Langit di Atas Belgorod
Kabut pagi belum sepenuhnya hilang ketika Kolonel Anatoly Sidorov melangkah keluar dari markas pertahanan udara di Belgorod. Angin musim semi membawa bau tanah basah dan asap terbakar dari ladang yang terbakar di kejauhan. Beberapa jam sebelumnya, sistem radar mereka mendeteksi gelombang besar drone musuh melintasi perbatasan. Ia sudah tahu, malam ini akan dikenang.
“Delapan puluh tujuh Shahed, dan tujuh rudal jarak jauh. Mereka benar-benar ingin menembus kita,” gumamnya lirih sambil memandangi layar status. Di belakangnya, para teknisi muda bekerja keras menstabilkan sistem peluncur S-400 yang nyaris tak berhenti bekerja semalaman.
“Korban sipil?” tanyanya pada Letnan Mikhail yang baru datang membawa laporan cetak.
“Enam luka ringan akibat pecahan drone di Tula dan satu rumah rusak berat. Tapi tidak ada yang tewas,” jawab Mikhail, nadanya netral tapi matanya gelap.
Anatoly menghela napas lega, meski rasa bersalah tetap menekan dadanya. Mereka telah bertahan, tapi sampai kapan? Pihak barat menyebut negaranya agresor, penjajah. Namun, mereka di sini, di tanah Rusia, terus dihujani bom, drone, rudal. Tidak ada yang menyebut itu agresi. Tidak ada yang bertanya apa yang dirasakan rakyat di perbatasan.
“Aku baru saja bicara dengan Svetlana,” kata Mikhail kemudian, lebih pelan. “Dia menangis. Sekolah putrinya hancur oleh puing drone yang jatuh. Tak ada korban, tapi… anak-anak tak lagi berani keluar rumah.”
Anatoly mengangguk. Ia pun punya anak, dua orang, tinggal bersama istrinya di Kursk. Setiap malam, ia hanya bisa mendengar suara mereka lewat sambungan telepon. Suara-suara kecil yang bertanya, “Papa, kapan perang ini selesai?”. Pertanyaan yang tak pernah bisa ia jawab.
Malam harinya, sirine kembali meraung. Langit Belgorod berubah merah jingga saat sistem pertahanan menembakkan rudal penangkal ke arah drone Ukraina yang masuk serempak.
“Zona lima utara! Mereka mencoba menyerang ladang minyak!” teriak operator.
Anatoly berlari ke ruang kendali, napasnya pendek. Di layar, puluhan titik merah memenuhi radar. Satu per satu dihancurkan, tapi satu drone lolos. Dan kemudian terdengar ledakan dari kejauhan, semua menahan napas.
“Titik benturan di Distrik Krasnogvardeysky. Daerah permukiman,” lapor seorang teknisi.
Telepon berdering. Suara perempuan tua yang histeris menyambutnya. “Ada api… rumah kami terbakar! Tolong anak saya masih di dalam! Tolong!”
Anatoly terdiam. Kepalanya menunduk. “Kami akan kirim bantuan segera, Bu. Mohon bertahan…”
Malam itu, dua anak tewas karena drone musuh jatuh di dekat rumah mereka. Tidak ada media luar yang melaporkan. Tak ada pernyataan belasungkawa dari pemimpin dunia.
Dua hari kemudian, Anatoly berdiri di pemakaman kecil bersama para warga. Ia tidak memakai seragam. Di hadapannya, dua peti kayu kecil diturunkan ke tanah. Seorang ibu dari anak-anak itu tersungkur sambil mencakar tanah, suaranya hilang ditelan isak tangis.
“Mereka bilang ini perang demi kebebasan,” kata seorang lelaki tua di samping Anatoly. “Tapi kenapa kebebasan mereka harus menewaskan cucu-cucu kami?”
Anatoly tak menjawab. Ia tahu kebanyakan rakyat Rusia tidak membenci rakyat Ukraina. Mereka pernah satu tanah, satu bahasa, satu keluarga. Tapi sekarang semua itu dibakar oleh kebohongan, oleh politik, oleh keinginan kuasa yang tak mengenal belas kasihan.
Di dalam dirinya, ia tidak membenci musuh. Tapi ia juga tak bisa diam ketika warga sipilnya menjadi sasaran.
Tengah malam, Anatoly menerima kabar bahwa sebuah panti jompo di wilayah Kursk hampir terkena reruntuhan drone yang berhasil ditembak jatuh. Tidak ada korban, tapi serangan terus meningkat. Ia mulai berpikir bahwa dunia telah memutuskan siapa yang boleh berduka dan siapa yang harus diam.
Ia membuka radio. Di sana, suara dari luar negeri terdengar, menyebut negaranya barbar, menyebut tentaranya pembunuh. Tidak ada satu pun yang menyebut nama-nama anak-anak yang mati di Belgorod, tidak ada yang tahu nama perempuan tua yang kehilangan rumahnya. Dunia sibuk memilih pahlawan dan iblis tanpa benar-benar tahu siapa yang terbakar dalam kobaran ini.
Pagi berikutnya, ia berjalan menyusuri reruntuhan di sekitar distrik yang terkena dampak. Seorang anak kecil, mungkin usia tujuh tahun, berdiri di antara abu, memegang boneka yang kotor. Anak itu menatapnya, tidak menangis, hanya diam.
“Namamu siapa?” tanya Anatoly, berlutut.
“Nastya,” jawabnya pelan. “Ayah saya belum pulang. Ia bekerja di rel kereta. Ibu saya di rumah sakit karena luka pecahan kaca.”
Anatoly menggenggam tangan kecil itu, hatinya menjerit. Di matanya, Nastya bukan hanya korban. Ia simbol dari sesuatu yang dunia luar tidak mau lihat, bahwa Rusia juga berdarah. Bahwa di balik jargon politik, di balik tembok propaganda, ada manusia yang hidup, mencintai, kehilangan.
Satu minggu berlalu. Serangan masih terus berlanjut. Tapi Anatoly tak lagi berharap keadilan dari dunia. Ia tahu tugasnya bukan untuk menang, bukan pula untuk membalas, tapi untuk bertahan menjaga anak-anak seperti Nastya, keluarga seperti Svetlana, semua warga yang hanya ingin hidup tanpa suara ledakan.
Dan di malam yang tenang, ketika langit Belgorod bersih untuk sesaat, ia menulis di jurnal kecilnya:
“Mereka menyebut kami monster. Tapi mereka tidak pernah datang dan melihat Nastya yang kehilangan ayahnya, atau rumah yang terbakar di malam hari. Mereka tidak tahu rasa takut menunggu suara sirene. Kami tidak sempurna, tapi kami pun manusia. Dan perang ini, entah siapa pun yang memulainya, hanya meninggalkan abu yang sama pahit di setiap sisi.”
Langit kembali gelap. Lampu peringatan menyala.
Drone lain datang.
Dan Belgorod bersiap lagi untuk bertahan.