Rumah Tua
Langit sore mulai beranjak gelap ketika aku dan Bagas berdiri di depan rumah tua itu. Rumah masa kecil kami, yang kini tampak lebih mirip bangunan yang menolak mati. Cat temboknya mengelupas seperti kulit yang terbakar matahari, dan jendela-jendelanya—dulu tempat kami biasa mengintip dunia luar—sekarang hanya lubang gelap tanpa kehidupan.
“Gila, ini masih berdiri aja,” gumamku, menghela napas panjang. Bau kayu lapuk bercampur debu menelusup ke hidung, membawa ingatan yang selama ini berusaha kukubur.
Bagas menepuk pundakku pelan, seakan tahu betapa sulitnya langkah ini bagiku. “Tapi kita udah enggak sama seperti dulu, Dimas.”
Aku ingin percaya. Ingin yakin bahwa aku bukan lagi bocah lemah yang dulu hanya bisa menangis di balik pintu saat ayah mabuk dan ibu menjerit ketakutan. Tapi rasa itu masih ada, menghantui di dasar jiwaku.
Kami masuk ke dalam rumah. Lantai kayu berderak di bawah kaki kami, seolah ingin mengingatkan bahwa rumah ini tidak pernah benar-benar melupakan penghuni lamanya. Ruangan itu masih sama. Sofa usang di ruang tamu, lemari tua yang berdebu, bahkan jam dinding yang dulu selalu berbunyi nyaring setiap jam sekarang hanya menggantung mati.
Bagas melangkah ke sudut ruangan, tangannya menyentuh perapian yang tak pernah ada api di dalamnya. “Masih ingat, kan?” tanyanya tanpa menoleh.
Aku mengangguk pelan. Kami dulu suka duduk di sini, menghangatkan diri dengan kopi hitam yang ibu buat di malam-malam yang terlalu dingin—atau lebih tepatnya, terlalu sunyi. Saat ayah pulang larut dengan langkah sempoyongan dan napas bau alkohol, ibu selalu menyuruh kami tetap di tempat ini, diam dan tidak bersuara.
Aku berjalan lebih dalam ke rumah. Lorong sempit itu masih sama gelapnya. Aku melihat ke arah pintu kamar ayah. Pintu yang dulu selalu tertutup rapat, hanya terbuka saat ia ingin melampiaskan amarahnya.
“Dimas…” suara Bagas mengejutkanku. “Lihat ini.”
Aku berbalik dan melihatnya berdiri di depan pintu dapur, matanya terpaku pada sesuatu di dalam. Aku melangkah mendekat, dan saat itu juga bulu kudukku meremang.
Di sana, di meja kayu tua, ada dua cangkir kopi. Masih mengepul. Dan di sampingnya, sebatang rokok yang terbakar setengah.
“Siapa yang…?” bisikku, tenggorokanku tercekat.
Bagas menggeleng pelan. “Enggak tahu. Tapi kita satu-satunya orang yang masuk ke rumah ini hari ini.”
Darahku berdesir. Aku merasa ada sesuatu yang salah sejak kami tiba, dan kini firasat itu mulai nyata. Seolah rumah ini tidak pernah benar-benar kosong.
Aku menelan ludah dan melangkah mundur. Saat itulah suara langkah terdengar dari atas. Berat, menyeret, seperti seseorang yang baru bangun dari tidur panjang.
Bagas dan aku saling pandang. Tak ada yang perlu dikatakan—kami sama-sama tahu bahwa kami harus keluar dari rumah ini sekarang juga.
Namun sebelum kami sempat bergerak, suara itu berhenti. Tepat di atas kami.
Dan kemudian, perlahan, suara itu turun. Tangga kayu tua yang sudah lama tak disentuh kini berderit seiring langkah yang tak terlihat itu.
Jantungku berdetak semakin kencang. Aku bisa merasakan Bagas menggenggam lenganku erat, seolah itu bisa menghentikan ketakutan yang kini mencekik kami.
Langkah itu terus turun.
Aku ingin berlari. Aku ingin berteriak. Tapi tubuhku membeku di tempat.
Sampai akhirnya, langkah itu mencapai lantai dasar.
Dan di sudut lorong yang remang-remang, berdirilah sosok itu. Tinggi, kurus, dengan mata kosong yang menatap langsung ke arah kami.
“Ayah…”
Bagas mengeluarkan suara tercekat, dan saat aku menoleh padanya, aku menyadari sesuatu yang lebih mengerikan lagi.
Wajah Bagas… mulai berubah. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara, kulitnya menjadi lebih pucat, dan matanya yang hangat kini penuh kehampaan.
Aku ingin berteriak, tapi yang keluar hanya bisikan lirih, “Bagas…?”
Sosok di lorong itu mulai melangkah mendekat, sementara di hadapanku, tubuh Bagas perlahan-lahan menghilang.
Aku sendirian.
Dan rumah ini tidak akan pernah membiarkanku pergi.