Jangan Pergi ke Hutan…
Ibu, kenapa kita tidak boleh masuk ke hutan?” seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun bertanya dengan suara penuh rasa ingin tahu saat ia naik ke tempat tidurnya. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, matanya yang hijau zamrud menatap ibunya dengan penuh harap.
Sang ibu tersenyum kecil, membantunya berbaring dengan nyaman. Cahaya bulan menyelinap melalui jendela, menciptakan bayangan lembut di dalam kamar.
“Hutan itu berbahaya,” jawab sang ibu, suaranya datar namun mengandung ketegasan. “Di sana tersembunyi kejahatan yang mengintai manusia.”
Mata anak itu berkedip, kebingungan.
“Mereka disebut Naaki,” lanjut ibunya.
“Na-di?” ulangnya dengan suara kecil, membuat sang ibu terkekeh.
“Naa-ki,” ibunya mengejanya perlahan. “Mereka adalah roh air yang tinggal di danau di tengah hutan. Wujud mereka indah dan ramah, tetapi itu hanya tipu muslihat. Mereka bisa berubah bentuk, menyesuaikan diri dengan apa yang paling ingin kamu lihat. Saat kamu lengah, mereka akan meraihmu, menyeretmu ke dalam air, dan kau tidak akan pernah bisa keluar lagi.”
Mata anak itu membesar. “Tidak pernah keluar lagi?”
“Tidak pernah.” Suara ibunya berbisik. “Mereka tidak akan melepaskanmu… karena setelah mereka menangkapmu, mereka akan memakanmu.”
Bibir kecil itu bergetar ketakutan.
“Berjanjilah, Aleksi. Jangan pernah masuk ke dalam hutan,” pinta ibunya dengan suara yang bergetar. Sorot matanya mencerminkan ketakutan yang nyata.
Aleksi menelan ludah. “Aku berjanji.”
Ibunya mengecup keningnya lembut sebelum memadamkan lampu.
Legenda tentang Naaki sudah ada selama ratusan tahun di Eldmere, Finlandia. Ibu-ibu di desa selalu memperingatkan anak-anak mereka, “Jangan pernah masuk ke hutan, atau Näkki akan membawamu selamanya.” Sebagai anak-anak, kami mempercayainya dengan ketakutan yang naif. Namun seiring bertambahnya usia, kami menganggapnya sekadar cerita untuk menakuti kami agar tetap patuh.
Dan kami berhenti percaya.
“Aleksi, Garreth dan Maki sudah menunggu di depan,” suara ibuku memanggil dari ruang tamu.
Aku buru-buru memasukkan potongan terakhir roti manis itu ke dalam mulutku, menjilat jari yang masih lengket dengan gula manis, lalu mengambil tasku sebelum berjalan menuju pintu. Dua temanku sudah berdiri di luar, menungguku di bawah anak tangga.
“Aku pergi dulu, Ibu!” Aku melambai, bersiap melangkah keluar.
Namun sebelum aku sempat melewati ambang pintu, tangan ibuku mencengkeram lenganku erat.
“Aleksi.”
Aku menghela nafas, sudah tahu apa yang akan dia katakan. Dari ekor mataku, aku bisa melihat Garreth dan Maki menundukkan kepala, menunggu dengan sabar di ujung jalan.
“Bersenang-senanglah,” ujar ibuku pelan. Jemarinya mencengkeramku lebih erat. “Dan tolong, jangan masuk ke hutan.”
Aku mengembuskan napas. “Aku tahu, Bu.”
“Aku hanya ingin kau selamat.”
Aku mengangguk. “Aku berjanji.”
Tatapan matanya mencari-cari sesuatu dalam sorot mataku sebelum akhirnya ia mengangguk. “Baiklah. Hati-hati.”
Aku mengecup pipinya sebelum berlari menemui teman-temanku.
“Siap?” Garreth tersenyum lebar, matanya yang coklat berkilat antusias.
Aku melirik Maki, yang hanya mengangkat bahu.
“Kenapa kau bersemangat sekali?” tanyaku.
“Malam ini kita akan melihat hujan meteor! Sesuatu yang lebih menarik daripada gosip murahan tentang Bu Lahti yang ketahuan berselingkuh dengan tukang pos!” jawabnya penuh semangat.
Aku terkekeh, berjalan bersama mereka melewati jalanan desa yang mulai lengang. Orang-orang sibuk merapikan kios mereka, bersiap pulang. Matahari yang terbenam melukis langit dengan warna oranye dan ungu yang lembut.
Kami tiba di tepi sungai, tempat api unggun telah dinyalakan. Musik mengalun, suara tawa dan obrolan memenuhi udara.
Ketika cahaya pertama meteor melesat di langit, semua orang bersorak kagum. Tapi kegembiraanku seketika lenyap saat Garreth menarik lenganku.
“Bukankah itu Ayn… dengan Kalle?” katanya, menunjuk ke arah sungai.
Aku mengikuti arah jarinya. Ayn, adik Maki, berdiri di tepian air bersama Kalle—anak laki-laki yang selalu membawa masalah.
“Mereka menuju ke hutan,” bisikku.
“AYN!” teriak Maki, berlari tanpa pikir panjang.
Kami menyusulnya, tapi saat mencapai bibir hutan, mereka sudah menghilang di antara pepohonan.
“Aku harus menyusulnya,” Maki berkata dengan rahang mengatup rapat.
“Kamu serius?” Garreth bersuara. “Kamu tahu apa kata ibu kita tentang hutan ini.”
Aku menatapnya. “Itu hanya mitos, Garreth. Kita akan baik-baik saja.”
Garreth masih ragu, tapi akhirnya mengangguk. Kami bertiga melangkah masuk ke dalam kegelapan hutan.
Pepohonan berdiri tinggi seperti raksasa, bayangan mereka bergerak mengancam. Cahaya bulan yang tersaring melalui daun-daun menambah kesan menyeramkan. Suasana begitu sunyi hingga hanya ada suara daun kering yang remuk di bawah kaki kami.
Kemudian, terdengar suara.
Jeritan.
Suara itu menggema di antara pepohonan, merobek kesunyian malam.
“AYN!” Maki berteriak putus asa.
Sebuah bayangan tiba-tiba muncul dari kegelapan, menabrak Garreth hingga ia jatuh tersungkur.
Aku menyorotkan senter ke arahnya. Ayn. Tubuhnya gemetar hebat, pakaiannya sobek dan berlumuran lumpur serta darah. Luka gigitan yang dalam menganga di bahunya.
“Mereka nyata… Naaki itu nyata…” ucapnya terengah-engah.
Aku ingin menyangkal. Tapi jeritan mengerikan kembali terdengar—lebih dekat kali ini.
Lalu aku melihatnya.
Sosok perempuan dengan rambut putih panjang menjuntai, kulitnya pucat kehijauan, matanya penuh darah. Bibirnya melengkung dengan senyum mengerikan, taringnya berkilat di bawah cahaya bulan.
Sebelum aku sempat berpikir, makhluk itu menerjang.
Kami berlari. Napasku memburu, dahiku berkeringat dingin. Tapi aku tahu, kami tak akan bisa lari selamanya.
Sesuatu menyergapku dari samping, menjatuhkanku ke tanah. Cakar tajam mencengkeram leherku. Aku mencoba melawan, tapi kekuatannya di luar nalar manusia.
Aku melihat kematian dari matanya.
Lalu, sesuatu menembus tubuhnya—anak panah. Disusul beberapa lagi, hingga makhluk itu menjerit kesakitan dan jatuh.
Sebelum kesadaranku menghilang, aku melihatnya. Mata hijau zamrud yang familiar.
“Ibu…?” ucapku lirih.
“Aku sudah memperingatkanmu, Nak…” air matanya jatuh di wajahku.
Lalu, segalanya menjadi gelap.