DramaPetualangan

Badai Membawanya

Laut telah kembali tenang saat mereka menemukannya. Sosoknya seperti hantu di bawah cahaya fajar, terikat pada tiang layar yang patah dari perahu layar yang setengah tenggelam. Tubuhnya dibalut tali basah yang kaku, seolah terjerat dalam pelukan maut. Sinar lampu pencari menyapu satu kali, lalu kembali lagi…kali ini berhenti dan menyinari tubuh gadis dan puing kapal layar itu. Seorang pria berteriak. Lambung kapal patroli penjaga pantai berderit keras saat mereka memutar haluan.

Dia tidak bergerak.

Langit di atas Teluk terlihat seperti lukisan air: campuran kelabu dan emas. Ombak kecil menggoyangkan sisa-sisa perahu tua itu….kapal Marigold, yang layarnya telah lama tercabik angin badai. Hanya layar depan yang masih menempel, itu pun compang-camping dan berat karena dihantam oleh air. Nama di buritan, Marigold, hampir tak terbaca, tertutup kerak garam.

Saat mereka melepaskannya dari tiang layar, jari-jarinya meninggalkan noda darah…tanda ia terlalu lama mencengkeram tali. Seseorang menyelimutinya dengan selimut. Yang lain menempelkan tangan ke dahinya dan memanggil namanya.

“Eliza.”

Dia tersentak kecil mendengar suara itu. Bibirnya bergetar. Air mata pertama jatuh, lalu yang kedua, membasahi diam-diam kain kasar yang menutupi bahunya.

“Kamu sudah aman sekarang,” ucap petugas medis dengan lembut. “Kami di sini.”

Eliza menggeleng pelan, seolah kata-kata itu salah. Air matanya mengalir makin deras. Ia terisak, tubuhnya gemetar, kesedihan meledak keluar dalam tangis yang tersendat dan menyayat.

“Di mana kakakmu?” tanya seseorang.

Tangisnya pun berhenti.

Berhenti begitu saja.

Napasnya tenang. Wajahnya membeku. Ia berkedip sekali, dua kali, seolah baru muncul dari tempat yang sangat jauh. Saat ia bicara, suaranya lirih. Terlalu lirih.

“Badai membawanya pergi.”

Hening pun menyelimuti kabin. Berat, seperti oli pekat. Tak ada yang berkata sepatah pun


Pagi itu seharusnya hanya menjadi pelayaran yang singkat. Berlayar sebentar melewati pantai, cuma agak jauh sedikit dari pantai Treasure Island yang selalu ramai pengunjung. laut terbentang luas dan biru, tenang seperti kaca. Sam hanya ingin menguji tali layar yang baru, merasakan angin menarik mereka dengan cepat dan bebas.

“Cuma sejam, paling lama,” katanya, memutar mata saat Eliza mengecek ramalan cuaca untuk kesekian kali. “Kita bakal balik sebelum Ibu sadar.”

Ia masih ingat bunyi khas layar saat angin menangkapnya. Bau asin laut bercampur tabir surya. Bagaimana matahari membuat rambut Sam terlihat seperti pasir keemasan.

Sudah ratusan kali mereka lakukan ini. Tak ada yang berbeda…sampai akhirnya segalanya berubah.


Badai datang tiba-tiba. Langit yang sebelumnya cerah berubah seperti lava yang mengeras berwarna abu dan penuh bayangan. Air laut menghitam. Angin bergeser. Satu hembusan kuat menghantam layar utama, membuat hentakan yang keras.

“Turunkan layar! Cepat!” suara Sam terdengar jelas melawan angin yang mulai meraung.

Eliza bergegas meraih tali, tangannya terpeleset karena basah. Hembusan kedua lebih kuat. Perahu miring tajam. Ia terhuyung, membentur sisi kapal. Sam berjuang mempertahankan kemudi, jarinya memutih terkena air.

Laut bergulung di bawah mereka. Lalu ombak pertama datang.

Air menelan dek kapal, menjatuhkan Eliza. Air asin memenuhi hidung dan mulut. Ia tersedak, batuk, berusaha bertahan sementara Marigold terguncang seperti mainan dalam bak mandi.

Sam mengulurkan tangan. Ia sempat melihat mata adiknya yang besar dan penuh kepanikan sebelum ombak berikutnya memisahkan mereka.

Ia tenggelam.

Dunia berubah jadi gelap dan bising. Paru-parunya terasa terbakar. Naik. Ia harus naik. Tapi ke mana arah atas? Laut terus memutarnya, seakan tak berbobot, tak punya arah. Jemarinya meraba-raba, mencari sesuatu yang nyata dan bisa digenggam.

Lalu…. ada kayu. Pinggiran lambung kapal.

Ia muncul ke permukaan dengan napas terputus-putus, matanya setengah terpejam di tengah hujan. Marigold terbalik, tiangnya patah, layar depan berkibar liar tertiup angin. Langit menyala putih oleh petir.

“Sam!” Teriaknya nyaris tak terdengar.

Tak ada jawaban.

Hujan mencambuk wajahnya. Angin meraung. Ia memutar tubuhnya, mencari, menyipitkan mata di antara hujan.

Lalu terdengar suara Sam, namun hanya sekali saja, pelan seperti bisikan melawan badai.

“Eliza!”

Dan ia melihatnya. Sam berpegangan pada potongan tiang, wajahnya pucat, genggamannya nyaris terlepas. Potongan itu terlalu kecil untuk dua orang.

Ia berenang menghampiri, melawan ombak, seluruh tubuhnya menjerit. Sam mengulurkan tangan.

Sesaat, mereka berdua memegang potongan kayu yang sama. Tapi laut berguncang, menyeret mereka ke bawah, memisahkan mereka lagi.

Sam batuk, pegangannya melemah. “Eliza….”

Ia mencengkeram lebih erat, kukunya menancap ke kayu yang kasar. Arus menarik mereka. Tak ada ruang. Tidak cukup tempat. Namun tekat Eliza lebih besar. Lebih kuat.

Sam tahu itu. Ia melihatnya di mata adiknya.

Lalu, seolah membuat keputusan diam-diam, Sam melepaskan pegangan.

Laut menelannya sebelum ia sempat berteriak. Sebelum ia bisa melakukan apa pun.


Badai terus menggila selama berjam-jam, menghantam tubuh Eliza yang terikat pada puing kapal. Tangannya nyeri, kulitnya perih karena garam dan angin.

Saat fajar akhirnya datang, dunia tampak kosong. Laut yang semalam mengamuk, kini sunyi dan datar. Angin telah pergi, tapi keheningannya terasa sama menyesakkan seperti badai.

Ia terombang-ambing selama tiga hari. Matahari membakar kulitnya. Bibirnya pecah. Lapar menghantui, tapi haus lebih menyakitkan. Ia berusaha tak berpikir. Tentang badai. Tentang saat segalanya berubah. Tentang Sam.

Setiap kali pikirannya mengembara, laut merespons. Saat kesedihan menelannya, ombak naik seakan ingin menariknya. Saat rasa bersalah mencengkeram dadanya, angin kembali menderu, berbisik memanggil nama Sam. Saat hatinya mati rasa, laut menjadi datar dan hening, seolah menunggu.

Ia menutup mata dan membiarkan ombak membawanya.


Di balik jendela kapal, laut membentang luas dan tenang.

“Kamu yakin nggak ingat yang lain?” tanya petugas medis sekali lagi.

Eliza menatapnya. Wajahnya datar. Ia menyeruput teh perlahan.

“Badai membawanya,” ulangnya, suara tanpa emosi.

Ia tak menangis lagi.

Di luar, angin mulai bertiup. Laut bergemuruh pelan. Badai lain sedang datang.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock