, masing-masing memeluk bayi yang baru lahir dengan penuh cinta.
“Jiwa biasa tak bisa melihat yang baru lahir. Tapi kau? Kau sudah terlalu menyatu dengan tempat ini.”
Entah sudah berapa kali aku menyaksikan mereka hidup kembali.
Bahkan saat perbatasan dunia berubah, saat gunung meletus membelah benua, saat es menutupi tanah, saat peradaban bangkit dan runtuh…
Mereka tetap dilahirkan kembali. Selalu bersama.
Mereka yang dulu mengkhianatiku, kini terlahir berulang kali sebagai bentuk penebusan. Mereka selalu mengingatku. Selalu mencariku.
Selalu lahir di waktu yang sama. Selalu menemukan satu sama lain. Menghabiskan hidup untuk mencariku, dan akhirnya, mati bersama. Kembali ke sini.
Lalu… saat mereka menemukan aku lagi, mereka langsung tertarik turun ke bumi, oleh kekuatan penyesalan.
Satu-satunya yang mereka ingat hanyalah aku. Mereka tak ingat apa pun tentang tempat ini. Mereka tak tahu bahwa aku tak pernah terlahir kembali.
Mereka mencariku… untuk selamanya.
Ironis, bukan?
“Kalau kau merasa iba, kenapa tak dilahirkan kembali saja?”
Sebenarnya, kebencian dan dendamku sudah lama tersaring di tempat aneh ini. Aku sudah tak menyimpan amarah pada mereka.
Dia hanya memilih orang lain.
Dan bagi dia… aku hanyalah penghalang di matanya.
Itu saja. Karena itulah aku berharap mereka bisa melupakan aku, dan hidup bahagia.
Tapi… tak sekalipun, di seluruh kehidupan mereka, aku melihat mereka benar-benar bahagia bersama. Tak ada yang mengakui ikatan mereka. Mereka hidup dalam penderitaan terus-menerus.
Kalau itu hukuman dari dunia, lalu… siapa yang harus mengatakan, “Cukup”?
“Itulah kenapa kubilang, kalau kau dilahirkan kembali, mereka akan menemukamu, dan akhirnya perjalanan mereka selesai. Mereka telah cukup membayar dosa mereka.”
Tempat ini memang untuk persiapan kehidupan baru. Tapi tak semua jiwa bisa sampai sini.
Yang berdosa besar… dihapus. Tak akan pernah lahir kembali.
Oleh siapa? Mungkin oleh dunia itu sendiri.
Sebaliknya, jiwa yang terlalu suci… juga tak kembali. Mereka melampaui daur hidup dan mati. Menjadi seperti si kakek ini.
Aku tak merasa apa-apa lagi sekarang. Jika mereka bisa dimaafkan, biarlah mereka bahagia.
Dulu, saat aku baru mati, amarahku membakar segalanya. Aku bahkan tak mampu menatap dunia dari sini.
Tapi saat aku mulai tenang, mereka sudah terlahir kembali. Berkali-kali.
Dan mungkin… mungkin aku tak bisa pergi sebelum melihat mereka benar-benar bahagia. Tanpa aku.
“Tunggu. Kau pikir mereka bahagia setelah kematianmu?”
Bukankah itu yang mereka inginkan? Bukankah mereka bisa bersatu setelah aku tiada?
“Ahhh… aku mengerti sekarang. Jadi itu yang kau kira. Itu sebabnya kau tak pernah pergi. Salahku. Kupikir kau tahu apa yang terjadi setelahnya.”
Apa maksudmu—?
Sebelum aku sempat menyelesaikan pikiran itu, suaranya berkata, “Terlalu ribet dijelaskan. Lihat saja sendiri,” dan tiba-tiba aku tercerai-berai seperti kabut.
“Tenang saja,” tambahnya. “Kau akan menyatu lagi saat kembali.”
★★★★
Api. Mengamuk.
Tubuhku. Terbakar.
Istana. Terbakar.
Kerajaan. Terbakar.
Ah, ya… benar.
Bahkan benteng terkuat pun tak berdaya bila pengkhianatan datang dari dalam.
Yang mengkhianati kami adalah sang putri mahkota, istriku sendiri.
Dan yang memimpin penyerangan adalah jenderal kerajaan tetangga, sahabatku.
Dia datang untuk menghadiri penobatanku minggu depan. Begitulah alasannya.
Istriku, yang telah dijodohkan denganku sejak kecil, menjual kerajaan ini.
Aku telah lama melayang tanpa bentuk. Tapi kini aku berdiri lagi, dalam wujudku.
Meski tanpa tubuh sungguhan, aku melangkah ragu. Tapi aku bisa berjalan.
Aku menyusuri lorong.
Sepi.
Lorong-lorong istana tempat aku lahir dan dibesarkan.
Taman yang dulu dipenuhi bunga tiap musim.
Ya… inilah tempatku hidup. Meski kini hanya puing.
Sebagai putra mahkota, tugasku mewarisi tahta dan melindungi kerajaan.
Beban berat. Tapi setiap kali aku goyah, dia menggenggam tanganku. Dan itu membuatku tetap berdiri.
Dentang. Denting.
Suara seperti sesuatu yang pecah. Kakiku berbalik, berjalan ke arah suara itu.
Meski jantungku sudah lama berhenti berdetak, dadaku terasa sesak.
Di balik lorong ini… ada balairung.
Tempat aku mati.
“Kenapa kau membunuhnya!? Itu bukan bagian dari rencana! Kenapa!? Kenapaaa!?”
Itu suaratemanku, mengacungkan pedang pada pasukannya sendiri.
“Ma-maaf, Tuanku! Putra mahkota bunuh diri…”
“Bohong!!!”
Saat ia mengayunkan pedangnya, seorang prajurit menjerit dan tersungkur ketakutan.
Ya.
Aku tidak bunuh diri. Aku tahu tak ada jalan keluar, tapi demi rakyat, aku menyerahkan kepala ini.
Aku ditikam dari belakang, lumpuh… lalu dibakar.
“Rencananya hanya menumbangkan raja dan ratu yang korup! Siapa yang memerintahkan pembunuhan temanku!?”
Suara jeritannya membuat para prajurit membeku.
Yang kulihat ini… adalah masa lalu. Sebuah kebenaran yang diperlihatkan sang kakek.
Dan aku tahu ini nyata.
Di balik sang jenderal, kulihat istriku, memeluk sesuatu dalam kain putih bersih yang tak pantas berada di ruangan yang gosong ini. Ia menangis, tanpa suara.
“ARGH! Bajingan!!!”
Saat aku berpaling ke jenderal, ia telah dikeroyok oleh pasukannya sendiri.
Berhenti!
Aku ingin meraih mereka. Di sudut mataku, kulihat pedang terayun ke arah istriku.
JANGAN!!!
Aku berteriak… tapi tak ada yang berubah. Ini… sudah terjadi.
“Tidak disangka jenderal pun mati dengan cepat. Tak mungkin kerajaan membiarkan semuanya berakhir dengan kepala raja dan ratu saja.”
“Benar. Loyalitas butanya justru membantu kita. Wanita ini, bagian dari keluarga korup, bahkan setuju bekerja sama demi menyelamatkan suaminya. Loyalitas pada negara? Omong kosong.”
“Haha. Kalau mau menyalahkan, salahkan rajamu. Aku tak peduli darah bangsawan.”
Suara tawa mereka yang mengejek menggema.
Aku berteriak. Dan sekali lagi, aku ditarik kembali, tercerai-berai.
“Jadi? Kau tak tahu, kan?”
Tanya si kakek dengan nada ringan.
Tentu saja aku tak tahu.
Istriku… sahabatku… tak pernah berkata apa pun.
Bagaimana mereka bisa meminta sang putra mahkota untuk kabur demi menyelamatkan diri?
Saat rakyat menderita di bawah tirani ayahku dan pemberontakan mulai tumbuh, rencana sudah disusun untuk menjadikanku raja.
Tapi segalanya… sudah terlambat.
Akulah yang membuat mereka mengkhianatiku.
“Hoi, hoi. Kalau terus menyalahkan diri sendiri begitu, kau bakal jadi Iblis. Tapi sekarang kau mengerti, kan? Kenapa mereka terus mencarimu. Kenapa mereka tak bisa bersatu.”
Alasannya… mereka terus mencariku?
Alasannya…?
Tubuhku tertarik kembali… ke dunia bawah.
Karena aku pun menginginkannya.
Begitu aku menginginkannya, karma kembali kepadaku.
Aku… hanya ingin bertemu mereka lagi.
Itu saja.
“Ya ampun… akhirnya bersih juga. Siapa sangka kau memendam ribuan tahun prasangka bahwa istri dan sahabatmu berselingkuh?.
Sepertinya…Ah, kau sudah terlahir kembali. Dan sudah bertemu, ya? Maka terurailah karma yang membelit kalian begitu lama. …Wajahmu kini sungguh indah. Harusnya kutunjukkan kehidupan mereka lebih awal. Tapi maafkan aku, anakku…. itu adalah bagian dari karmamu juga. Semoga hidup barumu dipenuhi kebahagiaan.”