Cerita SedihDramaKehidupanTragedi

Cahaya Di Kegelapan

Nara terbangun, matanya terbuka perlahan, diselimuti cahaya matahari yang menembus jendela kamar. Tak tahu sejak kapan jendela itu terbuka, tapi cahaya yang masuk cukup untuk membuatnya terjaga. Ia hanya terdiam, menatap langit-langit kamar yang sepi, sementara dadanya terasa sesak. Matanya masih sembab, sisa-sisa air mata yang tumpah malam tadi belum sepenuhnya kering.

Setelah beberapa saat, Nara bangkit, duduk di sisi ranjang kecilnya. Ia memandang sekeliling kamar yang sempit dan sunyi, ruangan yang dulunya terasa nyaman, kini hanya menyisakan kepedihan. Tiba-tiba, suara keras pecahan kaca menyusup ke telinganya dari luar, membuyarkan lamunannya.

Nara menutup telinga dengan kedua tangan, berusaha mengabaikan suara itu. Air mata kembali mengalir, bergulir di pipinya yang pucat. Ia menyandarkan wajahnya pada telapak tangan, perasaan lelah dan putus asa menguasai dirinya. “Aku sudah tak sanggup,” pikirnya. “Aku tak kuat lagi hidup dalam lingkaran kesedihan ini.”

Dengan langkah pelan, Nara melangkah keluar dari rumah, melewati jalanan sepi yang terasa semakin hampa. Kepalanya tertunduk, seolah malu akan dunia yang melihatnya. Bayangannya yang hitam nampak tergerus di antara pepohonan dan rumah-rumah yang suram. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba menghalangi bayangannya.

“Ada yang ingin kukatakan padamu,” suara itu terdengar tajam dan penuh amarah.

Nara mendongak. Wajah orang itu terasa familiar, tapi ada sesuatu yang berbeda di sana—sesuatu yang menyakitkan.

“Kenapa?” Nara mengucapkan kata itu dengan suara yang hampir tidak terdengar, wajahnya tetap datar meski hati teriris. Tapi sebelum ia sempat berkata lebih, orang itu meneriakkan, “KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!”

Suara bentakan itu seperti petir yang membelah langit. Tangan itu melayangkan tamparan keras ke pipi Nara. “PERGI!” teriaknya.

Nara terdiam, memegangi pipinya yang terasa perih. Hatinya hancur. “Hilang dari dunia ini,” ujar gadis itu dengan penuh kebencian. Teriakan itu terus menggema di telinganya, seiring tetesan air mata yang merayapi wajahnya. Nara hanya bisa terisak, seolah tak ada tempat lagi bagi dirinya di dunia ini.

Dulu, Nara adalah seorang gadis yang hidup bahagia, dengan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya. Hidupnya terasa sempurna, seolah tak ada yang kurang. Tapi kenyataannya jauh berbeda. Ayahnya, yang ia anggap sebagai pahlawan, ternyata telah berkeluarga lain. Ketika Nara mengetahui bahwa ibunya adalah istri kedua, dunia yang ia kenal runtuh dalam sekejap.

Keluarganya dianggap sebagai penghinaan. Ibunya dicemooh sebagai wanita tak bermartabat, sementara Nara, anak perempuan yang seharusnya dicintai, justru menjadi korban dari kebencian orang-orang di sekitar mereka. Tak ada yang peduli bagaimana luka batin yang harus ditanggung oleh Nara dan ibunya. Semua menghakimi mereka tanpa tahu betapa hancurnya jiwa mereka.

Istri pertama ayahnya, yang juga sahabat dekat ibu Nara, adalah yang pertama kali merasakan pengkhianatan itu. Setelah mengetahui bahwa suaminya berpaling dan sahabatnya mengkhianatinya, semuanya berubah. Nina, anak dari istri pertama, bahkan nyaris pingsan saat ayahnya mengungkapkan segalanya. Tak lama kemudian, teror demi teror datang sebagai balas dendam—pecahan kaca, hingga ancaman yang lebih mengerikan.

“Nara!” Suara lembut ibu Nara memanggilnya dari dalam rumah, mengganggu lamunannya.

Nara tetap tak bergerak, diam di balik pintu, menahan perasaan yang begitu dalam. Ketukan demi ketukan terdengar pelan, namun tak mampu menggoyahkan keteguhannya. “Sayang, buka pintunya. Ibu ingin bicara tentang rencana kepindahan kita.”

Nara tahu, keluarganya berencana pindah ke tempat yang jauh, berusaha mengubur masa lalu yang kelam. Namun, bagi Nara, pindah rumah hanya akan menjadi pelarian. Badannya mungkin akan jauh dari kekerasan, tetapi hatinya akan tetap terluka. Ia tak pernah bisa merasa utuh lagi.

Ia terdiam, terperangkap dalam pikiran yang terus berputar. Gambaran Nina yang ingin melihatnya lenyap dari dunia ini terus menghantuinya. Nara tahu, ia tak diinginkan.

Waktu seolah berhenti saat Nara mengingat segala yang telah terjadi—kebohongan, pengkhianatan, dan penderitaan yang tak kunjung usai. Dalam kesendirian yang mencekam, ia merasa seolah tak ada jalan keluar dari kegelapan ini.

Dengan tangan gemetar, Nara memegang gunting hijau yang dulu ia gunakan untuk hal-hal biasa, kini menjadi simbol dari kesedihannya yang tak tertahankan. Untuk sesaat, ia berniat mengakhiri semuanya, mengakhiri rasa sakit yang terus menggerogoti jiwanya.

Namun, saat matanya terpejam, menutup segala kemungkinan, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Awalnya, Nara berpikir itu hanyalah ilusi dari pikirannya yang putus asa. Namun, cahaya itu semakin terang, membelai tubuhnya dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesaat, ia merasa bebas—bebas dari segala penderitaan.

Ia tersenyum, tanpa rasa sesal. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi kebencian. Yang ada hanya kedamaian. Dan dalam kedamaian itu, Nara tahu, hidupnya telah berubah selamanya.

Dengan mata yang terpejam, Nara merasakan cahaya itu semakin kuat, membimbingnya ke tempat yang jauh dari dunia yang penuh luka ini—dimensi yang membawa keabadian. Dimensi tempat dia bisa beristirahat dengan tenang, jauh dari segala penderitaan yang pernah ia alami.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock