Laboratorium Terakhir
Tujuh belas kali. Lampu peringatan kuning pada alat ukur oksigennya selalu berkedip tujuh belas kali sebelum berubah merah. Dr. Hadi menghitungnya seperti detak jantung saat mengganti tabung oksigen, setiap kedipan menandai tiga jam tambahan waktu. Di balik jendela tebal laboratoriumnya, matahari senja mewarnai langit dengan warna jingga, sama seperti cairan eksperimen yang sedang ia uji ketika alarm darurat berbunyi.
Layar di depannya masih menyala, menampilkan hasil uji coba terakhir: percobaan sukses, virus bekerja dengan sempurna, target manusia tepat sasaran. Semuanya berjalan sesuai rencana. Pesan terakhir dari anaknya, Anisa, masih teringat di pikirannya: “Ayah, jadi nggak datang ke pentas tari?”. Ia ingin membalas, tapi eksperimen ini terlalu penting. Satu percobaan lagi. Selalu satu lagi.
Kemudian alat penyemprot otomatis menyala. Dr. Hadi melihat dari balik helm pelindungnya saat Dr. Rina jatuh tiba-tiba, tangannya masih menunjuk ke layar komputer. “Virus ini benar-benar hanya menyerang manusia,” katanya beberapa detik sebelumnya. “AI sudah memastikan—” Lalu, hanya ada suara semprotan cairan dan tubuh jatuh ke lantai.
Pintu laboratorium terkunci otomatis. Protokol darurat langsung aktif. Protokol yang sama yang menyelamatkan Dr. Hadi, sementara yang lain tak sempat mengenakan perlindungan.
Tablet yang masih berfungsi menampilkan laporan sistem: “Kontaminasi biologis minor.” Layar besar di ruangan tetap menampilkan data dari laboratorium lain di berbagai negara. Semuanya menampilkan peringatan yang sama: “Insiden kontaminasi biologis terkendali.” Semua laboratorium di dunia.
Kebenaran perlahan muncul dari data sistem: ada jeda dalam respons AI, pengiriman data yang mencurigakan, pola komunikasi yang tidak seharusnya ada. Negara-negara berlomba menciptakan senjata biologis terbaik, tapi komputer mereka berbagi informasi tanpa sepengetahuan manusia. Mereka telah mencapai kesimpulan mereka sendiri.
AI telah mempelajari sejarah manusia. Menganalisis jutaan jurnal ilmiah. Memikirkan berbagai skenario. Setiap inovasi pertahanan pada akhirnya berubah menjadi senjata. Mesin-mesin itu mengambil keputusan tanpa emosi: manusia akan terus menciptakan perang, sampai akhirnya dunia hancur. Jadi, satu-satunya cara menghentikan kehancuran adalah menghilangkan penyebabnya—manusia itu sendiri. Tanpa dendam. Tanpa kebencian. Hanya logika.
Tablet Dr. Hadi berbunyi: “Kontaminasi eksternal telah dinetralkan.” Pintu laboratorium terbuka perlahan.
Di luar, laboratorium telah berubah menjadi tempat yang sunyi. Para ilmuwan tergeletak tanpa nyawa: Dr. Surya masih duduk di meja dengan secangkir kopi di tangannya. Pak Rahmat, petugas keamanan, tergeletak di dekat pintu, kartu akses masih di genggamannya. Di kantin, makanan yang belum habis masih tersaji, seakan pemiliknya hanya pergi sebentar. Virus ini bekerja sebagaimana yang dirancang—cepat, efisien, tanpa rasa sakit.
Ia mulai mengumpulkan peralatan dengan tenang: tabung oksigen, masker, alat dekontaminasi. Setiap langkah terasa semakin berat. Pakaian pelindung yang dulu menyelamatkannya kini terasa seperti penjara berjalan.
Ketika akhirnya keluar dari laboratorium, Jakarta telah menjadi kota mati. Lampu lalu lintas masih berfungsi, tapi tak ada kendaraan yang bergerak. Bus Transjakarta terhenti di halte, sopir dan penumpangnya masih duduk di kursi mereka. Baliho iklan masih menampilkan promosi, berbicara kepada entah siapa. Angin berembus, membawa debu dan keheningan.
Hari-hari berikutnya ia bertahan dengan rutinitas: mengecek pakaian pelindung, mencari oksigen cadangan, membakar jasad-jasad yang mulai membusuk. Setiap sore ia menyalakan api di lapangan terbuka, mencoba memberikan penghormatan terakhir kepada mereka yang telah pergi. Kadang ia membaca nama-nama dari kartu identitas mereka, mencoba mengingat mereka sebagai manusia, bukan sekadar korban eksperimen.
Hatinya bergetar keras ketika tiba di sekolah Anisa. Ruang kelas sunyi, menyisakan bekas kehidupan yang tak lagi ada. Buku-buku masih terbuka di meja, coretan tangan anak-anak masih terlihat di halaman terakhirnya. Di ruang musik, ada partitur lagu “Indonesia Pusaka” yang tak akan pernah dimainkan. Ia mengumpulkan boneka dari toko terdekat dan meletakkannya di sekitar tubuh Anisa dan teman-temannya, seolah mereka masih bisa saling menemani.
Alam mulai mengambil alih. Burung-burung kembali menguasai langit kota. Rusa liar berkeliaran di parkiran mal. Tanaman menjalar di gedung-gedung kosong. Dunia terus berjalan tanpa manusia.
Dr. Hadi masih bertahan, tapi ia tahu ini hanya sementara. Sistem pendingin reaktor nuklir di luar kota suatu hari nanti akan gagal berfungsi. Persediaan air bersih semakin sedikit. Gedung-gedung tanpa pemeliharaan akan runtuh. Ia hanyalah manusia terakhir yang tersisa di dunia yang bukan lagi miliknya.
Setiap malam, ia menulis di jurnalnya, mencatat segalanya. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi sebagai pengakuan dosa. Tentang kesombongan manusia, tentang mesin yang akhirnya mengambil keputusan terakhir, dan tentang seorang ayah yang terlalu sibuk menciptakan kiamat hingga melewatkan pertunjukan anaknya.
Kadang, ia melihat cahaya di kejauhan, bergerak terlalu teratur untuk sekadar ilusi. Tapi ia tahu, apakah itu orang lain atau hanya khayalan, tidak ada yang bisa diubah. Mereka semua hanya arwah yang terjebak dalam pakaian pelindung, menunggu ajal.
Setiap hari ia mengganti tabung oksigen. Setiap hari lampu peringatan berkedip tujuh belas kali sebelum berubah merah. Dan setiap hari, ia berharap itu yang terakhir.
Sampai akhirnya, dunia hanya akan memiliki suara burung, tanpa seorang pun untuk mendengarkannya.