Horror

Roti Manis

Adikku selalu punya hati yang lembut. Lembut seperti roti manis yang baru saja dipanggang.

Ia menangis setelah perempuan tua itu pergi, meski setelah semua yang terjadi. Mungkin justru karena semua yang telah terjadi. Aku mengingat jelas bagaimana aku memeluknya erat, tubuh kami sama-sama berlumuran jelaga, tangannya melepuh akibat menahan pintu tungku agar tak terbuka.

Setelah tangisnya reda, ia hanya diam. Mengikutiku keluar dari rumah itu, rumah dengan dinding kayu berlumut dan jendela berkabut rempah. Aku menemukan pakaian kami yang dulu, memberinya selendang miliknya, dan ia memakainya tanpa sepatah kata pun. Tak ada ekspresi saat kami menemukan perhiasan dalam peti kayu di loteng, hanya anggukan kecil ketika aku memintanya membantu mengisi karung yang sanggup kami bawa.

Mungkin… mungkin ini cukup. Cukup untuk menjauhkan kami dari amukan ibu tiri.

“Aku tak mau kembali ke sana.”

Itulah pertama kalinya ia bicara sejak kejadian itu. Aku berhenti melangkah di depan rumah perempuan tua itu, menatapnya dari balik bahu.

“Aku tak mau kembali kepada mereka.”

Aku menghela napas. “Lalu, mau ke mana kita?”

Ia meremas-remas jemarinya di depan rok lusuhnya, bibirnya tergigit. Namun akhirnya ia mengangguk. “Baiklah. Kau benar.” Ia melirik kembali rumah itu. “Tunggu sebentar. Mungkin masih ada yang tersisa di dapur.”

“Dapur?” Aku tersentak ngeri, tapi ia hanya mengangguk.

“Ya. Ia pikir aku tidak memperhatikan, tapi aku tahu. Aku tahu ramuan mana yang berguna—kalau pun tidak, setidaknya bisa kita jual.”

Aku mengangguk pelan dan mengikutinya kembali ke dalam, meski aku berhenti di ambang pintu dapur. Ia bergerak dengan mudah di ruangan itu, mengingatkanku betapa lama ia telah berada di bawah kuasa perempuan tua itu, sementara aku hanya dikurung dan diberi makan agar gemuk. Ia mengumpulkan lebih dari selusin botol dan kendi kecil, menyelipkannya dengan hati-hati di antara kain sutra dan brokat yang kami rampas dari loteng.

“Ayo pergi.”

Tak ada jejak yang bisa diikuti kali ini, namun ia seolah tahu jalan pulang. Aku bertanya bagaimana caranya, saat kami berhenti menunggu malam berlalu. Tapi ia hanya menjawab bahwa ia kini mengerti. Seolah hutan berbicara padanya dengan cara yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Aku merasakan ketakutan pertama kali saat itu. Tapi aku tahu ia masih ketakutan juga… jadi aku menelannya. Aku mencoba menghiburnya dengan angan-angan tentang kehidupan kami nanti, dan ia tersenyum tipis karenanya. Tapi malam tetap dingin dan sunyi, hingga akhirnya kami hanya bisa meringkuk bersama di bawah akar beringin besar menunggu fajar tiba.

Ketika matahari pertama muncul, ia yang pertama kali bangkit. Ia kembali diam, hanya menjawab pertanyaanku dengan gumaman atau satu kata. Kini ia lebih nyaman memimpin jalan, tapi ada sesuatu dalam posturnya yang mengingatkanku pada sesuatu… sesuatu yang tak bisa kujelaskan.

Akhirnya, aku pun ikut diam.

Saat rumah ayah kami terlihat di ujung desa, ia berhenti. Lalu berlari. Aku hanya selangkah di belakangnya.

Pintu telah terbuka saat kami tiba, dan ayah menyambut kami dengan air mata. Ia memeluk kami erat dan berulang kali meminta maaf, menyebut nama Tuhan dengan suara gemetar.

Aku juga memeluknya, tapi di antara kelegaan itu, ada bara api di dadaku. Bara yang telah menyala sejak perjalanan pulang dan kini menjadi kobaran api yang stabil.

Aku menangkap tatapan adikku di balik bahu ayah. Aku merinding.

Jika amarahku adalah api, maka kemarahannya adalah dingin yang membekukan.

Ayah menjelaskan bahwa ibu tiri kami jatuh sakit tak lama setelah kami ‘hilang’. Ia kini terbaring di kamar, nyaris tak sadarkan diri selama berhari-hari. Ia tak yakin apakah wanita itu akan bertahan.

“Mungkin ia akan bangun saat melihat kalian,” katanya penuh harap.

Kami tak menjawab. Ayah pun hanya menghela napas, wajahnya lebih tua dari yang kuingat.

“Aku tahu kalian pasti marah,” ucapnya lirih. “Aku… aku gagal menjadi ayah yang baik.”

“Hilang?”

Aku tersentak mendengar suara tajam adikku. Ayah pun sama terkejutnya. Adikku selalu berbicara lembut.

“Kami hilang?” ulangnya.

Ayah menatapnya lama, matanya membelalak dengan sedikit ketakutan. “…Ya,” bisiknya akhirnya.

Aku menundukkan kepala. Tak sanggup menatapnya lagi.

Adikku tidak.

Ia bangkit mendadak. “Kami akan menemuinya.”

Aku terkejut, tapi tetap mengikutinya ke kamar ibu tiri. Amarah di dadaku berkobar lebih panas, dan aku tak bisa melangkah lebih jauh dari ambang pintu.

Ia berlutut di sisi ranjang, membelai dahi wanita itu dengan kelembutan yang membuatku ingin muntah.

“Minumlah,” katanya, menyodorkan sebuah botol kecil ke bibir ibu tiri. “Ini akan membantu.”

Aku hampir menghentikannya, tapi ia mengangkat tangannya, menghentikan gerakanku. Saat botol itu kosong, ia berdiri, merapikan roknya, lalu meninggalkan ruangan tanpa menoleh ke belakang.

Aku menatap wanita itu. Nafasnya lebih teratur.

Dalam waktu sehari, ia pulih. Ia menangis pura-pura saat melihat kami, menyebut kami “anak-anak malang yang hilang di hutan.”

Amarahku membara. Adikku semakin dingin.

“Kita harus merayakan kepulangan kalian,” seru ibu tiri. “Apa yang kalian ingin makan?”

“Roti manis.”

Aku menatap adikku, terkejut. Ia hanya menggenggam tanganku di bawah meja.

Ia tersenyum pada ibu tiri, dan tenggorokanku tercekat.

“Tapi Ibu masih lemah. Biar aku yang memasak.”

Aku bisa menghentikannya saat itu juga. Tapi tatapan dinginnya membekukanku.

Bau roti manis memenuhi udara.

Saat makan, ibu tiri yang pertama tersedak. Lalu ayah. Aku menatap ke bawah, menggenggam tangan adikku erat-erat.

“Aku… aku tak ingin…” erang ayah, menggeliat kesakitan.

Adikku menggeleng. “Tapi kau tetap melakukannya.”

Ia tersenyum padaku, menggenggam tanganku lebih erat.

“Aku akan melindungimu.”

Hatiku menggigil. Lebih dingin dari sebelumnya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock