DramaFantasiFiksiThriller

Semuanya Saling Terhubung

Banyak orang nggak percaya kalau semuanya saling terhubung. Aneh, kan? Mereka percaya sama magnet, gelombang elektromagnetik, dan bahkan efek kuantum yang bisa bekerja dari kejauhan. Mereka juga yakin kalau gravitasi bisa bikin Bumi mengelilingi Matahari. Tapi kalau ditanya apakah kekuatan yang sama bisa mempengaruhi hidup kita? Mereka bakal ketawa.

Mereka percaya kalau hidup ini sepenuhnya ada di tangan mereka. Bahwa mereka bebas memilih. Padahal Jupiter saja bisa menarik Matahari sedikit demi sedikit, tapi kenapa nggak bisa mempengaruhi jiwa kita yang jauh lebih kecil?

Paradoks.

Bintang-bintang memang susah dibaca. Ramalan di koran itu cuma omong kosong yang ditulis anak magang yang bahkan nggak ngerti fisika. Kamu pasti nggak akan percaya orang bisa meramal cuaca tanpa gelar doktor dan superkomputer, kan? Astrologi juga gitu.

Tapi aku beda. Aku seorang matemaastrolog—perpaduan matematika dan astrologi. Aku bisa melihat benang-benang tak kasatmata yang menghubungkan kita dengan jagat raya. Aku bisa membaca masa depan, seperti yang sudah kulakukan selama sepuluh tahun terakhir. Aku tahu aku bakal hamil, punya anak laki-laki, dan bahkan melihat kematian ibuku lewat pertemuan Saturnus dan Venus—tepat sebelum kecelakaan mobil merenggutnya dari dunia ini.

Lalu, sebulan yang lalu, aku melihat sesuatu di langit. Sesuatu yang membuatku gemetar.

Aku melihat kematian anakku yang baru enam tahun.

Keyakinanku goyah.

Selama ini, aku terikat dengan kosmos. Aku menyukai bagaimana planet-planet bisa mempengaruhi kehidupan kita, bagaimana suasana hati kita naik-turun seiring badai di Neptunus atau tarikan gravitasi Bulan. Tapi kali ini berbeda. Kali ini, aku menolak menerima apa yang kulihat.

Ibuku? Oke. Semua orang memang akan mati suatu saat. Tapi anakku? Si kecil Patrick? Tidak. Aku menolak. Aku lebih rela membakar seluruh alam semesta daripada kehilangan dia.

Aku mulai percaya pada kebebasan berkehendak. Bukan karena logika, tapi karena aku harus.

Aku harus menyelamatkannya.

Aku habiskan waktu berhari-hari menghitung ulang, menghabiskan tabungan hidupku untuk simulasi, menghitung bagaimana dan kapan Patrick akan mati. Jawaban langit jelas: Dia akan tenggelam di kolam.

Baiklah. Aku keringkan kolam.

Tapi melawan takdir itu seperti menahan air dengan saringan. Kututup satu lubang, bocor dari lubang lain. Tenggelam di bak mandi? Aku kunci pintu kamar mandi. Tenggelam di kolam rumah teman? Nggak usah main ke sana. Danau? Pantai? Semua tempat dengan air aku coret dari hidupnya.

Tapi semesta nggak menyerah.

Peta bintang berubah, mencari cara lain untuk mengambil nyawa Patrick. Aku baca tanda-tandanya: jatuh dari tangga—aku batasi dia di lantai bawah. Tersedak makanan—aku blender semua makanannya. Ledakan oven? Aku berhenti memasak. Wabah tikus? Aku buat rumah ini jadi benteng baja.

Aku bertekad. Aku akan melawan.

Tengah malam ini adalah puncaknya. Jika aku bisa menjaga Patrick tetap hidup sampai detik itu, aku akan menang. Aku akan membuktikan bahwa manusia punya kebebasan.

Enam jam sebelum tengah malam, seseorang mengetuk pintu.

Aku biarkan saja. Tapi suara itu makin keras. Aku akhirnya membuka sedikit.

Olaf.

Dia kolega terpandai yang kukenal, sesama matemaastrolog. Dia gemetar.

“Sonia, apa pun yang kamu lakukan, hentikan.”

Aku mendengus. “Hentikan apa?”

“Kamu nggak bisa melawan ini. Ini takdir.”

“Nggak ada yang namanya takdir,” aku menggerutu. “Aku ibunya. Aku yang menentukan hidupnya.”

Aku melihat matanya. Aku tahu dia nggak bisa menyakitiku, karena bintang-bintang tidak meramalkan bahaya untukku. Artinya, Olaf nggak akan bisa menghentikanku.

“Aku mohon, Sonia.” Dia jatuh berlutut. “Kamu nggak tahu kekuatan apa yang sedang kamu hadapi.”

Aku tahu kekuatan yang kuhadapi. Aku menantang Matahari (330.000 kali massa Bumi), Saturnus (95 kali), dan Jupiter (318 kali). Jika seluruh tata surya ini nggak bisa menghentikanku, itu urusan mereka, bukan urusanku.

Aku tutup pintu di wajahnya.

“Kebebasan itu ada, Olaf! Dan aku akan membuktikannya.”

Lima jam berikutnya aku memindahkan perabotan, memastikan tidak ada benda berbahaya di sekitar Patrick, lalu mengurung kami di ruang bawah tanah.

Tiga puluh menit sebelum tengah malam.

Sepuluh.

Lima.

Aku mengendurkan kaki sebentar—dan tepat saat itu, sesuatu meledak dari lemari.

Olaf.

Dia menerobos keluar dengan pisau di tangannya. Sebelum aku sempat bereaksi, dia menikam sesuatu berulang kali. Aku berteriak. Tapi saat dia berhenti, aku sadar—tidak ada darah. Itu hanya bantal yang kupakai sebagai pengalih perhatian.

Aku lari.

Patrick!

Aku mencari ke seluruh rumah. Sampai aku melihatnya. Pintu kamar mandi tertutup. Di bawahnya, mengalir cairan merah.

Tiga puluh detik lagi.

Aku berteriak dan mengguncang pintu sekuat tenaga. Olaf berdiri di belakangku, menatap dengan wajah kosong.

Sepuluh detik lagi.

Lima.

Dua.

Satu.

Aku buka pintu.

Tidak ada apa-apa.

Di lantai hanya ada piring pecah dan saus tomat yang berceceran.

Aku gemetar. Aku berhasil. Aku menang.

Aku naik ke loteng dan membuka jendela kecil.

“Patrick?” aku memanggil pelan.

“Mama?”

Dia ada di atap, persis di tempat yang kutinggalkan. Sendirian, tanpa jalan keluar. Ya, aku tahu ini terdengar gila, tapi justru itulah rencanaku. Kosmos pasti mengira aku akan melindungi anakku, jadi aku melakukan hal yang tidak terduga—meninggalkannya di tempat yang sama sekali nggak terbaca oleh perhitungan bintang.

Aku memeluknya erat.

Aku menang.

Lalu Patrick bertanya pelan: “Mama, Jupiter ada di mana?”

Aku menoleh ke langit.

Jupiter… menghilang.

Aku merasakan sesuatu yang mengerikan. Aku berlari ke ruang kerja dan melakukan perhitungan ulang.

Jawabannya membuat darahku membeku.

Untuk menyelamatkan Patrick, Jupiter harus keluar dari orbitnya.

Menuju Bumi.

Aku mendengar suara dari luar. Teriakan. Raungan. Tangisan.

Aku berlari keluar dan melihatnya.

Di cakrawala, bulan sabit raksasa sedang naik. Tapi itu bukan bulan. Itu Jupiter.

Aku bisa merasakan tarikan gravitasinya.

Aku nggak butuh matematika untuk tahu:

Patrick tidak akan selamat.

Aku tidak akan selamat.

Kita semua tidak akan selamat.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock