Secercah Cahaya
“Aku sepertinya kebanyakan ngomong,” gumam Jaka sambil melihat senyum manajer resto cepat saji itu perlahan memudar. Ruangan yang tadinya ramai mendadak sunyi. Percakapan berhenti, dan beberapa orang menoleh ke arahnya.
Jaka menarik kerah seragamnya dengan gelisah. “Bawaan lahir orang Jawa, sukanya ngobrol. Harusnya aku cuma ngomong “siap” dan “maaf” saja.”
Seorang ibu-ibu di meja tujuh menatapnya dengan ekspresi datar. Mungkin efek sering pakai bedak dingin, pikir Jaka.
“Pak Jaka, bisa kesini sebentar?” Pak Marwan, manajer resto, melambai dengan jari telunjuknya yang rapi terawat.
Jaka menarik napas panjang dan mengikutinya ke dapur. Ia hanya bilang kalau ibu itu mengingatkannya pada artis lawas di film laga zaman dulu, tanpa sadar bahwa mengatakan “Ibu sepertinya bisa menangkap maling dengan tangan kosong” bukan pujian yang umum memang.
Pintu dapur tertutup dengan suara mendesis. Bunyi itu langsung memicu respons aneh dalam diri Jaka, seperti pintu-pintu yang terus menutup di belakangnya selama tiga puluh dua tahun terakhir.
“Jaka, apa yang sudah kita bicarakan soal interaksi dengan pelanggan?” suara Pak Marwan terdengar sabar tapi tajam. “Singkat, sopan, tidak nyeleneh.”
“Aku cuma berusaha ramah,” Jaka menggaruk lehernya. “Tapi sepertinya malah terdengar seperti gosip murahan tetangga, ya?”
“Mengingat keadaanmu, kami sudah cukup bersikap baik, kan?” Mata Pak Marwan melirik bekas luka di atas alis Jaka, satu-satunya bekas luka yang terlihat dari masa lalunya yang kelam.
Lagi-lagi, “keadaanmu.” Sebuah kata halus tapi terus mengingatkannya akan statusnya. Mantan narapidana. Pernah membunuh. Sampah masyarakat
“Baik Pak,” Jaka mengangguk patuh. “Aku kemudian kembali ke habitat asli, di antara tumpukan piring kotor.”
“Bagus. Oh, Jaka. Tadi anak perempuanmu menelepon. Katanya butuh kamu malam ini.”
Jaka merasa dadanya mendadak sesak. Sari jarang sekali menelepon, apalagi saat ia sedang bekerja. Ini pasti serius.
Tiga jam kemudian, Jaka berdiri di depan rumah sakit, menatap pintu masuk dengan perasaan bersalah. Ia belum bertemu Sari sejak pertengkaran mereka sebulan lalu, ketika Sari menuduhnya lebih nyaman di penjara daripada di dunia nyata. Yang paling menyakitkan adalah, ia tidak bisa membantah.
Saat melihat Sari terbaring pucat di atas ranjang rumah sakit, Jaka merasa ada sesuatu yang hancur dalam dirinya.
“Bapak.” Suara Sari terdengar lemah, tapi ada kehangatan di sana.
“Mereka bilang kamu mau lahiran disini,” Jaka berdiri kikuk. “kamu baik-baik saja kan?”
“Bayi ini menekan tali pusatnya. Denyut jantungnya turun setiap kali aku kontraksi. Kalau terus begini, dokter bilang akan lakukan operasi.”
Jaka menelan ludah. “Lalu, Rara? Siapa yang menjaga dia?”
“Lisa baru bisa jemput jam enam. Aku butuh Bapak buat jemput dia dari sekolah.”
Jaka merasakan panik. Ia baru dua kali bertemu cucunya sejak keluar dari penjara. Rara, anak berusia sepuluh tahun yang pendiam, selalu menatapnya seperti melihat harimau yang bisa menerkam kapan saja.
“Sari, aku tidak yakin bisa…” Jaka mengacak rambutnya yang mulai memutih. “Terakhir kali aku menjaga anak kecil, film Si Unyil masih jadi acara favorit anak-anak.”
“Bapak, tolong. Nggak ada orang lain.” Nada suara Sari nyaris memohon.
Jaka menghela napas. Putrinya butuh dia.
“Baiklah. Aku jemput dia. Seberapa susah sih? Anak kecil kan cuma manusia versi mini yang belum jago menyembunyikan rasa bencinya padaku.”
Sari tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak. Oh, satu lagi. Jangan biarkan dia nonton berita. Jangan tanya kenapa.”
Jaka mengangguk, menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut.
SD Tunas Bangsa jauh berbeda dari sekolah-sekolah zaman kecilnya. Dindingnya penuh warna, poster-poster bertuliskan “Setiap Anak Adalah Bintang!” menghiasi lorong. Jaka bertanya-tanya, mungkinkah hidupnya akan berubah seandainya jika sejak kecil ia diberi semangat seperti itu?
Seorang guru muda berjalan mendekat, menggandeng tangan seorang anak perempuan kecil.
“Pak Jaka? Ini Rara.”
Si kecil Rara menatap Jaka dengan mata yang mendalam. Seragam merah-putihnya tampak sedikit kebesaran. Kalung di lehernya bukan aksesori biasa, Jaka tahu bahwa itu adalah alat komunikasi yang mungkin tak pernah ia gunakan.
“Halo, Rara.” Jaka berlutut, berusaha agar tidak terlihat menakutkan. “Ibumu harus tinggal di rumah sakit sebentar. Jadi, kau akan bersamaku sampai Lisa datang.”
Rara tak berkata apa-apa, tapi juga tak menolak saat Jaka menggenggam tangannya.
Di dalam angkot, Rara mengeluarkan buku catatan dan mulai menulis: Apakah Ibu benar-benar baik-baik saja?
“Dia dijaga dokter terbaik,” Jaka berkata pelan. “Mereka tahu apa yang harus dilakukan.”
Rara menulis lagi: Dulu mereka juga bilang begitu tentang nenek. Tapi nenek meninggal.
Jaka terdiam. Ia baru tahu bahwa istrinya meninggal di rumah sakit. Satu lagi celah dalam hidup Sari yang tak ia ketahui.
“Ini berbeda, Rara. Ibumu masih muda dan sehat.”
Rara menatapnya tajam, lalu menulis lagi: Apa Kakek masuk rumah sakit waktu di penjara?
Jaka merasa tubuhnya menegang. “Siapa yang bilang begitu?”
Aku dengar Ibu dan Lisa ngobrol. Lisa bilang jangan taruh barang berharga sembarangan. Ibu bilang, Kakek bukan pencuri. Kakek itu… pembunuh.
Dada Jaka serasa dihantam batu.
“Ya,” ia akhirnya mengakui. “Aku melakukan kesalahan waktu masih muda. Kesalahan yang sangat bodoh. Tapi aku sudah menebusnya, selama tiga puluh dua tahun. Sekarang aku hanya ingin menjadi lebih baik.”
Rara membaca tulisan itu berulang kali, lalu menulis: Aku lapar. Ibu biasa bikin nasi goreng pakai kecap dan telur. Tapi jangan pedas.
Jaka tertawa kecil. “Baiklah, nona kecil.”
Saat malam tiba, Lisa menjemput Rara. Sebelum pergi, Rara mengulurkan buku catatannya ke Jaka: Kakek tidak seperti yang aku bayangkan.
Lalu, sebelum Jaka bisa berkata apa-apa, ia mengangkat tangannya untuk tos kecil.
Malam itu, ponsel Jaka bergetar. SMS dari Sari: Rara bilang dia suka kakek. Katanya kakek nggak semenakutkan yang dia kira. Itu pujian besar darinya.
Jaka tersenyum di dalam kegelapan. Bukan menakutkan. Itu awal yang baik.