Di antara pepohonan rimbun yang membalut pegunungan di Jawa, dua sosok berdiri saling berhadapan. Bulan merah menggantung di langit malam, menyinari wajah mereka yang berlumuran keringat dan luka. Mata mereka, penuh perasaan yang bercampur aduk antara cinta, dendam, dan keputusasaan.
Segara dari perguruan Silat Tunggul Wulung. Ayu dari perguruan Silat Kembang Sari. Dua nama yang sejak lahir sudah ditakdirkan untuk saling berhadapan. Dua perguruan yang telah berseteru selama berabad-abad, terikat dalam perjanjian darah yang hanya bisa ditebus dengan kematian.
Lima tahun lalu
Segara dan Ayu pertama kali bertemu di tengah sawah yang berbatasan dengan hutan bambu. Saat itu, mereka masih kanak-kanak, belum paham arti kebencian yang diwariskan leluhur mereka. Segara, dengan rambut hitam berkibar ditiup angin, tengah berlatih melempar golok kecil. Ayu, yang tersesat setelah mengejar burung perkutut, mengintip dari balik pohon.
“Kau bukan dari desaku,” kata Segara curiga.
Ayu menunduk. “Aku… aku hanya tersesat. Aku tidak akan berbuat jahat.”
Segara mendekat, menatap gadis itu lama sebelum akhirnya tersenyum. “Kau mau belajar melempar golok?”
Sejak hari itu, mereka sering bertemu diam-diam. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita tentang dunia di luar padepokan mereka, bahkan berjanji bahwa suatu hari nanti, mereka akan mengakhiri kebencian di antara perguruan mereka.
Namun dunia silat tak memberi tempat bagi mimpi-mimpi anak kecil.
Kini
Malam ini, takdir mengadu mereka dalam pertarungan hidup dan mati. Para tetua perguruan telah memutuskan: perselisihan harus berakhir, dan darah pewaris perguruan lawan adalah harga yang harus dibayar.
“Kita tidak harus melakukan ini, Ayu,” kata Segara, suaranya serak.
Ayu menggigit bibirnya, menggenggam gagang kerisnya lebih erat. “Jika aku tidak melawanmu, perguruanku akan memburumu. Aku harus melindungi mereka, sama seperti kau melindungi perguruanmu.”
Angin malam berhembus, membawa bisikan dari generasi yang telah lama mati dalam kebencian yang sama. Segara menatap mata Ayu—mata yang dulu penuh kelembutan, kini hanya menyisakan tekad yang getir.
Tanpa aba-aba, mereka bergerak.
Golok dan keris beradu, percikan api menyala di udara. Gerakan mereka cepat, nyaris tak terlihat di mata orang biasa. Setiap tebasan mengandung beban sejarah, setiap serangan membawa kenangan yang seharusnya indah namun kini berubah menjadi pisau yang mengoyak jiwa mereka.
Segara berhasil menangkis serangan Ayu, tetapi gadis itu berputar lincah, melompat ke udara dan melancarkan tendangan ke bahunya. Segara terhuyung, tetapi dengan cepat berbalik dan menyerang balik. Ujung goloknya hanya beberapa inci dari leher Ayu sebelum gadis itu melompat mundur.
“Kau semakin kuat,” ujar Ayu lirih.
“Dan kau semakin cepat,” balas Segara.
Sejenak, mereka hanya berdiri di sana, napas tersengal, mata saling menatap. Dalam sekejap, mereka memahami satu hal yang sama—mereka tidak pernah menginginkan ini. Namun kehormatan perguruan lebih besar dari keinginan mereka.
Ayu menutup mata sejenak. “Maafkan aku, Segara.”
Ia melesat maju, menyerang dengan kecepatan yang bahkan sulit diikuti mata telanjang. Segara tidak menghindar. Ia hanya tersenyum kecil sebelum berbisik, “Aku juga minta maaf.”
Darah muncrat ke udara.
Ayu tertegun. Kerisnya telah menembus dada Segara, tetapi pada saat yang sama, bilah Segara telah merobek sisi tubuhnya. Mereka berdua jatuh ke tanah, bersandar pada satu sama lain.
“Kita… akhirnya bebas dari takdir ini,” lirih Ayu, suaranya semakin lemah.
Segara menatap langit, di mana bulan merah masih bersinar terang. Ia tersenyum, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya. “Mungkin… dalam kehidupan selanjutnya… kita bisa bersama tanpa pertempuran.”
Ayu tersenyum samar, tangannya meraih tangan Segara. Dalam dinginnya malam, di bawah langit yang menyaksikan begitu banyak pertempuran, dua pendekar dari perguruan yang bertikai akhirnya menemukan kedamaian—bukan dalam kemenangan, tetapi dalam kebersamaan di saat-saat terakhir mereka.
Di kejauhan, suara ayam berkokok menandakan berakhirnya malam.
Dan dengan itu, kisah mereka pun usai.