Pelupa yang Saling Memahami
Tua, tapi belum sepenuhnya. Muda, tapi juga tidak lagi. Usianya kira-kira 47 tahun. Meski begitu, ia tetap menjadi sosok panutan bagi tiga temannya yang jauh lebih muda. Tak pernah mengeluh, dan hampir tak pernah terdengar keluhan darinya. Dikenal sebagai pekerja keras.
Sejak lulus kuliah, Dadang sudah bekerja bersama Darma di unit gambar. Sudah 23 tahun, cukup lama untuk mengenal betul karakter sang bos. Kalau ditanya soal suka duka bekerja bersama Darma, Dadang selalu menjawab dengan lantang bahwa ia tidak pernah merasa sedih. Itu bukan sekadar kata-kata kosong, terbukti dengan dua rekan barunya, Adi dan Thomas, yang selalu pulang dengan wajah ceria.
Darma, sebagai kepala regu, tak pernah membanggakan dirinya. Beliau tahu betul, cara berkomunikasi dengan generasi muda tidak perlu dengan cara yang berlebihan. Darma lebih memilih mencari solusi untuk setiap masalah yang muncul.
Setiap pagi, sebelum mulai bekerja, selalu ada pertemuan koordinasi. Adi dan Thomas selalu datang lebih awal, diikuti oleh Dadang. Kehadiran Darma selalu dinantikan. Selain membawa solusi untuk masalah yang ada, Darma juga selalu membawa roti goreng dan getuk lindri, jajanan pasar yang selalu menemani saat koordinasi.
Dadang juga tak kalah dengan kebiasaan pagi. Ia selalu membuat kopi untuk satu teko, agar pertemuan tak terasa membosankan dan kantuk datang begitu saja, begitu katanya.
Beberapa unit lain sebenarnya ingin mendapatkan Darma untuk bergabung, tapi beliau menolak. Beliau merasa keahliannya hanya di bidang gambar, bukan di unit lain seperti bengkel, mekanik, atau keuangan.
Bos Besar, sang manajer, sudah sering menyarankan Darma untuk mencoba mengelola unit lain. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah kemampuan memimpin, bukan keahlian teknis. Bos Besar ingin ada terobosan di berbagai sektor, dan Darma dianggap bisa melakukannya.
Namun, Darma selalu bisa menghindar. Kepiawaiannya dalam mengelak sudah terkenal. Pujian dan penghargaan tidak membuatnya tergoyahkan. Baginya, pindah unit berarti mengusir, dan mengusir berarti harus resign. Itu prinsip yang beliau pegang teguh.
Dengan kemampuan menggambar yang sangat rinci, perhitungan yang akurat, dan analisa yang kuat, tak heran jika Bos Besar selalu mengalah. Beliau tak ingin kehilangan aset berharga seperti Darma. Apalagi sekarang dengan bantuan Dadang, yang ahli dalam gambar tiga dimensi, ibaratnya sudah seperti 4 sehat 5 sempurna.
Banyak yang menganggap unit gambar sebagai pekerjaan yang “enak”, namun kenyataannya tidak demikian. Terlebih, belakangan ini Darma dan Dadang sedang tidak bertegur sapa. Suasana di unit kerja jadi tegang dan sepi.
Darma punya kebiasaan menyelipkan pensil gambar di atas telinga. Hal kecil ini sering membuatnya lupa, dan kadang bingung mencari pensil tersebut. Begitu juga dengan penggaris busur yang terus bertambah jumlahnya karena lupa menaruhnya.
Dadang juga tak lepas dari “penyakit lupa”. Walau muda, ia sering lupa menaruh alat ukur meteran. Tak jarang, meteran tergeletak di mana-mana, dan akhirnya mereka harus membeli yang baru lagi.
Adi dan Thomas yang sudah empat bulan bekerja di sana, mulai sadar dengan kebiasaan kedua senior mereka ini. Namun, mereka merasa belum cukup berani untuk menegur.
Perselisihan antara Darma dan Dadang dimulai dari hilangnya laser meter, alat yang seharusnya digunakan untuk pengukuran. Alat itu hilang menjelang rencana tinjauan lapangan oleh Bos Besar dan staf. Tanpa alat itu, mereka terpaksa menggunakan meteran gulung.
Setelah acara selesai, Darma dan Dadang saling menyalahkan. Darma merasa sudah mengembalikan alat tersebut, sementara Dadang merasa sebaliknya. Tak lama kemudian, mereka berhenti berbicara dan suasana semakin hening.
Hari-hari berikutnya menjadi semakin canggung. Adi dan Thomas merasa seperti anak magang yang bingung harus berbuat apa. Mereka pun memutuskan untuk mogok kerja jika Darma dan Dadang belum bertegur sapa sebelum jam istirahat.
Namun, sebelum rencana itu dilaksanakan, Adi sempat berniat mencuci pakaian dinas di mesin cuci unit kerja. Tapi niat itu hilang begitu melihat PDL yang jelas-jelas bertuliskan nama Dadang Setiawan. Karena sungkan, Adi pun mengalihkan perhatian dengan duduk bersama Thomas di ruang kecil semacam dapur.
Tak lama, Dadang menyusul dan ikut bergabung dengan mereka. Dadang mulai mengeluh tentang kebiasaan Darma yang pelupa. Adi dan Thomas sebenarnya sepakat, tapi mereka hanya bisa menyimpannya dalam hati.
Karena suasana yang sunyi, Darma juga ikut masuk ke ruang dapur. Begitu melihat Dadang, ia langsung mengulurkan tangan tanda meminta maaf. Dadang pun meraih tangan Darma, meski suasana masih terasa kaku. Mereka saling menyapa, tapi hanya sebentar.
Namun, suasana perlahan mencair. Saat tengah asyik ngobrol, Darma bertanya pada Adi mengapa ia tidak jadi mencuci PDL. Adi menjawab bahwa di mesin cuci ada PDL Dadang.
Mendengar itu, Dadang langsung terkejut. Ia berlari menuju mesin cuci dan memeriksa setiap kantong PDL, takut ada yang tertinggal. Setelah beberapa saat, ia kembali dengan wajah berbeda. Kali ini ia membawa alat laser meter dan mengulurkannya kepada Darma.
Dadang terlihat sangat menyesal, dan Darma menyambutnya dengan meraih pundaknya. “Kamu dan aku, nggak ada bedanya, Dan. Sesama pelupa sudah seharusnya saling memahami,” kata Darma, sambil tersenyum. Dadang pun tertawa, begitu juga Adi dan Thomas.
Akhirnya, suasana kembali ceria. Mereka berempat sepakat untuk membeli lemari khusus penyimpanan alat ukur dan gambar. Agar ke depannya, tidak ada lagi alat yang tercecer atau hilang karena lupa.
Karya: Henri Koreyanto