Anakku Yang manis, Suci dan Murni
Lantunan nada lembut mengalun dalam kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu meja. Seorang wanita tua, dengan rambut beruban dan wajah yang penuh guratan waktu, mengayun pelan kursi goyangnya. Dalam pelukannya, seorang bayi tertidur pulas, wajahnya tampak damai di bawah cahaya remang.
“Anakku yang manis, suci dan murni…”
Wanita itu berbisik pelan, hampir seperti nyanyian. Tangannya yang penuh keriput mengelus lembut dahi si kecil sebelum perlahan meletakkannya dalam ranjang bayi yang telah usang dimakan waktu. Ia tersenyum, mengingat anak-anaknya yang lain. Tapi kemudian, dahinya berkerut. Matanya menatap sekitar kamar, seolah-olah mencari sesuatu yang hilang.
Dengan langkah pelan, ia beranjak keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Di atas meja kayu tua, sebuah album foto tergeletak, halaman-halamannya berdebu. Ia membuka lembar demi lembar, memperhatikan foto-foto yang mulai menguning. Wajah-wajah kecil yang tersenyum, tawa riang anak-anaknya di berbagai momen bahagia. Richard, Ana, Emma, dan Donald. Ia berhenti. Matanya menatap kosong.
Di mana mereka?
Pikiran itu berputar di kepalanya, menciptakan ketakutan yang tiba-tiba menghantam jiwanya. Jantungnya berdebar lebih cepat saat ia membalik halaman terakhir album. Foto itu menampilkan dua polisi berdiri di depan rumahnya, dengan sebuah sosok perempuan yang wajahnya begitu familiar. Perempuan itu berdarah, dengan tangan terborgol dan penuh kemarahan. Di kaki para polisi, beberapa kantong mayat berjajar.
Wanita itu terhuyung mundur, nafasnya terengah-engah. Dengan tangan gemetar, ia meraih meja, berusaha menopang dirinya.
“Tidak… Itu bukan aku… Itu bukan aku…” bibirnya bergetar.
Tiba-tiba, suara dari kamar bayi menarik perhatiannya. Suara tangisan yang berubah menjadi teriakan memilukan. Dengan panik, ia berlari kembali ke kamar. Ranjang bayi itu kini kosong. Yang tersisa hanya selimut lusuh dengan noda merah kehitaman.
Tangan wanita itu bergetar saat ia melihat ke lantai. Di sana, sesuatu yang mengerikan menatapnya. Sesosok tubuh kecil, kulitnya membusuk dengan mata yang melotot. Bau busuk menyengat, membuatnya hampir muntah.
“Tidak… ini tidak mungkin…”
Ia melangkah mundur, namun matanya menangkap bayangan lain di cermin besar yang tergantung di kamar. Wajahnya sendiri. Tapi wajah itu bukan miliknya. Mata penuh kebencian, mulut menyeringai seperti iblis yang baru saja menyelesaikan pesta darah.
Kemudian, suara-suara bergema di kepalanya. Jeritan anak-anaknya. Ketakutan, tangisan, dan panggilan mereka yang terakhir kali.
Pikiran-pikiran itu kembali padanya seperti hantaman palu yang tak kenal ampun.
Ia melihat dirinya sendiri, di masa lalu.
Tangan yang memegang erat leher mungil bayi Richard, wajahnya merah penuh ketakutan, dan tangisan terakhir yang teredam. Ia melihat dirinya berjalan ke dapur, mengambil pisau tajam dari laci, dan mendekati anak-anaknya yang sedang menonton kartun di ruang tamu.
Ana yang pertama. Gadis kecil itu menangis ketakutan saat ibunya menikamnya bertubi-tubi. Darah menyembur di lantai, dinding, bahkan wajahnya sendiri. Emma mencoba berlari, tapi tangan kuat sang ibu menangkap rambutnya, menariknya kembali, dan menancapkan pisau ke dadanya tanpa ragu. Donald mencoba melawan, tapi kekuatan kecilnya tidak bisa menyelamatkannya. Dengan teriakan terakhir, tubuhnya terkulai di lantai, bergabung dengan saudara-saudaranya dalam genangan merah pekat.
Wanita itu kembali ke kenyataan. Nafasnya tersengal-sengal, matanya terus mencari jalan keluar dari horor yang ia ciptakan sendiri.
Tangannya yang penuh darah menggapai dinding, berusaha menyangga tubuhnya yang lemas. Dalam keterpurukan, ia tersadar bahwa ia telah membunuh mereka semua.
Dan lebih buruk lagi… mereka tidak pernah pergi.
Suara langkah kaki kecil bergema di lorong rumah. Tawa anak-anaknya yang dulu hangat kini terdengar seperti jeritan dari neraka. Sosok-sosok kecil dengan wajah rusak dan mata berlubang muncul dari bayang-bayang, berjalan mendekatinya.
“Mama… kenapa membunuh kami, Mama?”
Wanita itu menjerit. Ia merangkak ke belakang, punggungnya menghantam dinding.
“Aku tidak… aku tidak ingat… aku tidak mau ingat…”
Namun anak-anak itu terus mendekat. Tangan mereka yang pucat menjulur ke arahnya, menyentuh kulitnya, dingin seperti es. Bayangan di cermin memperlihatkan kenyataan yang lebih mengerikan. Wanita itu tidak lagi hidup. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan bibirnya berwarna ungu kebiruan. Tubuhnya terbaring di lantai dapur dengan pistol di tangan, lubang peluru menghiasi pelipisnya.
Sebenarnya ia tidak pernah pergi dari rumah ini.
Wanita itu menjerit sekuat tenaga, tapi suaranya tak pernah terdengar. Rumah tua itu tetap sunyi, menyimpan rahasia kelam yang tak akan pernah terhapus waktu.