Badai di Langit, Badai di Hati
Awan hitam berkumpul di langit, mengancam dengan guntur yang bergemuruh dari kejauhan. Angin berembus liar di antara pepohonan, membuat dedaunan berbisik ketakutan. Di dalam rumah kecil di pinggiran kota, Dina duduk di sofa dengan gelas berisi es yang mulai mencair. Matanya menatap layar televisi yang menampilkan peta badai besar yang bergerak mendekati daerahnya.
Presenter berita dengan suara tegang memperingatkan akan hujan deras, angin kencang, bahkan kemungkinan munculnya pusaran angin kecil di sekitar wilayah itu. Dina mematikan suara televisi. Ia tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia hanya ingin menikmati detik-detik ketenangan sebelum badai benar-benar tiba.
Dina berdiri dan melangkah ke dapur. Ia mengambil segelas minuman jahe yang telah ia simpan di lemari dan menuangkannya ke dalam gelasnya. Seteguk pertama terasa hangat di tenggorokannya, menenangkan ketegangan yang sejak tadi membelenggunya.
Ia berjalan menuju jendela, menarik tirai dan menatap ke luar. Cahaya senja yang seharusnya keemasan kini berubah temaram, tertutup awan gelap. Daun-daun kering beterbangan, terbawa angin yang semakin kencang. Jauh di kejauhan, langit mulai retak oleh kilatan petir yang menyambar.
Dina menghela napas panjang. Ia menikmati kesunyian yang mendahului badai. Udara yang penuh muatan listrik membuat bulu kuduknya berdiri, tetapi ia tetap mematung di tempatnya. Mungkin, ia berharap badai bisa membawa sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dalam hidupnya yang terasa hampa.
Pagi tadi, saat matahari masih bersinar terang, Dina bangun dengan perasaan jenuh. Rutinitas yang sama setiap hari membuatnya merasa seperti terperangkap. Ia mencuci piring kotor dari malam sebelumnya, menyapu lantai, lalu berusaha membaca novel yang sudah berbulan-bulan tak tersentuh. Tapi pikirannya melayang ke mana-mana.
Telepon berdering. Suara di seberang sana terdengar akrab namun membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Itu suara Andi, mantan suaminya.
“Dina, aku akan menjemput Dinda sore ini. Aku janji akan mengembalikannya sebelum malam,” kata Andi dengan nada yang selalu membuat Dina merasa ia tak punya pilihan lain selain mengiyakan.
“Baiklah,” jawabnya singkat.
Sejak perceraian mereka setahun lalu, Andi tetap hadir dalam hidupnya, bukan sebagai pasangan, tetapi sebagai bayangan yang terus mengingatkan pada masa lalu yang ingin ia lupakan. Mereka berbagi hak asuh atas Dinda, putri kecil mereka yang baru berusia lima tahun. Dina tahu Andi bukan ayah yang buruk, tapi tetap saja ada sesuatu yang terasa tidak adil.
Ketika Andi datang menjemput Dinda sore itu, gadis kecilnya berlari ke pelukan ayahnya dengan riang. Dina hanya berdiri di pintu, menyaksikan pemandangan itu dengan senyum hambar. Hatinya terasa kosong setiap kali melihat Dinda pergi, meninggalkan rumah yang tiba-tiba terasa begitu sepi.
Kini, di bawah langit yang semakin gelap, Dina kembali duduk di sofa dengan segelas jahe hangat yang semakin kosong. Hujan mulai turun, rintik-rintik kecil yang kemudian berubah menjadi hujan deras yang menampar kaca jendela. Angin berdesir kencang, membuat ranting-ranting pohon melambai liar seolah ingin mencakar langit.
Ia menyalakan lampu, tetapi seketika listrik padam. Rumahnya tenggelam dalam kegelapan. Ia menggerutu pelan, meraba-raba mencari ponselnya untuk menyalakan senter. Di luar, badai benar-benar telah tiba.
Di tengah suara angin yang meraung dan guntur yang menggelegar, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Andi.
“Dina, aku tidak bisa kembali sekarang. Badai terlalu parah. Aku akan menjaga Dinda sampai esok pagi.”
Dina menatap pesan itu lama. Ada kelegaan, tetapi juga ada kesepian yang tiba-tiba menyergap. Ia meletakkan ponsel di meja, mengambil napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata.
Badai di luar semakin menggila, tetapi di dalam dirinya, badai yang lebih besar telah berdiam sejak lama. Malam ini, ia akan membiarkannya berlalu, seperti badai yang akan reda saat pagi tiba.