FantasiRomansa

Warna Shopie

Sophie memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di sebuah rumah kecil di pegunungan. Keluarganya menganggap keputusan itu gila, namun justru karena itulah ia yakin pilihannya benar.

Membeli rumah itu ternyata tidak semahal yang ia kira. Tantangan sebenarnya datang setelahnya: mencari bahan makanan, memperbaiki bagian yang rusak, dan belajar membuat roti. Butuh beberapa kali percobaan gagal, ada yang adonannya bantat, ada yang gosong. Tapi ketika akhirnya ia berhasil memanggang roti yang sempurna, ia berdiri di depan jendela dan berteriak ke arah angin,

“Aku wanita tua yang bebas!”

Setiap beberapa hari sekali, ia turun ke desa untuk belanja kebutuhan dan kembali membawa barang-barang kecil yang menarik hatinya, cangkir teh berwarna-warni, taplak meja bermotif bunga, atau hiasan kayu yang tidak berguna tapi enak dipandang. Ia mengisi dapurnya dengan bahan makanan segar, memasak sup hangat, dan menikmati setiap pagi dengan segelas teh dari bak mandi yang menghadap jendela besar.

Lalu ia mulai melukis.

Sebenarnya, inilah alasan utama ia pindah ke sini. Ia telah mengumpulkan berbagai warna cat yang ia inginkan, dan kini warna-warna itu harus dituangkan ke kanvas. Ia menyiapkan kanvas pertamanya, menyusun cat di atas meja, lalu membiarkan warna-warna langit hari itu menjadi panduan. Berjam-jam ia melukis dalam keheningan, ditemani hanya oleh warna-warna, dan rasanya… persis seperti yang ia harapkan.

Tetangganya hanya satu, seorang pria tua bernama Pak Halim, atau biasa dipanggil Pak Hal. Rambutnya sudah memutih, suaranya berat, dan ia hanya bicara seperlunya. Cocok bagi Sophie, karena ia pindah ke sini bukan untuk mencari teman.

“Ada mata air di sebelah rumah saya,” kata Pak Hal saat pertama kali bertemu. “Dulu pemilik rumah ini ada kesepakatan sama saya, saya bawakan air setiap dua hari. Mau lanjut?”

Tentu saja Sophie mau. Air dari mata air pasti lebih segar dibanding air keran yang harus ia rebus dulu sebelum bisa diminum.

“Saya bukan penyewa,” kata Sophie. “Saya pemiliknya.”

Pak Hal melirik rumah itu yang penuh dengan perbaikan setengah jadi, lalu menatap Sophie yang hanya mengenakan daster dengan rambut disanggul asal. Ia menghela napas.

“Menurut saya, kamu hanya akan betah dua minggu di sini.”

Namun, dua minggu berlalu, dan Sophie tetap di sana. Saat Pak Hal datang membawa air, ia mendengar Sophie sedang berbicara di telepon.

“Iya, aku dengar kalian, tapi intinya, kalian nggak perlu tahu aku di mana.”

Sophie mendengar keluhan dari beberapa orang di ujung telepon.

“Aku tahu kalian ingin berkunjung, tapi aku nggak mau dikunjungi,” katanya sebelum menutup telepon.

Jendelanya terbuka lebar, dan ia tahu Pak Hal pasti mendengar semuanya. Tapi pria itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya meletakkan air di meja dapur dan mengamati pipa yang sedang Sophie coba perbaiki sendiri.

“Pipanya kebalik,” komentarnya.

Ia mengambil salah satu pipa cadangan di meja, lalu membaliknya.

“Seharusnya begini.”

Sophie menghela napas. Ia sudah mencoba berbagai cara, kecuali yang satu itu.

“Mau makan sup?” tawarnya. “Sama roti?”

“Kamu bisa bikin roti?” tanya Pak Hal, tampak terkejut. Tapi kemudian ia buru-buru memasang wajah datarnya lagi.

Sophie tersenyum dan mengiris roti untuk mereka berdua, lalu menuangkan sup ke dalam mangkuk.

Saat Pak Hal duduk di seberangnya, matanya menyapu seluruh ruangan. Hari itu adalah “hari merah” bagi Sophie. Cangkir tehnya merah, teko dengan gambar stroberi, daster yang ia kenakan merah, begitu juga bantal dan selimut di sofa.

Pak Hal menaikkan alis.

“Kenapa merah semua?”

Sophie tertawa. “Hari ini rasanya merah.”

“Besok warna apa?” tanyanya.

“Aku biarkan matahari yang menentukan,” jawab Sophie.

Pak Hal menghela napas. “Bebas banget, ya?” gumamnya sebelum menyeruput sup.


Hari-hari berlalu, dan rumah Sophie mulai penuh dengan lukisan. Ia melukis segalanya, cangkir teh, langit senja, bunga liar di halaman, roti yang baru matang. Pak Hal sering mampir untuk makan siang, kadang membaca koran di sudut sementara Sophie melukis.

Suatu hari, ia mengenakan baju hijau tepat di “hari hijau”, lalu tertawa kecil.

“Lihat, hari ini aku ikut tema!”

Lama-lama, Sophie sadar bahwa ia telah memiliki seorang teman.

Tapi hidupnya yang damai berubah ketika suatu hari ia membawa beberapa lukisan ke desa. Ternyata, orang-orang sangat menyukainya. Ia pulang dengan tangan kosong, semangat sekali ingin bercerita pada Pak Hal.

Namun, keesokan harinya, seorang wanita dari desa bernama Bu Lusi datang tergopoh-gopoh sambil membawa salah satu lukisan Sophie, lukisan cangkir teh.

“Perhatikan ini!” katanya.

Lalu, ia memasukkan tangannya ke dalam lukisan dan menarik keluar secangkir teh sungguhan, masih mengepul hangat. Ia menyeruputnya.

“Enak! Lukisanmu seperti magic!”

Sophie ternganga. Ia selalu suka gagasan tentang magic, tapi tidak pernah menyangka bisa melihatnya sendiri.

Sejak itu, orang-orang desa mulai berbondong-bondong meminta lukisan: pantai, pemandangan sawah, kue bolu lapis, perhiasan. Sophie melukis tanpa henti, sampai akhirnya ia kelelahan.

“Kamu bisa istirahat, Sophie,” kata Pak Hal suatu hari. “Jangan sampai kamu kehilangan kebahagiaanmu sendiri.”

Sophie mulai lupa memilih warna untuk harinya. Roti buatannya gosong, supnya keasinan. Ia duduk di meja, menatap uang yang ia kumpulkan dari menjual lukisan-lukisannya.

“Kamu mulai menghitung uangmu, ya?” komentar Pak Hal. “Apa sekarang kamu mau pindah dan jadi seniman terkenal?”

Sophie menatapnya dengan heran. “Nggak. Aku cuma kepikiran buat betulin pipa sama jendela besar itu.”

Pak Hal tampak terkejut. “Serius?”

“Kenapa? Kamu bakal kangen aku?” godanya.

Pak Hal berdeham. “Saya nggak bilang begitu.”

Tapi Sophie tahu.


Keesokan harinya, setelah menyelesaikan semua pesanan, Sophie memberikan sebuah lukisan kepada Pak Hal.

“Ini untukmu,” katanya.

Pak Hal menatapnya curiga. “Kenapa ngasih saya?”

“Karena aku mau.”

Ia mengangkat lukisan itu. Pak Hal menatapnya lama.

“Sophie… ini kosong.”

“Tidak.”

“Nggak ada warnanya.”

“Aku ingin kamu menggantungnya di rumah.”

Pak Hal mengerutkan dahi, tapi akhirnya membawa lukisan itu pulang.

Beberapa saat kemudian, kanvas di rumah Sophie mulai berubah. Tiba-tiba, wajah Pak Hal muncul di sana, seolah ada pintu yang terbuka antara rumah mereka.

Sophie tersenyum lebar.

“Kamu nggak bercand…” Pak Hal ternganga.

“Aku serius,” jawab Sophie.

Pak Hal tersenyum, senyum yang tak bisa disembunyikan oleh kumis dan janggutnya. Ia melangkah masuk ke dalam lukisan.

Dan untuk pertama kalinya, warna-warna Sophie bertemu dengan warna Pak Hal.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock