Aku terbangun di dalam sebuah ruangan yang asing. Dingin dan lembap. Aku tak ingat bagaimana bisa berada di sini, yang aku tahu ini adalah sel penjara. Ruang sempit tanpa jendela, hanya ada bau basah dan sisa-sisa debu di udara. Di luar sana, dunia seakan-akan tak lagi peduli padaku.
Aku ingat, para hakim di majelis sidang itu bilang aku akan dihukum mati. Mereka bilang aku telah membunuh orang. Mungkin itu benar, tapi itu hanya sebagian cerita.
Mereka bilang algojo akan datang, untuk menuntaskan eksekusi pada hari Jumat. Siang hari Jumat akan menjadi waktu terakhirku di dunia ini.
Mereka bilang seorang ustaz akan datang mengurus rohaniku, supaya aku bisa bertobat dan diampuni dosaku. Tapi aku tak takut soal akhirat, sebab aku percaya pada Allah. Bukankah Allah selalu mengampuni hamba-Nya yang bertaubat?
Aku terbaring di kasur tipis di dalam sel yang dingin ini, dengan kepala terbaring di atas bantal yang sudah usang. Tidurku tak tenang, sering terbangun oleh mimpi buruk. Setiap kali terbangun, aku mendengar suara napasku sendiri, dan di sudut ruangan, ada sosok lain—Ustaz Amir.
Ustaz Amir duduk tak bergerak, memandangku dengan tatapan penuh kesabaran. Aku mengenalnya, meskipun tak terlalu dekat. Biasanya aku cuma melihatnya di masjid, saat dia berceramah di tengah jamaah. Aku bukan siapa-siapa, cuma seorang gadis yatim piatu yang terpaksa hidup dengan pekerjaan kasar di rumah orang lain.
Majikanku, Pak Hadi, orang yang katanya aku bunuh. Aku ingat betul bagaimana dia selalu pulang ke rumah dengan wajah marah, mengomel tanpa henti. Pak Hadi bukan orang baik. Dia sering memukul dan menghinaku, apalagi saat dia marah karena pekerjaan rumah yang tidak sesuai harapannya. Aku sering menerima pukulan, bahkan perlakuan yang lebih buruk. Aku selalu diam, karena tak tahu harus berbuat apa.
Pak Hadi, lelaki yang kukatakan telah kubunuh. Tapi apakah aku benar-benar bersalah telah membunuhnya? Terkadang aku bertanya-tanya.
Ustaz Amir mulai berbicara, suaranya lembut, tapi penuh dengan tekanan. “Mbak, sudah saatnya kamu mengakui dosamu. Dosa yang kamu lakukan hanya bisa diampuni jika kamu bertobat dengan sepenuh hati. Di hadapan Allah, tak ada yang tersembunyi.”
Aku menatapnya, merasa terperangah. “Ustaz, aku sudah mengakui dosaku. Aku tahu apa yang telah aku lakukan. Aku tak meminta ampun untuk hidupku di dunia ini. Aku hanya ingin menghadap Allah dengan hati yang tenang.”
Ustaz Amir terdiam sejenak, mungkin mencoba memahami kata-kataku. “Tapi kamu harus menyadari bahwa apa yang kamu lakukan adalah sebuah dosa besar. Jangan biarkan dirimu dihukum tanpa penyesalan.”
Aku menatap keluar sel, melihat celah kecil yang memberi sedikit cahaya dari luar. “Ustaz, tak ada yang tahu bagaimana hidupku sebelumnya. Hidupku penuh dengan penderitaan. Pak Hadi sering memukuli aku, memperlakukanku seperti budak, bahkan lebih buruk. Aku hanya bisa diam, karena aku tak punya siapa-siapa.”
Aku menarik napas panjang, mengingat kejadian itu. “Suatu malam, Pak Hadi datang dalam keadaan mabuk. Dia marah besar karena aku tak memasak dengan sempurna. Dia memukulku, membenturkan kepalaku ke tembok dan kali ini aku melawan. Aku tak bisa membiarkan dia melukaiku lagi. Aku mengambil pisau yang ada di meja dan menusukkannya.”
Aku menunduk, merasa hampa. “Dia jatuh, dan aku tahu dia sudah tak bernyawa. Tapi aku bukan pembunuh, Ustaz. Aku hanya mencoba bertahan hidup.”
Ustaz Amir terdiam, wajahnya terlihat bimbang. “Tapi kamu tetap harus bertanggung jawab, mbak. Tuhan memberi kita kehidupan, dan kita harus menjaganya dengan sebaik-baiknya.”
Aku menggeleng pelan. “Aku tahu, Ustaz. Tapi apakah ada yang peduli pada orang sepertiku? Aku hanya seorang gadis yatim yang tak punya siapa-siapa. Hidupku sudah penuh dengan penderitaan, dan mungkin ini adalah akhir dari semuanya.”
Ustaz Amir akhirnya bangkit. “Aku akan kembali besok. Pikirkan baik-baik tentang apa yang telah kamu katakan.”
Setelah Ustaz Amir pergi, aku kembali terbaring di ranjang yang keras. Malam semakin larut, tapi mataku tak bisa terpejam. Aku mendengar suara angin yang menderu, dan sepertinya semakin lama semakin kencang. Suara itu seperti suara hujan yang akan datang, atau mungkin hanya suara di dalam kepalaku.
Pagi pun datang. Ustaz Amir kembali dengan wajah yang lebih serius. “Mbak, berita buruk. Hukum sudah ditegakkan. Hari ini, siang, kamu akan diadili. Algojo akan datang lebih cepat.”
Aku hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa. “Aku siap, Ustaz. Aku sudah menerima semua ini.”
Dia terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangan. “Mari kita berdoa bersama, semoga Allah memberi jalan yang terbaik.”
Aku menggenggam tangannya. “Ustaz, doakan aku agar kematianku cepat dan tidak menyakitkan.”
Saat aku berjalan menuju tempat eksekusi, aku bisa mendengar beberapa orang di luar sana berbisik-bisik. Mereka datang sebagai saksi eksekusi seorang pembunuh. Mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Pak Hadi mungkin sudah tak ada lagi, tapi aku tetap akan dihukum karena tak ada yang mau mendengar kisahku.
Aku berdiri di hadapan algojo. Tanpa rasa takut, aku menghadap pada mereka yang duduk di kursi kehormatan. “Saya tidak menyesal atas apa yang telah terjadi, tapi saya tidak bisa dianggap sebagai pembunuh yang sesungguhnya.”
Dan saat matahari sudah mulai condong, eksekusi itu pun dilakukan.