Cerita Sedih

Tidak Hari Ini

Ya Allah… ini aku. Tolong kuatkan aku hari ini. Bantu aku mempersiapkan hatinya. Dan… kalau bisa, turunkan sedikit saja cahaya matahari.

Tapi justru langit hitam pekat. Hujan turun deras. Aroma tanah basah bercampur udara dingin memenuhi hidungku. Angin kencang menampar wajahku. Harusnya aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk keluar. Harusnya aku paham ketika melihat menara masjid di ujung jalan tertutup awan kelabu. Tapi dia memohon, dan aku tak sanggup menolak. Tidak hari ini.

Aku mencoba membuka payung, tapi angin langsung merampasnya dan melemparkannya ke pagar taman bermain. Aku bangkit dari bangku. Anak-anak yang lebih besar menjerit lalu berlarian ke bawah pohon beringin besar untuk berteduh.

Evie tidak ikut berlari. Dia malah berjalan pelan menuju payung yang tergeletak, hujan membasahi keningnya yang berkerut. Dia menunjuk. “Rusak.”

Benar. Payung itu sudah tak berbentuk: rangkanya patah, gagangnya bengkok, hujan menghantam kainnya yang merah. Dia memandangnya lama, seolah baru tahu kalau langit bisa menangis, atau bahwa ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki.

Hujan membasuh wajahnya saat dia menunjuk ke langit.

“Tik tik… tik tik tik!”

Dia jarang menyebut benda dengan nama asli. Semua ia panggil dari bunyinya. Burung pun begitu, dia selalu bilang “cip cip” meski aku sendiri sering lupa burung-burung itu ada di atas sana, melintas di antara ranting.

Tapi ada satu nama yang dia sebut dengan jelas.

“Mama, Aisyah?” tanyanya.

Mereka berdua selalu berbagi segalanya: permen, tawa, bahkan air minum dari botol yang sama. Sama-sama tak suka suara knalpot bising, tapi suka melihat burung, awan, dan mendengar denting lonceng angin di teras rumah Aisyah.

Aku menggenggam tangan mungilnya dan menarik napas panjang yang terasa menusuk dada.

“Aisyah…” aku terhenti. “Tidak hari ini. Lagi hujan.”

Evie mengangkat tangannya, seolah ingin memastikan, padahal hujan sudah membasahi pipinya.

“Tik tik,” katanya datar.

Kami berjalan melewati pintu gerbang taman yang berkarat, hujan menusuk kulit.

“Mama, main sama Aisyah?” suaranya memelas.

“Tidak.”

Kami berjalan menyusuri jalan kampung yang licin. Lewat masjid tua berdinding bata, suara adzan dzuhur baru saja usai. Masjid itu dulu jadi pusat keramaian. Sekarang lebih sering sepi.

Kami melewati kolam renang umum. Hujan memercik di permukaannya yang tenang. Bau kaporit menusuk hidung ketika Evie memasukkan tangannya lewat sela pagar besi.

“Mama, kolam?”

Aku menggenggam tangannya erat. “Tidak. Ayo pulang.”

“Mama, kolam!”

Ya Allah… aku tahu Engkau tidak serta merta mengabulkan doa hanya karena aku memintanya, tapi aku tetap memohon sekuat tenaga sekarang.

Seekor kucing hitam dengan mata kuning besar tiba-tiba melintas cepat di depan kami.

Evie menunjuk. “Meoow,” ucapnya pelan. Kucing itu melompati pagar, berlari melewati kolam, lalu menghilang di balik gudang. Evie ternganga seperti baru melihat sesuatu yang paling luar biasa.

Dia menoleh padaku, matanya membesar. “Cepat!”

Aku terdiam. Aisyah sangat suka kucing. Beberapa bulan lalu, dia pernah mengejar seekor kucing di lapangan desa bersama Evie. Mereka saling bertubrukan, tertawa lalu menangis bergantian. Saat kucing itu lolos, mereka malah bermain dengan daun-daun mangga kering, melemparkannya ke udara sambil tertawa.

Beberapa minggu lalu, mereka duduk berdampingan di teras rumahku, makan biskuit sambil berbagi minum dari gelas yang sama. Aisyah selalu berbagi, bahkan untuk potongan biskuit yang paling dia suka.

Itu cuma hari Jumat biasa. Sekarang kenangannya melekat kuat, seperti jas hujan kami yang basah kuyup.

Evie kembali menunjuk ke kolam.

“Renang?”

Napas ku terhenti. “Tidak.”

Mencintai Evie kadang terasa berat. Aku harus mengikhlaskan kenangan dirinya bersama Aisyah, sambil tetap mencintai dirinya yang sekarang. Semua itu terjadi bersamaan, berulang-ulang. Tahun lalu dia masih jatuh bangun belajar berlari.

Sekarang dia ingin berenang, bertanya tentang dunia, dan haus akan jawabanku. Memohon waktuku, meminta aku menjelaskan hal-hal yang sering kulupakan betapa indahnya ciptaan Allah.

Mataku tertuju pada permukaan air yang diam. Sunyi. Rasa takut membengkak di dada seperti ombak yang siap menyeretku ke dalam.

Ya Allah… kenapa? Aku hanya ingin melindunginya dari kesedihan, dari hidup yang akan mengikis rasa syukurnya. Aku ingin dia selalu melihat-Mu di setiap hal. Seperti dulu aku melihat-Mu.

“Mama, Aisyah?!”

“Tidak.”

Beberapa rumah lagi, hampir sampai. Tapi Evie berhenti di depan pot bunga milik tetangga, bunga lili putih tumbuh menembus tanah.

Aisyah dulu selalu memetik bunga lalu membagikannya pada siapa saja.

Evie menunjuk bunga itu. “Aisyah?”

Aku memalingkan wajah. Aku tidak sanggup mengatakan bahwa Aisyah ditemukan di dasar kolam, tersangkut di saluran air. Atau bagaimana ibunya menjerit ketika ayahnya meneleponku memberi kabar. Atau bagaimana aku berdoa semalaman, memohon agar Allah mengembalikan napasnya.

Evie menatapku, kepalanya miring, matanya seakan mengerti.

Aku harus mengatakan yang sebenarnya. Sekarang. Sebelum terlambat.

Tapi matanya bening, seperti langit cerah.

“Main sama Aisyah?” tanyanya lagi, tangannya menyilang di dada.

“Tidak,” jawabku. “Tidak hari ini.”

Aku tidak menjelaskan lebih. Aku mengangguk ke arah rumah, dan Evie berjalan di sampingku. Dia melompati genangan air sambil tertawa. Allah belum mengembalikan matahari yang tertutup mendung, tapi tawanya cukup menghangatkanku.

Hujan semakin deras saat kami melepaskan jaket basah dan menaruh sandal di teras. Andai saja hujan ini bisa membersihkan semua rasa sakit. Aku butuh Dia memelukku, menenangkan hatiku. Tapi luka itu tetap ada.

Marah.

Ragu.

Bingung.

Kenapa Evie belum masuk?

Dia menunggu, menatapku.

Ini waktunya. Mulutku terbuka, tapi kata-kata tak keluar. Aku akan memberitahunya… besok.

Mungkin besok……

Karena hari ini dia masih punya Aisyah, masih suka mengejar kucing itu, masih memanggil hujan dengan bunyi. Tanpa air mata. Tanpa tangis yang membuatnya terengah-engah. Aku butuh Evie yang ini… satu hari lagi.

Dia berdiri di sana, basah kuyup, wajahnya menengadah ke langit. Dan aku berkata pelan:

“Tik tik.”

Evie tersenyum. Dia membuka mulut dan mengangkat tangan, menangkap hujan di jemari mungilnya.

Matahari belum kembali, tapi dia masih ada. Untuk saat ini.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock