Cerita SedihKehidupanTragedi

Akhirnya Aku Bisa Merasakan

Namaku Reza. Aku memiliki saudara kembar bernama Rafi. Dia sempurna dalam segala hal—cerdas, cekatan, dan selalu menjadi kebanggaan keluarga. Sementara aku? Aku hanyalah bayangan samar yang nyaris tak dianggap ada.

Sejak kecil, aku hidup dalam perbandingan yang tak berujung. “Belajarlah seperti Rafi,” kata Ayah. “Rafi bisa, kenapa kamu tidak?” tambah Ibu. Seakan aku bukan anak mereka, hanya beban yang kebetulan lahir bersama Rafi. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini hanya perasaanku, bahwa aku hanya terlalu sensitif. Tapi semakin aku tumbuh, semakin aku menyadari bahwa memang ada jurang besar antara aku dan kasih sayang mereka.

Setiap kali aku melewati tetangga, aku mendengar bisikan mereka. “Rafi pintar sekali, sayang kakaknya biasa saja,” atau “Kenapa Reza tidak seperti adiknya?” Aku hanya bisa menunduk, mengepalkan tangan, dan menahan air mata.

Lalu suatu hari, musibah itu datang. Saat praktik di sekolah, cairan kimia mengenai mata Rafi. Aku masih ingat jeritannya, tangannya meraba-raba udara, panik. Aku ikut mengantarnya ke rumah sakit, namun begitu kami tiba, aku tersingkir ke belakang. Orang tua kami datang tergesa-gesa, memeluk Rafi dengan air mata bercucuran. Aku? Mereka bahkan tidak bertanya apakah aku baik-baik saja.

Kemudian aku mendengar percakapan yang menghancurkan hidupku. Dokter berkata mata Rafi tak bisa diselamatkan, tapi ada satu cara: transplantasi. Mata yang baru bisa mengembalikan penglihatannya. Aku mengira orang tuaku akan mencari donor, mengiklankan permintaan mereka di mana-mana. Tapi ternyata, tanpa ragu sedikit pun, mereka memutuskan aku yang harus memberikannya.

Jantungku seperti berhenti berdetak. Jadi, bagiku mereka tak butuh aku bisa melihat, tak butuh aku punya masa depan? Aku hanya alat, hanya pelengkap bagi Rafi, hanya sebuah cadangan.

Malam sebelum operasi, aku duduk di kamar gelapku. Aku ingin menangis, tapi aku takut. Jika aku menangis sekarang, bagaimana nanti jika aku buta? Bagaimana jika ini tangisan terakhir yang bisa kusaksikan dalam hidupku? Aku menatap langit-langit, berusaha menghafal setiap lekukan dan bayangan.

Besoknya, operasi berjalan lancar. Setidaknya bagi Rafi. Bagiku, semua berakhir di ruang operasi itu. Saat aku sadar, segalanya gelap. Dunia yang dulu kejam kini benar-benar meninggalkanku dalam kegelapan yang abadi. Aku mendengar suara orang-orang. Ibu menangis—bukan untukku, tapi untuk Rafi, karena dia takut operasi tidak berhasil.

Hari-hari setelahnya lebih menyakitkan. Aku tak bisa lagi menatap matahari, tak bisa lagi melihat langit biru yang dulu sering kujadikan tempat melarikan diri. Tapi yang lebih menyakitkan adalah perlakuan mereka. Aku berharap setidaknya setelah kehilangan mataku, aku akan dianggap lebih berharga. Tapi tidak.

Mereka tetap sama.

Hanya Rafi yang mereka banggakan. “Syukurlah, Rafi bisa melihat lagi,” kata mereka. Tidak ada yang bertanya bagaimana perasaanku. Aku seperti lenyap dari dunia ini.

Akhirnya, aku memutuskan pergi. Aku tidak ingin menjadi bayangan di rumahku sendiri. Sebelum pergi, aku menulis surat untuk Rafi:

“Dik, akhirnya aku bisa merasakan. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, selalu dipuji, dipandang baik dan sempurna oleh seluruh orang. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, walau hanya sekedar kedua bola mataku.”

Aku melipat kertas itu dan meletakkannya di tempat tidur Rafi. Lalu, aku melangkah pergi, meninggalkan dunia yang tak pernah benar-benar melihatku.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock