Aku Jatuh Cinta Duluan
Uap mengepul dari teko, sinar matahari menyelinap lewat celah tirai bermotif bunga, timer teh hijau mintku tergeletak di atas meja dapur, botol kosong di sampingnya, dan pola silang pada kaus kaki wol abu-abuku. Lima hal yang bisa kulihat. Berdiri di dapur dengan mata masih setengah tertutup, aku menyibakkan rambut ikalku dari dahiku, menyandarkan siku ke meja dapur yang dingin, merasakan kelembutan kain flanel piyamaku, lalu mengetukkan kaki ke lantai teraso. Itu empat hal yang bisa kurasakan.
Adrian berjalan masuk ke dapur di belakangku, langkahnya pelan di atas lantai. Gemuruh rendah air mendidih berubah menjadi siulan halus, diikuti suara dentingan dua gelas yang diletakkan di wastafel. Tubuh dan otakku ikut mendidih perlahan. Tiga hal yang bisa kudengar. Dia berdiri di sampingku, meraih dua cangkir dari lemari kayu tua yang berderit. Aku tak menoleh ke arahnya, masih mencoba menenangkan diri dari serangan cemas setelah kejadian semalam, tapi aku tak perlu mencari jauh untuk menemukan dua hal yang bisa kucium. Aroma khas kayu bakar dan mint dingin dari tubuhnya menyelimutiku saat ia meletakkan cangkir di atas meja. Dia bergerak menuju lemari, kemungkinan besar mengambil kotak teh milikku.
“Udah sampai angka berapa?” tanyanya.
Fakta bahwa dia mengenalku begitu baik hingga tahu aku sedang melakukan teknik grounding membuat hatiku sedikit lebih tenang. Tinggal satu indera yang harus kucari. Aku menyentuh ujung jariku ke bibir, masih bisa merasakan sisa manis madu dari ciumannya tadi malam.
“Hampir selesai,” gumamku. Lima tarikan napas perlahan, dan aku akhirnya cukup stabil untuk menoleh ke arahnya. Aku menatapnya saat dia kembali masuk ke ruang pribadiku. “Kamu pakai jubah mandi aku?”
Dia bersandar ke meja dapur di sebelahku, rambutnya masih acak-acakan dan matanya setengah mengantuk. “Ini nyaman banget, Mel.”
Meski dadaku terasa aneh karena perasaan yang tak terjelaskan, aku tersenyum dan mengangguk. “Aku tahu.”
“Sama kayak sandal rumahmu,” katanya sambil menguap, menggesekkan kakinya ke kakiku.
Aku melirik ke bawah, ke sandal rumah berwarna pink pucat yang penuh motif stroberi kecil.
“Pantesan aku ngerasa kayak pernah lihat ini,” kataku.
Dia menjulurkan kantong teh di depan hidungku, dan aku segera mengambilnya. Aku selalu mencium tehku sebelum memasukkannya ke dalam cangkir. Tangannya masih menempel di tanganku, dan aku jadi tegang sejenak, menahan diri agar tidak bersandar kepadanya. Dia meremas lembut tanganku sebelum akhirnya melepasnya. Aku menarik napas goyah dan mencium aroma chamomile yang langsung memberi rasa nyaman di dada. Suara burung berkicau terdengar dari luar jendela dapur. Adrian memasukkan teh rooibosnya ke dalam cangkir, sementara aku sibuk menuangkan air panas ke teh kami agar bisa menyeduh. Semua terasa begitu akrab, kecuali ketegangan tak terucap yang muncul setelah mencium sahabat sendiri tadi malam.
Adrian, seperti biasanya, tetap tenang, berdiri di dapurku, memakai jubah mandi dan minum tehku, tanpa sadar menggenggam hatiku dalam tangannya.
“Jadi, kita bakal ngomongin soal semalam?” tanyanya.
“Nggak,” jawabku terlalu cepat. Aku menatap uap yang naik dari cangkir dan mengambil timer teh, menyetelnya ke tujuh menit.
Dia menyenggol bahuku pelan. “Ayolah, Mel.”
Aku merinding karena sentuhannya, merasa semakin gelisah. Aku bahkan tak yakin bisa melakukan teknik grounding lagi saat ini, karena seluruh indraku sudah penuh dengan Adrian, bercampur dalam satu emosi tak bernama.
“Eh, kamu dingin,” katanya, langsung melepas jubah mandiku dari bahunya yang lebar, bahu yang selalu kucoba untuk tidak perhatikan. Sebenarnya aku tidak terlalu kedinginan, tapi aku tak menghentikannya saat ia menyelimutkanku dengan kain lembut itu, lalu mengikat talinya menjadi simpul kecil di pinggangku. Inilah efek Adrian padaku sejak dulu. Sepuluh tahun pertemanan kami adalah serangkaian momen seperti ini, momen yang kuinginkan, tapi selalu kuhentikan begitu terjadi. Karena aku tahu, baginya, semua ini hanya sekadar kesenangan.
“Mendingan?” tanyanya.
“Hmm,” gumamku, sibuk merendam kantong teh hanya agar tanganku ada kerjaan.
Dia kini berhadapan denganku, tatapanku terfokus pada kaus kakiku yang bersentuhan dengan tepi sandal rumah yang ia kenakan. Sandal itu jelas terlalu kecil untuknya. Dia mengangkat daguku. “Kenapa kita nggak bisa ngomongin ini?”
Karena aku sudah menghabiskan bertahun-tahun hanya berani menginginkan ini terjadi, dan ketika akhirnya terjadi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Semalam, setelah menghadiri pernikahan adiknya sebagai pacar bohongan, kami pulang ke apartemenku. Kami berbagi kue terakhir di kulkas, bercanda tentang pidatonya yang agak kacau. Lalu, dalam satu momen impulsif, aku menciumnya, berharap itu bisa membebaskanku dari perasaan ini. Tapi justru sebaliknya, aku semakin ingin lebih. Akhirnya aku menghentikan semuanya sebelum kehilangan kendali.
“Karena itu bagian dari kesepakatan. Ingat? Aku cuma jadi pacar bohongan buat satu malam. Sekarang sudah tidak berlaku.”
Tadi malam kami bercanda soal kencan bohongan, tentang sepatu kaca dan mobil listriknya yang berubah jadi labu. Saat dia menarikku di sofa, aku tertawa. “Kita masih dalam kencan bohongan sampai tengah malam,” kataku. Dan dalam bisikan, dia mengakui bahwa dia sudah ingin menciummu sejak awal acara.
“Jadi nggak ada yang perlu dibahas? Bahkan tentang gimana kamu panik dan kabur setelah kita ciuman?” tanyanya, mengembalikanku ke kenyataan.
Setiap detik yang berlalu, otakku menyusun alasan untuk menghindari pembicaraan ini. Aku takut mendengar kata-kata yang paling tidak ingin kudengar.
“Tolong, Mel, bilang sesuatu.”
Ada kegugupan dalam suaranya, sesuatu yang jarang kudengar. Ketika aku memberanikan diri menatapnya, matanya lebih gelap dari biasanya. Hangat. Pipinya memerah. Tangannya mengetuk meja, energi gelisah terpancar darinya. Aku sadar, bukan cuma aku yang takut kehilangan sesuatu di sini.
Dia mengetuk dahiku tiga kali, lembut. “Apa yang kamu pikirkan?”
Aku takut segalanya berubah. Takut jika ini berlanjut, malah akan merusak apa yang sudah ada. Aku menarik napas dan hendak berkata bahwa kita bisa kembali seperti semula. Tapi yang keluar dari mulutku justru hal lain. “Di pidato pernikahan kemarin, kamu nggak pakai text yang sudah kamu latih, kan?”
Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku kepikiran sesuatu yang lain sepanjang malam. Momen-momen di mana aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu.”
Aku tertegun. “Jadi… kamu juga?”
Dia menarikku ke pelukannya. “Udah lama banget, Mel. Aku cuma nunggu waktu yang tepat.”
Hatiku meluap dengan perasaan yang tak bisa kubendung lagi. Aku tersenyum, merasa lebih hangat dari sebelumnya. “Aku jatuh cinta duluan. Dari dulu.”
Dia tertawa. “Sikap kompetitifmu. Itu ada di daftar alasan kenapa aku cinta kamu.”
Aku tertawa, dan saat timer teh berbunyi, perasaanku juga semakin hangat.
“Teh udah jadi,” katanya.
Aku tersenyum. “Aku tahu.”