Cerita SedihCintaDramaRomansaTragedi

Sam Pek, Ing Thay, dan Air Mata Mbah Ngaipah

Malam itu, angin bertiup pelan membawa aroma kayu bakar dari dapur belakang. Di sudut ruang tamu yang remang, duduklah seorang perempuan tua berselendang batik lusuh, tubuhnya ringkih tapi matanya tajam menatap ke arah radio kaset usang yang terus berputar. Namanya Mbah Ngaipah. Sejak sore, ia menunggu menantunya, Rochmah, yang pulang membawa kaset cerita dari pasar malam. Kisah yang direkam dalam bahasa Jawa halus, mengisahkan tragedi dua insan dari negeri jauh: Sam Pek dan Ing Thay.

Saat suara dari kaset mulai mengalun, wajah Mbah Ngaipah berubah sendu. Tangannya meraba lantai, mencari dudukan bantal tua agar ia bisa duduk lebih tegak. Ia tak ingin melewatkan satu pun kata dari kisah cinta yang sudah sering ia dengar tapi tak pernah bosan diulang.

Dalam cerita itu, seorang pemuda miskin bernama Sam Pek sedang menuntut ilmu di sebuah asrama pria. Suatu hari datanglah murid baru, bernama Ing Thay, seorang perempuan yang menyamar sebagai laki-laki demi menimba ilmu, karena zaman itu perempuan dilarang belajar bersama laki-laki. Ia anak saudagar kaya yang keras kepala, tetapi penuh keberanian.

Sam Pek yang polos dan berhati lembut, lambat laun tertarik pada “pemuda” baru itu. Mereka jadi sahabat karib, berbagi makanan, tawa, dan kebersamaan yang tak tergantikan. Ing Thay pun mulai membuka hatinya, namun menyembunyikan perasaannya karena terikat tunangan bernama Ma Mun Chai, anak saudagar teman ayahnya.

Di sela cerita, Mbah Ngaipah beberapa kali tertawa kecil, terutama saat adegan Ing Thay merengek minta dipetikkan bunga di taman.

“Sam Pek, tolong ambilkan bunga itu, indah sekali…”

“Kamu ini laki-laki kok suka bunga?” jawab Sam Pek kikuk.

“Kalau aku suka bunga kamu mau apa? Tolong ambilkan dong…”

Lalu terjadi kejadian lucu sekaligus menegangkan. Sam Pek tercebur ke danau, diikuti oleh Ing Thay. Tapi saat bajunya kotor dan tubuhnya basah kuyup, penyamaran Ing Thay terbongkar. Sam Pek menyadari bahwa sahabatnya selama ini adalah perempuan. Dan sejak hari itu, ia mulai jatuh cinta. Namun, cinta itu tak boleh terucap.

Mbah Ngaipah mengusap air matanya. Ingatannya melayang pada masa mudanya. Ia sendiri dulu pernah mencintai seseorang yang tak bisa ia miliki karena kasta dan keadaan. Barangkali karena itu, kisah Sam Pek dan Ing Thay begitu menyayat hatinya.

“Kenapa ya, orang miskin selalu kalah…” gumamnya lirih, seolah berkata pada udara.

Cerita berlanjut. Liburan tiba, dan Ing Thay harus pulang. Mereka berpisah dalam tangis yang tertahan. Di rumah, Ing Thay dijemput oleh Ma Mun Chai. Sosok sombong dan kekanak-kanakan itu membuat Ing Thay muak. Ketika diberi hadiah berupa sanggul milik ibunya, Ing Thay meledak marah dan membuang semua benda itu. Kejadian itu memperkeruh hubungan mereka hingga akhirnya Ma Mun Chai bersama ibunya melapor ke kepala asrama, menuduh Ing Thay dan Sam Pek melakukan hal yang tidak pantas.

Tak lama, Ing Thay dikeluarkan dari asrama. Ia hanya mampu menitipkan salam lewat pembantunya untuk Sam Pek. Dan Sam Pek, yang baru saja kehilangan sahabat dan cintanya, kini kehilangan segalanya. Ia menerima surat pemecatan dengan air mata mengalir, tak sanggup berkata apa pun.

“Ibu, maafkan Sam Pek… tak bisa memberi kebanggaan untukmu…”

“Sudahlah, Anakku… Yang penting kamu sudah berilmu. Jangan seperti bapakmu dulu, yang melawan dan akhirnya dipenjara…” jawab ibunya lirih.

Sam Pek jatuh sakit. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat. Hingga suatu pagi, ia muntah darah dan tak pernah bangun lagi.

Di rumahnya, Mbah Ngaipah menjerit. Ia mendengar bagian kematian Sam Pek lewat kaset yang hampir usang itu. Tapi bagi Mbah Ngaipah, suara itu lebih nyata dari apa pun. Ia merasa seolah hidup di dalam cerita. Ia berdiri, lalu duduk, lalu berdiri lagi, agar tak mengantuk, agar bisa terus mendengar akhir dari kisah tragis itu.

Ing Thay tak percaya akan kabar kematian Sam Pek. Ia datang ke makamnya, menggandeng tangan pembantunya. Dengan napas tersengal, ia memohon agar makam Sam Pek dibongkar. Ia ingin memastikan, ingin melihat wajah itu untuk terakhir kalinya. Tapi alangkah terkejutnya, ketika tanah digali… tak ada jasad di sana. Hanya seekor kupu-kupu putih yang keluar dari liang lahat dan hinggap di pipi Ing Thay.

“Sam Pek…” bisiknya lirih.

Kupu-kupu itu terbang, dan Ing Thay mengejarnya dengan mata sembab. Pembantunya berusaha menahan gaunnya, tapi Ing Thay melompat masuk ke liang kubur yang terbuka. Tubuhnya menghilang, tak meninggalkan apa pun kecuali sehelai syal tipis dan bau tanah basah. Di antara jeritan panik pembantu, penjaga makam melaporkan kejadian itu kepada keluarga Ing Thay.

Di kampung kecil tempat Mbah Ngaipah tinggal, kisah ini terus diceritakan dari generasi ke generasi. Mbah Ngaipah masih hidup, meski matanya semakin kabur dan kakinya sulit digerakkan. Tapi setiap malam, ia minta diputar ulang kaset itu. Ia tak pernah bosan menangis di bagian yang sama, bagian di mana cinta kalah oleh kasta dan keadaan.

Dan di malam-malam sepi, kadang Mbah Ngaipah merasa… di sudut ruang tamu rumahnya yang redup, ada dua kupu-kupu putih menari di antara sinar lampu minyak. Mungkin itu Sam Pek dan Ing Thay… yang kini bisa bersama di dunia yang lebih adil dari dunia ini.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock