Denting mesin pesawat berdengung stabil, getarannya menyebar lembut melalui badan logam. Aku duduk di dekat pintu terbuka, menatap ke luar, hamparan biru dan hijau terbentang luas bagai lukisan tak berujung. Dunia di bawah sana seperti peta rumit yang terbentang megah. Aku sedikit mencondongkan tubuh, jantungku sudah berdetak kencang, diburu rasa gugup yang anehnya selalu datang meski aku sudah berkali-kali melompat.
Ada rasa manis yang mengalir dalam tubuhku, semacam aliran listrik, getaran kehidupan. Melihat dunia dari ketinggian seperti ini selalu terasa magis, seolah menghubungkan yang biasa dengan yang luar biasa. Sungai meliuk seperti ular raksasa, jalan raya membelah bumi seperti guratan tajam, dan sawah-sawah membentang seperti kain tambal sulam dengan warna hijau dan emas.
Aku menarik napas panjang. Udara dingin dan tipis mengisi paru-paruku, bercampur dengan aroma logam khas pesawat dan janji kebebasan yang terasa sangat dekat. Jari-jariku gatal ingin menangkap semua ini lewat lensa kameraku, mengabadikan keindahan dunia dari langit.
Aku memeriksa perlengkapanku, gerakan otomatis, tapi tetap penting. Pikiranku sudah jauh ke depan, membayangkan bidikan sempurna yang akan kuambil saat terjun bebas nanti.
Tiba waktunya. Instruktur memberi isyarat. Aku bergerak ke arah pintu, angin kencang menyambut seperti tangan tak terlihat yang mengajakku ke dunia di bawah. Langit terbuka, dan aku pun melompat, menyerahkan diriku pada tarikan gravitasi.
Suara mesin pesawat perlahan menghilang, digantikan oleh desiran angin yang mengaum dan detak jantungku yang berdebar keras. Bumi mulai berputar dan bergeser di bawahku, dan jari-jariku mulai siap menggenggam kamera untuk menangkap keajaiban ini.
Aku selalu mencintai pemandangan dari atas. Kamera adalah mata keduaku, jendela menuju jiwaku. Warna-warna yang berpadu, awan-awan menggulung, dan tanah di bawah sana begitu hidup, seolah bisa kusentuh. Dengan setiap jepretan, aku mengarahkan lensaku dengan presisi, seperti dirigen yang memimpin simfoni di tengah angin.
Pada ketinggian 5.000 kaki, aku meraih tali parasut utama. Jari-jari bersarungku menariknya dengan gerakan yang sudah kulatih ribuan kali. Tapi tak ada yang terjadi. Aku mengernyit, menariknya lebih kuat, masih tak ada reaksi. Dada terasa dihantam es. Dingin. Sunyi.
4.500 kaki. Aku menggigit bibir dan meraih tali cadangan. Aku berusaha tetap tenang, seperti yang selalu kulatih. Tak pernah sebelumnya aku harus menggunakan parasut cadangan, tapi aku yakin akan baik-baik saja. Namun saat kutarik tuasnya, hasilnya sama: tidak ada tarikan, tidak ada payung yang mengembang. Ketakutan mulai menyusup, merayap naik dari tulang belakang hingga ke tenggorokan.
“Ini nggak adil,” gumamku. Angin langsung mencuri suaraku. “Kemungkinan dua-duanya gagal itu hampir mustahil.” Tapi kenyataannya aku terjun bebas menuju kematian yang tak bisa kuhindari. Aku tak akan melihat lagi mata anak perempuanku yang bersinar saat bercanda dengannya. Tak akan lagi kucicipi rasa lip gloss stroberi di bibir istriku, atau dengar bisikan manisnya di malam-malam sunyi. Aku tak akan mendengar celoteh anak laki-lakiku saat memamerkan robot LEGO-nya. Tak akan kucium lagi aroma kue buatan istriku yang hangat dan menenangkan.
