Cerita SedihTragedi

Mayra

Hidup Mayra berubah sejak kepergian ibunya. Kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ibu saat hendak menjemputnya dari sekolah. Kini ia tinggal bersama ayah kandungnya, ibu tiri, dan kakak tirinya, Alandra—yang dulu adalah sahabatnya. Ia sempat berharap ibu Alandra akan menikah dengan ayahnya dan membawa kebahagiaan. Namun, harapan itu hanya ilusi. Hidupnya justru berubah menjadi mimpi buruk.

Hari ini adalah malam tahun baru. Mayra bangun dengan harapan kecil di hatinya—ingin menghabiskan waktu bersama ayah. Seorang CEO yang selalu sibuk, namun Mayra tetap berharap setidaknya hari ini, ayah akan meluangkan waktu untuknya.

Ia mendekati ayah yang tengah duduk di sofa, sibuk dengan laptopnya meski hari ini adalah hari libur.

“Ayah…” panggilnya pelan sambil duduk di sampingnya.
“Hm? Ada apa?”
“Mayra ingin kita keluar berdua sebentar, ayah. Hari ini libur… boleh?” tanyanya penuh harap.
Ayahnya tak mengalihkan pandangan dari layar. “Ayah nggak bisa. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Lagipula nanti kita tetap merayakan tahun baru di halaman belakang. Nggak perlu keluar sekarang. Lebih baik kamu bantu mamah di belakang.”

Mayra menelan kekecewaannya. Ia paham, tapi tetap sakit rasanya. Ia pun beranjak menuju halaman belakang, di mana para pelayan tengah sibuk menyiapkan pesta.

“Bi, mamah di mana?” tanyanya pada salah satu pelayan.
“Nyonya sedang keluar bersama Den Alan, Non,” jawab pelayan itu.

Mayra mengangguk kecil. Tentu saja. Mamah tirinya selalu lebih memperhatikan Alan. Ia pun ikut membantu persiapan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa sepi yang menghimpit.

Matahari mulai tenggelam. Mayra kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri. Saat turun, ia melihat ayah, mamah tiri, dan Alan sedang duduk bersama di ruang keluarga. Ia ingin bergabung, tetapi sebuah kenangan buruk menghantam pikirannya.

Flashback

Saat itu, ia juga ingin bergabung dengan keluarganya di ruang keluarga. Namun, begitu ia melangkah mendekat, mamah tiri langsung memanggilnya.

“Sudah mengerjakan tugas?” tanyanya ketus.
“Sudah, Mah.”
“Sudah bersihkan kamar?”
“Sudah juga.”
“Ikut mamah sebentar.”

Mayra menurut. Ia mengikuti mamah tirinya ke kamar. Begitu pintu tertutup, wajah ramah itu lenyap.

“Heh, anak sialan!” bentaknya.
Mayra terbelalak. “M-mah?”
“Kamu nggak tahu malu ya? Berani-beraninya ikut gabung di ruang keluarga! Kamu cuma pengganggu!”
“Tapi… itu keluarga Mayra juga…”
“Persetan dengan keluarga! Aku menikah dengan ayahmu hanya karena harta! Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah menganggapmu sebagai anakku! Mengerti?!”

Flashback end

Air mata mengalir di pipi Mayra. Ia membalikkan badan dan memilih kembali ke kamarnya.

23:00

Satu jam lagi tahun akan berganti. Mayra tetap di kamarnya, tidak berniat bergabung dalam pesta keluarga.

Tok tok tok.

Pintu diketuk. Ia berjalan malas dan membukanya.

Mamah tirinya berdiri di sana, dengan senyum penuh kepalsuan.
“Bagus. Jangan keluar. Jangan ganggu dan rusak acaraku. Keberadaanmu hanya akan mengotori suasana,” ujarnya dingin sebelum berbalik pergi.

Mayra menutup pintu perlahan, menggigit bibirnya untuk menahan tangis.

Ketukan kembali terdengar. Kali ini, Alan yang muncul.
“Dek? Kata mamah kamu sakit?” tanyanya khawatir.

Mayra menatapnya sebentar. Mamah berbohong. Daripada membuat masalah, lebih baik ia ikut berbohong.

“Aku… sedikit demam, Bang. Nggak enak badan. Abang lanjut aja acaranya.”
“Yaudah. Kamu istirahat, ya,” ujar Alan sebelum pergi.

23:50

Mayra duduk di balkon, menikmati dinginnya angin malam. Ia mengambil sesuatu dari laci—sebuah lilin kecil dan korek api.

Ia menyalakan lilin itu, lalu menyanyikan lagu pelan-pelan.

“Happy birthday to me, happy birthday to me…”

Hari ini, bukan hanya malam tahun baru. Ini juga hari ulang tahunnya.

Dengan kedua tangan bertaut, ia berdoa dalam hati.

Ya Tuhan, Mayra hanya ingin ayah dan keluarganya bahagia. Kalau Mayra harus sakit demi mereka bahagia, tidak apa-apa. Mayra ikhlas.

Ia meniup lilin kecilnya.

23:59

Di halaman belakang, keluarga sibuk menghitung mundur.

“10… 9… 8…”

Mayra berdiri di pinggir balkon, memandangi kembang api yang siap ditembakkan.

“7… 6… 5…”

Ia menarik napas panjang, menutup mata.

“4… 3… 2…”

Senyum kecil terukir di wajahnya.

“1!”

DUORR!!!

Kembang api meledak di langit. Dan bersamaan dengan itu—

Brukk!

Sebuah suara benda jatuh terdengar keras di tengah pesta.

Alan menoleh. “Yah, suara apa tadi?”
Ayahnya mengernyit. “Ayok kita cek!”

Mereka berlari mencari sumber suara.

Dan di sana, di atas tanah yang dingin, mereka menemukannya.

“MAYRAA!!”

Ayah dan Alan berlari panik ke arah tubuh Mayra yang tergeletak di tanah.

“M-mayra…” tangan ayahnya bergetar, mendekap anaknya yang bersimbah darah.
“Mayra! Bertahan, Dek! Aku panggil ambulans!” Alan menangis.

Mamah tirinya hanya berdiri di kejauhan, wajahnya tanpa ekspresi.

Mayra membuka mata lemah.
“Ayah… maaf…” suaranya nyaris tak terdengar.
“Nggak, sayang… kamu nggak salah… Ayah yang salah…” Ayahnya terisak.
“Bang Alan… jaga ayah ya… Mayra sayang kalian…”

Dan dengan senyum kecil di bibirnya, Mayra menghembuskan napas terakhirnya.

Beberapa hari kemudian…

Ayah Mayra akhirnya membaca surat yang ditinggalkan putrinya.

“Ayah… Mayra selalu menyayangi ayah. Tapi Mayra sedih… Mamah hanya mengincar harta ayah. Maaf, Mayra takut kalau bicara langsung, ayah nggak percaya. Tapi nggak apa-apa. Yang penting ayah bahagia. Tolong jaga foto ibu, ayah. Itu yang selalu menemani Mayra selama ini. Mayra sayang ayah… selamanya.”

Ayahnya menangis sejadi-jadinya, mendekap surat itu erat.

Pada akhirnya, kebenaran terbongkar. Ibu tiri Mayra diceraikan dan dipenjara. Alan diangkat menjadi anak ayah Mayra, dan dilatih untuk meneruskan bisnis keluarga.

Di tempat lain, Mayra tersenyum. Pengorbanannya tidak sia-sia.

Sekarang, orang yang ia cintai akhirnya bisa bahagia.

TAMAT.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock