Cerita SedihKehidupanTragedi

Nyanyian Terakhir Nara

Namaku Nara. Aku menderita kanker mulut stadium akhir. Dokter mengatakan waktu hidupku tidak lama lagi. Penyakit ini merampas suaraku, membuat setiap kata yang keluar dari bibirku terasa seperti sembilu mengoyak daging.

Namun, aku tetap bernyanyi. “La. La. La. Laaa.” Langkahku ringan menembus malam. Kaki kecilku menyapu debu trotoar, seolah-olah aku masih memiliki dunia untuk kunikmati.

“Na. Na. Na. Naaa.” Aku terus bernyanyi. Siapa sangka? Aku hanya seorang anak jalanan berumur dua belas tahun. Tidak sekolah, hanya mengamen untuk menghidupi adikku, Raka.

Sejak ayah meninggal dan ibu pergi bersama pria lain, kami berdua terpaksa meninggalkan rumah. Aku tak mau mengajarkan Raka membenci kenangan, tapi aku juga tak punya pilihan. Kami tidak bisa bertahan di tempat yang menolak keberadaan kami.

Kami menyusuri jalanan kota, tanpa tujuan pasti. Hanya membawa buku pelajaran Raka dan lampu petromaks. Tuhan menuntun langkah kami ke sebuah toko tua di gang sepi, tempat yang jarang dilewati orang. Itu menjadi rumah kami. Jarak ke sekolah Raka memang jauh, tapi aku yakin keteguhan hatinya jauh lebih panjang dari langkah kakinya.

Saat malam menjemput, aku keluar mencari rezeki. Aku tidak meminta belas kasihan. Aku berusaha. Dengan kaus lusuh, sandal jepit yang pernah putus dan kini tertambal paku, aku berdiri di persimpangan jalan, menggenggam kaleng kecil untuk recehan.

Suara deru kendaraan membelah malam. Aku bernyanyi, mendekati jendela-jendela mobil. Suaraku terdengar sumbang, patah-patah. Namun aku tetap bernyanyi. Hingga di suatu momen, aku melihat wajah yang tak asing di balik kaca mobil.

Ibu.

Darahku membeku. Aku terguncang, kaleng dalam genggamanku terjatuh. Ibu buru-buru menutup jendela, seolah tak mengenalku. Air mata menggenang di mataku, tapi aku segera menghapusnya. Aku harus kuat. Aku harus berpura-pura ini bukan apa-apa. Aku harus bertahan demi Raka.

Waktu berlalu, kalengku tetap kosong. Perutku perih, lidahku kering, dan kakiku gemetar. Aku menyerah, melangkah pulang melewati trotoar yang dipenuhi bayangan malam. Di sebuah sudut, seorang wanita berdiri, menghisap rokok dengan tatapan kosong. Aku duduk di sebelahnya, tidak berharap banyak.

Namun tiba-tiba, suara gemerincing memenuhi kalengku. Aku menoleh, wanita itu tersenyum, lalu pergi. Aku terdiam, bibirku bergetar, ingin mengucapkan terima kasih, tapi tak bisa. Aku hanya bisa menunduk memberi hormat, lalu berlari ke warung untuk membeli roti dan air untuk Raka.

Dalam perjalanan pulang, aku merasa diawasi. Langkahku terhenti, menoleh ke belakang. Hening. Tak ada siapa pun. Dengan jantung berdegup kencang, aku berlari sekencang mungkin ke toko tua kami.

Saat tiba, Raka menyambutku dengan senyum cerah. “Kak, aku terpilih jadi peserta cerdas cermat di sekolah! Kakak harus datang, ya?”

Aku mengangguk lemah. “Aku pasti datang,” bisikku dalam hati, meski aku ragu apakah esok aku masih hidup.

Aku memberinya roti, melihatnya membaginya menjadi dua dan memberiku setengahnya. Aku tersenyum, walau tahu aku tak bisa memakannya dengan mulut yang terus membusuk ini. Aku membakar ujung rotiku, menggunakannya untuk menulis di dinding:

“Kenapa kamu tidak menangis melihat keadaanku?”

Raka membaca tulisan itu, lalu menatapku dengan mata penuh keyakinan. “Tangisan itu untuk orang mati, Kak. Kakak masih hidup.”

Air mataku akhirnya jatuh. Aku ingin berkata sesuatu, tapi tubuhku melemah. Energi terakhirku tersedot keluar. Aku bersandar pada Raka, merasakan kehangatannya untuk terakhir kali.

Gelap. Sunyi. Aku merasa melayang.


Namun, saat fajar menyingsing, aku terbangun. Cahaya matahari menyusup melalui celah jendela. Aku tersentak. Aku masih hidup.

Aku ingat cerdas cermat Raka. Dengan sisa tenaga, aku pergi ke sekolahnya. Saat aku sampai, pertarungan sengit tengah berlangsung. Skor 70-70. Pertanyaan terakhir dilemparkan:

“Bagaimana batu baterai dan foil bisa mengalirkan energi panas?”

Raka berdiri, menjawab dengan lantang, “Ketika batu baterai positif dan negatif dihubungkan dengan foil, arus listrik mengalir dan menghasilkan panas.”

Skor berubah menjadi 80-70. Penonton bersorak. Aku tersenyum, bangga melihat adikku memenangkan perlombaan. Dia berjalan ke lapangan, menatap langit senja dengan air mata berlinang.

Aku menghampirinya, ingin berkata betapa bangganya aku. Namun, langkahku terhenti saat melihat ke mana dia berdiri.

Di hadapannya, sebuah nisan bertuliskan namaku: Nara.

Aku tertegun.

Aku bukan lagi bagian dari dunia ini.

Raka berlutut di depan nisanku, menggenggam medali kemenangannya erat-erat. Bibirnya bergetar, matanya penuh air mata yang tak jatuh.

“Kak, aku menang… Aku menang, Kak… Kenapa Kakak nggak ada di sini? Kenapa Kakak nggak menepati janji?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

Aku ingin menjawab. Aku ingin memeluknya. Aku ingin menyeka air matanya.

Tapi aku tak bisa.

Aku hanya bisa berdiri di sisinya, menjadi bayangan yang tak terlihat. Menjaga dari kejauhan.

Meski aku telah pergi, aku tahu Raka akan bertahan. Ia akan melawan dunia, sekeras apa pun. Dan aku akan selalu ada di sisinya, meski tak lagi bisa memeluknya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock