Cerita SedihDramaFiksiKehidupanRomansa

Salju di Garis Pantai

Di sebuah desa kecil yang terletak di pinggir pantai, hiduplah seorang gadis muda bernama Mei. Setiap sore, ia duduk di tepi laut, menatap langit yang berwarna lembut saat senja. Laut yang luas dan angin yang berhembus lembut membuatnya merasa terhubung dengan dunia, meskipun hatinya sering kali terasa kosong. Ada sebuah kenangan yang selalu ia simpan dalam hati, kenangan tentang kata-kata yang pernah diucapkan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya: “Cinta pertama itu seperti salju yang jatuh di garis pantai. Lembut, murni, dan penuh harapan.”

Cinta pertama itu datang dalam wujud seorang pemuda bernama Jun. Ia datang seperti musim yang tak terduga, dengan senyum yang hangat dan mata yang penuh cahaya. Mereka bertemu di musim kelima, saat semuanya terasa seperti takdir yang sudah dipersiapkan. Saat itu, Mei percaya bahwa di dunia ini, segala hal mungkin terjadi jika hati cukup percaya. Mereka berbicara tentang banyak hal, mimpi, harapan, dan keinginan untuk menjelajahi dunia bersama. Mei merasa seolah dunia ini hanya untuk mereka berdua, seolah tak ada jarak yang bisa memisahkan mereka.

Di suatu malam yang diterangi cahaya bulan, Jun berkata padanya, “Kamu tahu, botol kosong itu tempat yang sempurna untuk membuat permohonan. Di sini, di tempat ini, di bawah sinar bulan yang hangat ini, aku akan mengharapkan yang terbaik untuk kita.” Mei tersenyum, dan meskipun dia tak tahu apa yang akan terjadi, dia merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Seperti botol kosong yang siap menerima permohonan, hatinya terbuka untuk segala kemungkinan.

Bulan demi bulan berlalu, dan janji itu pun datang. Di bulan ketiga belas, Jun muncul di hadapannya, tepat seperti yang dijanjikan. Seolah-olah segala sesuatunya menjadi nyata, pertemuan mereka bukanlah kebetulan, tapi takdir yang telah tertulis. Segala sesuatu yang dulu terasa jauh dan mustahil, kini berada dalam jangkauan mereka. Laut, langit, dan angin pun seakan merayakan cinta mereka yang baru dimulai.

Namun, seperti segala sesuatu yang datang dengan cepat, cinta itu pun mulai memudar. Jun, dengan segala keangkuhannya, mulai terbang jauh meninggalkan Mei, pergi menuju dunia yang tak bisa ia jangkau. Mei yang tinggal di desa itu merasakan kepergian Jun seperti sebuah musim panas yang tiba-tiba berakhir, meninggalkan kesunyian dan kesedihan. Dia tak tahu apa yang salah, hanya merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang.

Hari-hari berlalu, dan Mei terus berada di tempat yang sama, tempat yang mereka pernah habiskan bersama. Setiap angin yang berhembus, setiap ombak yang bergulung, seolah membawa kenangan tentang Jun yang semakin pudar. Kata-kata yang dulu diucapkannya tentang botol kosong dan permohonan itu kini menjadi kenangan yang sakit untuk diingat. Angin musim monsun membawa jauh ingatannya, memudarkan wajah Jun yang dulu ia kenal. Semua yang tersisa hanya bayangan samar yang tak lagi bisa ia sentuh.

Mei mulai bertanya-tanya apakah itu semua benar-benar terjadi. Cinta yang begitu indah, yang pernah mereka buat bersama, kini hanya tinggal kenangan yang terus terbang, seolah-olah dihembuskan oleh angin. Jun, dengan segala kebanggaannya, terbang jauh meninggalkan gadis itu, seperti daun yang terhempas oleh angin musim gugur. Ia pergi tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal, meninggalkan Mei dengan tanya yang tak terjawab.

Di malam-malam yang sunyi, Mei sering kali duduk sendirian, menatap laut yang luas, berharap suatu saat Jun akan kembali. Tapi, seiring berjalannya waktu, Mei sadar bahwa ia tak akan pernah kembali. Cinta pertama yang begitu indah itu, yang ia kira akan bertahan selamanya, kini hanyalah bayang-bayang masa lalu yang terus terbang menjauh.

Hari-hari berlalu, dan Mei mulai tumbuh semakin dewasa. Senyum yang dulu penuh keraguan kini menjadi senyum yang lebih matang, lebih tenang. Namun, dalam hatinya, ada rasa kehilangan yang tak bisa ia lupakan. Setiap kali ia melihat langit senja, ia teringat pada Jun. Ia teringat pada janji yang dulu pernah diucapkan, janji yang kini tinggal kenangan. Ia tahu, meskipun hatinya ingin kembali ke masa itu, Jun tidak akan pernah ada lagi. Ia tak akan pernah melihat senyumnya yang matang, tak akan pernah merasakan kehadirannya lagi.

Suatu hari, ketika Mei sedang duduk di tepi laut, ia menatap ombak yang datang dan pergi. Ia merasa seperti ombak itu, datang dan pergi, membawa kenangan yang tak bisa ia tahan. Hatinya penuh dengan harapan yang tak pernah terwujud, dengan cinta yang tak pernah selesai. Dan saat itu, dengan mata yang penuh air mata, Mei menyadari bahwa cinta pertama itu, meskipun indah, tak selalu bisa bertahan. Cinta itu datang dan pergi, seperti salju yang jatuh di garis pantai, lalu mencair dan hilang.

Ia pun berdiri, memandang laut yang luas, dan melepaskan semua kenangan itu. Mungkin Jun tak akan pernah kembali, dan mungkin ia akan terus mencari arti dari cinta yang sebenarnya. Namun, ia tahu satu hal, meskipun cinta itu tidak pernah terwujud seperti yang ia harapkan, ia telah tumbuh menjadi seseorang yang lebih kuat, seseorang yang mampu melepaskan dan melanjutkan hidup.

Cinta pertama itu telah terbang jauh, meninggalkan daun-daun yang terjatuh dan kenangan yang semakin pudar. Mei berdiri, menatap ke depan, siap untuk menghadapi dunia yang baru. Tapi di dalam hatinya, ada satu hal yang ia tahu pasti: meskipun ia tak akan pernah melihat Jun lagi, cinta pertama itu akan selalu menjadi bagian dari dirinya, seperti salju yang pernah jatuh di garis pantai. Lembut, murni, dan penuh harapan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock