FiksiKehidupanMisteri

Kesadaran Baru

Hari itu lebih sunyi dari biasanya. Tapi lebih terang. Aku sempat memuji rumah sakit ini dalam hati. Pencahayaannya begitu sempurna—putih menyilaukan, seolah menolak keberadaan bayangan. Ratusan lampu neon menghapus gelap, membentuk koridor panjang yang seperti tak berujung.

Aku sendirian di sini. Hanya aku.

Aku menginap bukan karena keinginan, tapi karena kecelakaan semalam. Mobil temanku, Raka, menabrak pembatas jalan saat kami pulang dari acara balap di Jakarta. Saat sadar, aku sudah terbaring di RS Bina Medika Bandung, luka-luka dan penuh jahitan. Orangtuaku, keluargaku, mereka sempat di sini. Tapi sekarang entah di mana.

Aku melangkah pelan di koridor itu. Infus sudah dilepas. Tubuh terasa ringan. Anehnya, rasa sakit dari luka di kepala dan dada tak lagi terasa. Seolah kecelakaan itu hanya bagian dari mimpi yang samar. Aku harus mencari kamar Raka. Aku harus tahu dia baik-baik saja.

Tiba-tiba…

“Rahmat!”

Sebuah suara memanggil dari belakang. Aku menoleh. Itu dia.

Raka berdiri di sana, tersenyum seperti biasa. Tubuhnya masih tinggi kurus seperti yang kuingat. Kami berkenalan di sebuah kompetisi inovasi dulu, dan sejak itu, kami jadi teman dekat. Dia adalah orang yang selalu punya ide gila. Selalu penuh semangat.

“Rak! Kamu nggak apa-apa?” Aku langsung berlari memeluknya.

“Nggak apa-apa, lihat nih!” Dia menunjuk dirinya sendiri. “Cuma luka kecil. Manja amat, lo!”

Aku tertawa lega. Tapi tetap ada sesuatu yang mengganjal.

“Sayang banget mobil kita,” kataku. “Padahal minggu depan ada event besar, kan? Mau diliput lagi.”

“Nggak masalah,” jawabnya ringan.

“Eh, kamar lo di mana?”

“Blok B, nomor 17.”

“Kita ke sana aja, yuk! Lo pasti dapat banyak makanan, kan?”

Raka tertawa kecil. “Nggak, gua pengen jalan dulu. Lo temenin, ya?”

Kami mulai berjalan. Anehnya, koridor ini terasa semakin sempit. Dindingnya seolah menggulung, membelah diri menjadi lorong-lorong kecil yang saling bersilangan. Aku merasa aneh, tapi Raka tetap santai.

“Kita mau ke mana?” tanyaku.

“Ke tempat kita mulai diprogram,” jawabnya.

Aku mengerutkan kening. “Maksud lo?”

Raka tidak menjawab. Dia terus berjalan. Aku mengikutinya.

Kemudian dunia berubah.

Aku melihat diriku sendiri—usia lima tahun. Bocah tambun dengan rambut belah pinggir, sedang bermain robot-robotan kesayanganku. Aku melihat bocah itu melempar robot monster keluar jendela, lalu berlari merengek kepada ibu, meminta tolong diambilkan.

“Udah, besok aja! Di luar gelap! Nanti ada monster beneran!”

Aku kecil pun berhenti merengek, percaya begitu saja.

Raka menoleh padaku. “Itu momen pertama lo diprogram untuk takut gelap,” katanya. “Padahal nyokap lo cuma malas keluar ambil mainan.”

Aku tercekat.

Kami melangkah ke lorong berikutnya. Kini aku melihat diriku saat TK. Bermain dengan Adnan, seorang anak yang baru pindah ke kota kami. Sekelompok teman datang dan berkata:

“Kenapa kamu main sama dia? Dia aneh! Dia beda! Dia nggak sama kayak kita!”

Aku kecil ragu-ragu. Kemudian, tanpa sadar, aku ikut meninggalkan Adnan.

Raka menghela napas. “Dan saat itu, program rasis diinstal dalam otak lo. Lo mulai melihat orang beda sebagai ancaman. Sama kayak hampir semua orang lain.”

Aku menggigit bibir.

Kami terus berjalan, masuk ke lorong ketiga.

Di sini, aku melihat kehidupan manusia bergerak seperti rekaman yang dipercepat. Bayi lahir, tumbuh, masuk TK-SD-SMP-SMA, kuliah, kerja, menikah, mati. Begitu terus. Pola yang sama, berulang tanpa henti.

Anak-anak diajari bahwa nilai sekolah menentukan harga diri mereka. Remaja diajarkan bahwa menikah adalah tujuan, tapi harus sukses dulu. Tapi sukses itu apa? Kapan? Sementara hidup mereka terjebak dalam rutinitas yang mematikan jiwa.

Raka menatap pemandangan itu dan berkata, “Manusia itu sok pintar, padahal bodoh. Mereka pikir mereka modern, tapi hidupnya seperti suku pagan. Mereka menyembah sekolah, pekerjaan, status sosial. Padahal semua itu bukan kehidupan. Itu program. Dan mereka jadi robot.”

Aku terdiam. Kata-katanya menampar.

“Sekarang, lo mau ke koridor keempat?” Raka bertanya.

Aku ragu.

Tiba-tiba terdengar suara ibuku berteriak. Jantungku mencelos. Aku merasa aneh. Ada sesuatu yang salah.

Aku menatap Raka. “Lo ini udah mati, ya?” tanyaku.

Raka tersenyum. “Mati? Kita nggak akan mati, Rahmat. Kita cuma bertransformasi. Kita hanya meninggalkan dunia ini.”

Aku merasa udara di dadaku semakin berat. “Kalau gue ikut lo, gue nggak bisa balik, kan?”

Raka menatapku. “Terserah lo. Tapi kalau lo nggak berani melawan arus, lo akan jadi robot.”

Aku menelan ludah.

“Gue nggak mau jadi robot,” kataku akhirnya.

Raka tersenyum tipis. “Bagus.”

Dia melangkah mundur, masuk ke dalam lorong gelap itu. Aku menatapnya, tapi tidak mengikutinya.

Tiba-tiba, aku merasa sakit. Udara mengalir di paru-paru. Dunia di sekelilingku berputar.

Dan saat aku membuka mata…

Aku melihat keluargaku di ruang ICU. Ibuku menangis, ayahku menggenggam tanganku. Ini hari ketujuh aku tidak sadarkan diri.

Aku selamat. Tapi Raka…

Sebulan kemudian, aku memenuhi janjiku. Aku mengunjungi kamar Raka di Blok B, nomor 17. Tapi bukan di rumah sakit.

Di pemakaman umum kota ini.

Aku berdiri di depan nisannya. “Makasih, Rak,” bisikku. “Gue nggak akan jadi robot.”

Angin bertiup pelan. Seolah ada yang tersenyum dari kejauhan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock