Cerita SedihCinta

Restu yang Pahit

Malam itu, Rawingga Mestari duduk di warung kopi kecil yang beratap terpal. Tangan tambunnya menggenggam secangkir teh panas yang mulai kehilangan uapnya. Di seberangnya, Joeaidit Khawasution, laki-laki yang selalu diam-diam ia cintai, duduk dengan jaket tebal dan kaca mata khasnya. Senyumnya mengembang, seperti biasanya, menghangatkan suasana di antara aroma kopi dan gorengan yang tersaji di meja mereka.

“Wi.”

“Dit.”

Mereka tersenyum bersamaan, kebetulan kecil yang selalu membuat hati Rawingga berdegup lebih kencang. Mungkin, malam ini adalah malam yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Mungkin, selama ini ia terlalu takut pada kenyataan yang sebenarnya ia sudah tahu. Namun, sebelum ia sempat mengungkapkan isi hatinya, Aidit sudah lebih dahulu berbicara.

“Wi, aku akan melamar Kenanga.”

Dunia Rawingga seakan berhenti. Sendok teh yang ia genggam terjatuh ke atas meja, dan kepalanya sedikit terantuk saat ia mencoba mengambilnya. Aidit tertawa kecil, mengira Rawingga hanya sedang ceroboh seperti biasanya. Tapi hati Rawingga terlanjur hancur, terbelah menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak mungkin bisa ia satukan kembali.

“Nala sudah bilang kalau kau tidak bisa datang ke pertunanganku. Kenapa, Wi?” tanya Aidit dengan nada penuh keingintahuan.

Rawingga berusaha tersenyum, meski rasanya seperti memaksakan otot wajah yang tak ingin bergerak.

“Aku ada kerjaan, Dit.”

“Ayo lah, Wi. Kau kan orang yang berjasa mempertemukan aku dan Kenanga. Aku ingin kau ada di sana.”

Rawingga hanya tersenyum lagi, kali ini lebih getir dari sebelumnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Aidit merangkulnya, mengacak rambutnya seperti biasa, lalu mengecup kepalanya dengan lembut.

“Terima kasih, Wi. Aku nggak akan bisa sampai di titik ini tanpa kamu.”

Pelukan kecil itu membuat Rawingga semakin sulit menahan air mata. Ia memejamkan mata, menghirup aroma familiar dari jaket Aidit, berusaha menyimpan kenangan itu sebaik mungkin.

Namun, tiba-tiba tubuh Aidit menjauh darinya. Sebuah dorongan kecil membuat Rawingga kehilangan keseimbangan. Saat ia membuka mata, di sana berdiri Kenanga dan Nala. Kenanga menatap mereka dengan ekspresi tak terbaca, sementara Nala hanya terlihat kebingungan.

Mendadak, warung kopi itu menjadi sunyi. Seakan semua orang menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi.

“Aku tidak bermaksud apa-apa, Kenanga. Aku…” Aidit mencoba menjelaskan, suaranya terdengar panik.

Tapi Kenanga hanya tersenyum. Senyum yang menenangkan, namun juga menusuk lebih dalam ke hati Rawingga.

“Aku percaya, Mas.”

Kenanga lalu duduk di antara mereka, sementara Nala merapat ke sisi Rawingga, menatapnya penuh tanya. Hal yang mengejutkan terjadi ketika Kenanga menggenggam tangan Rawingga.

“Akhirnya Kak, aku menemukanmu. Hanya Kakak yang belum kumintai restu.”

Rawingga menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menghujam dadanya.

“Kakak merestui kami, bukan?”

Nala meremas bahunya, seakan ingin memberikan kekuatan. Rawingga menatap wajah Aidit yang penuh harap. Pria yang selalu ia cintai, kini menunggu jawaban yang akan menentukan kebahagiaannya sendiri.

Air mata Rawingga akhirnya jatuh. Ia berusaha mengangguk, meski seluruh jiwanya berontak.

“Aku merestui kalian. Berbahagialah… dan berikan kami ponakan lucu, ya, Nal?”

Nala mengangguk, ikut meneteskan air mata. Namun, Rawingga tahu, kesedihan yang ada di mata sahabatnya itu bukan hanya untuk Kenanga dan Aidit. Itu adalah kesedihan untuk dirinya. Untuk rahasia yang hanya mereka berdua ketahui.

Rawingga mendekatkan bibirnya ke telinga Nala, berbisik pelan.

“Anggap saja, hal itu tidak pernah terjadi, Nal.”

Nala menggigit bibirnya, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya mengangguk. Karena mereka berdua tahu, ada hal-hal yang lebih baik terkubur selamanya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock