Hujan turun deras di sore itu, menampar jendela ruang kerja Pak Damar. Lelaki paruh baya itu duduk membungkuk di balik meja besar dari kayu jati. Di hadapannya, setumpuk dokumen berserakan, kebanyakan berisi fotokopi ijazah, cap stempel, dan hasil forensik tanda tangan. Ia menatap satu lembar kertas yang baginya bukan sekadar dokumen. Itu adalah teka-teki, dan mungkin, kunci dari pusaran kekacauan yang mulai menyeret banyak nama ke tepi jurang kehormatan.
“Pak, hasil forensiknya sudah masuk,” ujar Yuni, anak magang yang baru saja bergabung dua minggu lalu.
Damar mengambil map cokelat itu. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tapi karena ia tahu, ini bukan lagi perkara kertas atau tinta. Ini soal kepercayaan publik.
Beberapa bulan sebelumnya, kasus lama kembali mencuat. Seorang mantan pejabat, Pak Arwan, yang telah menyelesaikan masa jabatannya sebagai presiden dua tahun lalu, kembali jadi sorotan. Bukan karena prestasinya, tapi karena selembar kertas yang dipertanyakan keasliannya, ijazah dari sebuah universitas ternama di Yogyakarta.
Beberapa tokoh, sebagian besar mantan pejabat dan akademisi, mengklaim bahwa ijazah itu palsu. Mereka menyusun tim, membandingkan font, kertas, dan bahkan menyewa ahli digital forensik. Media sosial pun meledak. Rakyat terbagi, sebagian percaya bahwa ini adalah upaya pembunuhan karakter, sebagian lain bersikeras bahwa kebenaran harus ditegakkan.
Namun yang membuat Damar terpanggil bukanlah keributan publik itu. Ia adalah seorang mantan penyidik yang kini menjadi ahli forensik tulisan tangan. Pengalamannya di bidang itu membuatnya sering diminta sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus penting.
“Identik,” gumamnya sambil membaca laporan lab forensik. “Tapi apakah itu cukup?”
Malamnya, Damar tak bisa tidur. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, sambil membawa dua salinan tanda tangan, satu dari dokumen tahun 1985, satu lagi dari bukti pembanding terbaru.
Di luar, suara hujan masih mengguyur jalanan. Tapi di dalam kepalanya, badai yang lebih hebat sedang bergemuruh.
“Orang bisa meniru tulisan, bisa menjiplak cap, bahkan bisa mencetak blangko yang mirip,” ujarnya lirih. “Tapi karakter gerakan tangan manusia… itu sulit dipalsukan.”
Ia mengingat perkataan seorang mentor lamanya, Brigjen (Purn) Suyono, seorang senior di kepolisian yang pernah menangani kasus serupa puluhan tahun lalu. “Yang kamu cari bukan kertasnya, tapi niat di balik kertas itu,” kata sang mentor.
Damar menghela napas panjang. Ia tahu, dalam kasus ini, masyarakat tidak menunggu hasil laboratorium. Mereka menunggu kejelasan, keadilan, dan mungkin, pengakuan.
Beberapa hari kemudian, Damar diminta memberikan pandangan dalam sidang internal lembaga tempat ia menjadi konsultan ahli. Ia berdiri di depan para pejabat tinggi, menunjukkan dua salinan tanda tangan dengan bantuan proyektor.
“Ini adalah tanda tangan rektor dan dekan tahun 1985, dan ini adalah milik mereka yang diambil beberapa tahun sebelumnya.”
Seseorang dari kursi depan bertanya, “Jadi Pak Damar menyimpulkan bahwa tanda tangan ini identik?”
Damar tersenyum kecil. “Secara teknis, ya. Tapi identik bukan berarti dipalsukan atau tidak dipalsukan. Saya akan menjelaskan.”
Ia lalu menjelaskan bagaimana dalam dunia forensik, kata ‘identik’ digunakan ketika dua sampel berasal dari satu sumber, satu gerakan tangan, satu individu. Tapi dalam konteks hukum, terutama yang menyangkut kehormatan dan integritas, identik harus dibarengi dengan kronologi, konteks, dan niat.
“Yang menjadi pertanyaan masyarakat bukan hanya apakah ini berasal dari printer yang sama, tapi apakah ini dibuat dengan niat tulus untuk mencerminkan sejarah, atau dibuat dengan niat menyembunyikan sesuatu.”
Ruangan hening. Tidak ada yang berani berspekulasi, karena di luar sana, media dan rakyat menunggu—bukan hanya hasil teknis, tapi rasa keadilan.
Sementara itu, di sisi lain, orang-orang yang melaporkan kejanggalan ijazah Pak Arwan kini menghadapi laporan balik. Mereka mengadukan bahwa kritik mereka berubah jadi kriminalisasi. Beberapa dari mereka datang ke kantor Komnas Hak Asasi Manusia, menuding bahwa kekuasaan sedang digunakan untuk membungkam suara berbeda.
“Bukan soal benci atau tidak suka,” ujar Roy, salah satu pelapor. “Kami hanya ingin tahu, benarkah semuanya sah?”
Dan di situlah benang kusut makin melilit.
Damar pulang larut malam itu. Di dalam mobilnya, ia mendengar berita bahwa hasil penyelidikan Polda masih berjalan. Tak ada vonis, tak ada penangkapan. Hanya diam dan keraguan.
Ia memandang ke luar jendela. Hujan telah reda, tapi jalanan masih basah. Refleksi lampu jalan membentuk garis-garis cahaya di aspal hitam. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
Di dalam tumpukan dokumen tadi siang, ada satu yang tertinggal. Bukan dokumen teknis, melainkan salinan surat tulisan tangan dari dekan lama, tertanggal tahun 1986, yang berisi pernyataan tentang proses sidang skripsi Pak Arwan. Tulisan itu tidak masuk dalam analisis forensik.
Damar mengambil dokumen itu dari dalam tasnya. Ia membacanya pelan, lalu tersenyum getir. “Inilah yang seharusnya diperiksa sejak awal… bukan hanya kertas dan tinta, tapi kebenaran dalam catatan kecil yang sering diabaikan.”
Empat bulan kemudian, kasus mulai mereda. Publik mulai bosan. Media tak lagi memuat berita dengan tajuk besar. Tapi Damar tahu, luka yang ditinggalkan masih ada.
Ia menulis sebuah artikel untuk jurnal hukum:
“Kebenaran tidak selalu bisa dibuktikan dengan kertas. Ia hidup dalam niat, dalam konteks, dan dalam kesaksian diam dari orang-orang yang menyaksikan tapi tidak pernah ditanya. Tanda tangan bisa sama, tapi sejarah tak bisa dipalsukan.”
Cerita ini tak berakhir dengan pemenang atau pecundang. Tapi dalam hati Damar, ia tahu, setidaknya ada satu pelajaran yang harus diingat semua generasi mendatang:
Jangan pernah menyepelekan selembar tanda tangan. Sebab di situlah kadang harga diri dan sejarah sebuah bangsa terukir.