Andai Aku Bisa
Bayu menatap langit sore yang mulai memerah dari balik jendela kamarnya. Udara dingin menyelinap masuk melalui celah kecil, membawa serta bayangan masa lalu yang selalu mengusik. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi kepedihan itu tetap menggantung di dadanya.
“Andai aku bisa…” gumamnya pelan.
Dulu, ia memiliki segalanya—keluarga yang hangat, seorang kekasih yang mencintainya, dan impian yang menggantung di langit yang tinggi. Namun, kesalahan demi kesalahan yang ia buat telah merenggut semuanya. Kini, ia hanya bisa menatap ke belakang dengan penuh sesal.
Bayu pernah mencintai seseorang dengan seluruh hatinya. Namanya Alina. Gadis itu adalah mataharinya, yang cahayanya selalu membimbing Bayu melewati hari-hari suramnya. Alina mencintainya dengan ketulusan yang tak terbantahkan, tetapi Bayu sering kali mengabaikannya. Kesibukannya, egonya, dan keangkuhannya membuatnya tak pernah benar-benar melihat bagaimana Alina berjuang untuk tetap di sisinya.
Sampai suatu hari, Alina pergi.
Tidak ada pertengkaran besar, tidak ada perpisahan yang penuh air mata. Hanya keheningan yang menusuk, seakan-akan Alina telah lelah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Bayu baru menyadari semuanya saat Alina benar-benar menghilang dari hidupnya. Ia mencoba mencari, mencoba memohon, tetapi semuanya sudah terlambat.
Waktu berlalu, dan penyesalan mulai membelenggu hatinya. Ia teringat saat Alina pernah berkata dengan suara lirih, “Aku hanya ingin kau ada di sini, Bayu. Bukan hanya ragamu, tapi hatimu.”
Ia menyesal. Jika waktu bisa diputar kembali, ia ingin lebih memperhatikan Alina. Ia ingin menggenggam tangannya lebih erat, ingin mengatakan betapa ia mencintainya setiap hari, ingin menatap matanya lebih lama, dan mendengar suaranya dengan lebih saksama.
Bayu tahu, waktu tak bisa diputar. Tapi rasa sesal itu begitu dalam, membuatnya merasa seakan-akan ia terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar. Hari-hari berlalu dengan kehampaan yang sama, sampai suatu sore ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang dulu sering mereka kunjungi.
Sebuah taman kecil di tepi kota, tempat di mana ia dan Alina sering menghabiskan waktu bersama. Tempat itu masih sama, bangku kayu di bawah pohon rindang masih berdiri kokoh, dan aroma bunga mawar di sekitar masih mengingatkannya pada tawa Alina. Ia duduk di sana, membiarkan angin membawa kembali kenangan yang telah lama tertinggal.
Tiba-tiba, suara lembut yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang. “Bayu…”
Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh, dan di sana, berdiri Alina dengan senyum yang masih sama. Waktu telah berjalan, tetapi kecantikannya tak luntur sedikit pun. Mata itu masih memancarkan kehangatan yang dulu membuatnya jatuh cinta.
“Alina…” suaranya bergetar.
Mereka hanya saling menatap, tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan perasaan yang berkecamuk dalam hati Bayu. Rindu, sesal, harapan—semuanya bercampur menjadi satu.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Alina, suaranya lembut.
Bayu tersenyum pahit. “Aku… bertahan. Tapi tidak ada hari yang berlalu tanpa aku menyesali semua yang telah terjadi.”
Alina menghela napas pelan. “Aku pernah menunggumu, Bayu. Lama sekali. Tapi akhirnya aku sadar bahwa aku juga harus melanjutkan hidup.”
Bayu menunduk. Ia tahu, ia tak bisa meminta Alina kembali, tak bisa berharap semuanya kembali seperti dulu. Tapi setidaknya, ia bisa mengucapkan sesuatu yang selama ini tertahan di hatinya.
“Aku minta maaf, Alina. Untuk semua yang telah kulakukan, untuk semua waktu yang kuabaikan. Aku tahu aku tak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kau tahu… aku mencintaimu. Selalu.”
Alina tersenyum. Senyum yang penuh kedamaian, tapi juga menyimpan sesuatu yang membuat dada Bayu semakin sesak.
“Terima kasih, Bayu,” katanya pelan. “Tapi hidup terus berjalan. Aku harap kau bisa menemukan kebahagiaanmu, seperti aku telah menemukan milikku.”
Bayu merasa dunia seakan runtuh. Tapi ia tahu, ini bukan hukuman. Ini adalah konsekuensi dari semua yang telah ia sia-siakan. Alina berhak bahagia, meskipun bukan dengannya.
Sore itu, Bayu menyaksikan Alina pergi untuk kedua kalinya. Tapi kali ini, ia tidak mengejarnya. Ia hanya menatap punggungnya yang menjauh, membiarkan angin membawa harapannya yang telah sirna.
Ia menarik napas panjang, lalu menatap langit yang mulai gelap.
“Andai aku bisa…” ucapnya sekali lagi.
Tapi ia tahu, tidak ada lagi ‘andai’. Yang ada hanya kenyataan, dan ia harus belajar untuk menerimanya.