Bangku
Nenek tua itu berjalan perlahan, menyeret kakinya yang lelah menuju bangku taman. Begitu sampai, ia duduk dan menghela napas panjang. Sinar matahari musim gugur terasa hangat di kulitnya, meski udara dingin membuatnya bersyukur telah memakai mantel tebal. Ia meletakkan tas tangannya di atas pangkuan dengan rapi.
“Selamat pagi,” sapa seorang pria berambut putih di ujung bangku. “Hari yang indah, ya.”
Perempuan itu tersenyum. “Iya, indah. Dingin, tapi menyenangkan.”
Pria itu melipat korannya dan membalas senyuman itu. “Saya George.”
“Saya Elsie,” jawabnya sambil merapikan syal yang menutupi lehernya. Jemarinya yang keriput tampak kaku oleh cuaca dingin.
Mereka duduk dalam diam beberapa saat, memandang ke arah kota yang terbentang di bawah bukit taman.
“Aku selalu suka pemandangan dari sini,” kata George tiba-tiba.
“Maaf?”
“Pemandangannya,” ulang George. “Dari kecil aku sering ke sini. Dulu aku suka lihat kereta api.”
Elsie mengikuti arah telunjuknya, ke bawah, ke jalur rel yang membelah kota.
“Aku paling suka kereta uap. Kau lihat itu?”
“Iya, aku bisa lihat. Tapi sekarang tak ada lagi kereta uap, ya. Sudah berubah semuanya.”
George mengangguk pelan. “Memang. Dulu aku sering keliling naik kereta. Orang tuaku bahkan tak tahu aku ke mana. Beda sekali dengan zaman sekarang.” Ia terdiam sejenak. “Kamu punya anak?”
“Ada. Dua. Dan sekarang sudah punya cucu juga.”
“Wah, kamu beruntung. Siapa nama mereka?” George menoleh, memperhatikan wajah Elsie yang terlihat lelah tapi lembut, dengan ikatan rambut putih tergerai di bahunya.
“Yang sulung namanya Timothy. Dia sudah punya dua anak juga sekarang. Tapi mereka semua sudah besar dan sibuk. Aku jarang bertemu.”
“Aku suka nama Timothy,” gumam George.
Elsie tersenyum. “Yang satunya lagi Ellen. Akhirnya menikah tahun lalu. Umurnya hampir lima puluh! Tapi akhirnya dia berani menikah juga.”
“Itu kabar yang menyenangkan!”
“Iya. Dia cantik sekali hari itu.”
George bersandar. “Aku selalu ingin punya anak.”
Hening kembali menyelimuti mereka beberapa saat.
“Kau bisa baca koranmu, George. Aku nggak keberatan,” kata Elsie.
“Ah, tidak. Jarang-jarang bisa ngobrol begini. Apalagi dengan wanita secantik kamu.” George mengedip.
Elsie tertawa kecil. “Penuh rayuan, ya? Pasti dulu banyak yang patah hati gara-gara kamu.”
“Entahlah!” George ikut tertawa.
“Kamu asli sini?”
“Iya. Sekolah pun di sini. Tapi nama sekolahnya aku lupa… Calder… Calder apa gitu.”
“Wajar. Usia memang bikin kita lupa,” ujar Elsie pelan.
George mengangkat bahu. “Mungkin begitu.”
“Usia mengambil banyak hal dari kita. Badan, pikiran, kenangan…”
Keduanya kembali tenggelam dalam diam, memandangi kota yang perlahan tertelan kabut.
“Boleh aku tanya sesuatu, George?”
“Tentu saja.”
“Kamu pernah menikah?”
George menggeleng. “Tidak. Dulu ada satu perempuan… tapi aku lupa namanya. Kalau kamu?”
“Aku pernah. Menikah dengan sahabatku sendiri. Cinta sejatiku.”
“Itu luar biasa.”
“Iya. Memang luar biasa. Tapi dia sudah pergi sekarang. Dan rasanya sepi sekali. Sepi yang menyakitkan.” Suara Elsie melemah, matanya menunduk.
George meraih tangan Elsie dengan lembut. “Aku turut sedih. Sudah berapa lama?”
“Hampir lima tahun. Sejak itu, semuanya terasa hampa.” Matanya yang dulu biru terang kini mulai memudar, keruh oleh usia dan duka.
“Sedih sekali. Tapi kamu masih punya keluarga?”
Elsie menggeleng. “Mereka punya hidup sendiri. Timothy di Chester, Ellen di Manchester. Dan aku… aku hanya terus mencoret nama dari buku alamatku. Teman-temanku… semua sudah pergi.”
George mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menyerahkannya. “Ini. Tak apa-apa. Menangislah.”
Elsie menerima dan tersenyum kecil. “Terima kasih. Kamu baik sekali.” Ia menyeka matanya. “Aku pasti terlihat bodoh, ya. Nenek-nenek duduk di taman, menangis.”
“Tidak sama sekali.”
“Aku harusnya bersyukur. Aku masih hidup, anak-anakku sehat. Seperti katamu tadi, aku beruntung.”
George mengerutkan kening. “Apa?”
“Kamu bilang aku beruntung. Karena punya anak.”
“Oh… iya. Lupa aku bilang begitu.”
Elsie hendak mengembalikan sapu tangan itu, tapi George menolak. “Simpan saja. Aku punya banyak.”
“Baiklah. Terima kasih.” Ia membuka tas dan menyelipkan sapu tangan itu ke dalam, lalu menutup tasnya kembali. “Hidup ini aneh, ya, George?”
George menoleh. “Aneh bagaimana maksudmu?”
“Aku hanya… tak percaya aku sudah di tahap ini. Di akhir hidupku. Dan apa yang bisa aku banggakan?”
George tak menjawab.
“Aku merasa tak berubah sejak sepuluh tahun lalu. Dua puluh tahun lalu bahkan. Tapi saat bercermin… yang kulihat hanya nenek tua. Semua terasa… sia-sia.”
George berkata pelan. “Maaf, aku tak tahu harus menjawab apa.”
“Tak apa. Aku cuma ingin mengatakannya saja.”
Keduanya kembali terdiam.
“Dulu aku sering naik kereta ke mana-mana, loh,” kata George tiba-tiba.
“Iya. Kamu sudah bilang.”
George tertawa. “Oh iya?”
Elsie tersenyum lembut. “Iya. Dan kamu bilang orang tuamu tak tahu.”
“Benar. Beda zaman, ya.”
“Beda sekali, George. Beda sekali.”
George memandangi Elsie lekat-lekat. “Kamu kelihatan familiar. Kita pernah ketemu?”
Elsie menarik napas dalam. “Sudah. Kita sudah sering bertemu.”
George mengerutkan kening.
“Ayo, George. Kita pulang. Udara dingin ini mulai masuk ke tulang.”
George masih bingung. “Pulang?”
“Iya, sayang. Pulang. Aku sudah masak semur. Habis itu kita bisa nonton balapan. Kamu suka, kan?”
George berdiri perlahan. “Oh… iya.”
“Jangan lupa koranmu.”
Pasangan lansia itu berjalan perlahan meninggalkan bangku taman, tangan mereka saling menggenggam. Seperti yang selalu mereka lakukan setiap Minggu pagi selama lima puluh tahun terakhir.
Mereka kembali ke rumah kosong yang dulu penuh tawa dan suara anak-anak. Kini sunyi, pikir Elsie sambil menuntun suaminya melewati taman yang sepi.
Sepi sekali.