Aku berteriak. Tapi suara itu ditelan angin. Dingin mencengkeram leherku, membekap hingga sulit bernapas. Namun aku paksa pikiranku tetap kuat. Jika ini akhir hidupku, maka biarlah pikiran terakhirku tentang keluargaku.
4.000 kaki. Tangan gemetar, aku merogoh kantong dan mengambil beberapa foto kecil yang selalu kubawa, kenangan dalam bingkai mungil. Dunia di sekitarku buram, tapi wajah-wajah itu tetap jelas, seolah menantang maut dengan cinta.
Musim panas. Cahaya matahari seperti emas cair menyinari kebun. Putriku, Lila, saat itu baru lima tahun, tertawa sambil mengejar kupu-kupu. Rambutnya yang kecokelatan melambai-lambai, dan senyumannya tertangkap dalam satu jepretan kamera, abadi.
3.500 kaki. Tanah mulai terlihat jelas, keras dan tak bersahabat. Nafasku terengah, pikiranku seperti kamera yang cepat memutar slide kehidupanku.
Musim dingin. Istriku, Emma, mengenakan syal biru, pipinya kemerahan karena udara dingin. Kami membuat manusia salju bersama. Tanganku menyentuh tangannya saat membentuk kepala boneka itu. Tawanya, senyumnya, kurekam dalam satu foto. Sekilas, tapi penuh cinta.
3.000 kaki. Tarikan bumi semakin kuat. Angin mengaum tak kenal belas kasih. Tapi pikiranku tetap tenggelam dalam kenangan.
Suatu sore. Aroma kue cokelat menyebar di rumah. Anakku, Alex, duduk di lantai, fokus menyusun puzzle. Aku ikut duduk, dan suasana hangat itu kupotret, wajah serius anak kecil yang sedang bermain, dunia kecil yang damai.
2.500 kaki. Detil bumi makin tajam, seperti lukisan yang mendekat dengan kecepatan mengerikan. Tapi aku hanya menggenggam foto-foto itu lebih erat, satu-satunya penyangga kewarasanku.
Malam berbintang. Kami semua berbaring di halaman, menatap langit. Lila menunjuk rasi bintang, hobi barunya. Tangan Emma menggenggam tanganku. Aku mengambil gambar kami, siluet kecil di tengah jagat raya.
2.000 kaki. Detik demi detik seperti hentakan drum yang menandai akhir. Pikiranku berputar cepat, menyapu seluruh kenangan hidupku.
Pesta ulang tahun. Ruangan penuh warna dan tawa. Alex meniup delapan lilin, Lila bertepuk tangan. Emma memeluk pinggangku, kepalanya bersandar di bahuku. Satu foto, satu dunia: cinta dan kebahagiaan.
1.500 kaki. Tanah kini bukan sekadar bayangan. Ia menjadi kenyataan yang mendekat cepat. Jantungku berpacu seperti genderang perang.
Liburan keluarga. Pantai membentang luas. Bau laut dan tabir surya, tawa anak-anak, teriakan camar. Aku memotret mereka membangun istana pasir, rapuh, tapi penuh impian.
1.000 kaki. Rasa takut mulai mengendur. Aku akan mati, tapi tidak sendirian. Keluargaku bersamaku, di dalam hati. Aku menyalakan kamera. Teman bisuku yang selalu menemaniku.
Sore santai. Api menyala di perapian. Kami duduk bersama, hangat dalam pelukan rumah. Aku mengabadikan wajah Emma yang diterangi cahaya api, tenang, bahagia, tak tergambarkan oleh kata.
500 kaki. Semua menyempit pada satu momen. Tanganku menggenggam kamera, jariku menyentuh tombol.
Satu kenangan terakhir, paling berharga, hari saat kami membawa pulang Lila dari rumah sakit. Emma menggendongnya dengan lembut, dan aku memotret cinta yang lahir di sana. Foto pertama dari banyak yang kutangkap, kisah cinta yang tak akan pernah selesai.
100 kaki. Dunia mengecil ke dalam jendela lensa. Tanah semakin dekat, dan aku membingkai satu bidikan terakhir.
Kamera mengklik.
kemudian semuanya menjadi gelap.