Sepuluh Detik untuk Pergi
Aku berdiri diam di depan rumah tua itu. Rumah papan bergaya klasik, dikelilingi pagar kayu dan kebun kecil yang ditumbuhi rumput liar. Inilah rumah tempat aku dibesarkan. Rasanya aneh. Seperti berdiri di antara masa lalu dan masa kini. Ada yang berdesir di dada, seperti ketakutan yang perlahan merambat ke tangan hingga telapak mulai basah oleh keringat dingin.
Aku tak berharap bertemu siapa pun. Aku hanya ingin memandangi rumah ini, membiarkan kenangan masa kecil melintas sebentar, tanpa gangguan. Lebih baik begitu, kenangan tak perlu bercampur dengan wajah-wajah baru yang kini menempatinya. Biarkan tetap murni, seperti dulu.
Tak ada motor atau mobil di halaman. Mungkin memang sedang tak ada orang. Angin siang bertiup pelan, membuat ujung bajuku berkibar. Padahal matahari sedang terik, tapi kulitku tetap merinding. Entah karena cuaca, atau karena rasa takut yang diam-diam kembali muncul.
Halaman depannya masih sama. Setiap kali hujan turun, air tergenang di bagian depan, membentuk kubangan yang tak pernah bisa benar-benar kering. Di sudut sana, dulu ada kandang kelinci. Kalau kupicingkan mata, aku bisa membayangkannya berdiri di situ, meski samar-samar.
Aku tak ingin masuk ke dalam rumah. Dan aku lebih tak ingin lagi menoleh ke belakang, ke halaman yang penuh cerita itu. Pagar kayu yang membatasi halaman belakang masih kokoh berdiri. Dulu aku sering memanjatnya bersama kakak. Kadang cuma iseng, kadang karena disuruh ambil layangan yang jatuh.
Tiba-tiba suara gonggongan anjing dari kejauhan membawaku pada kenangan tentang Brutus, anjing pertama kami. Besar, galak, dengan kepala kotak yang katanya menyeramkan. Tapi bagiku, dia adalah pelindung, satu-satunya makhluk yang membuatku merasa aman. Sampai sekarang, aku masih rindu dia.
Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke gang kecil di belakang rumah-rumah warga. Dulu kami menyebutnya “lapangan belakang”. Hanya tanah kosong dengan lantai semen, tempat anak-anak main bola, layangan, atau petak umpet. Plang kayu bertuliskan “Dilarang main bola” masih tergantung, meski huruf-hurufnya sudah pudar. Suara anak-anak baru terdengar dari kejauhan, wajah-wajah asing terlihat dari sela jendela rumah tetangga.
Lewat celah pagar, aku mengintip halaman belakang rumahku dulu. Luas, lebih luas dari rumah-rumah lain di kampung ini. Dulu, Bapak membeli lahan bekas kandang sapi dan mengubahnya jadi taman keluarga. Kami tak punya banyak uang, jadi lahan bekas itu jadi berkah. Ayunan kayu dan rumah-rumahan kecil yang dulu ada di sana sudah hilang. Tapi jembatan kecil di atas kolam buatan itu masih ada. Dulu aku menanam ubi di bawahnya. Mungkin kalau digali, masih ada sisa-sisanya. Tapi aku tak mau menggali. Aku sudah cukup.
Aku tak mau mengingat. Aku tak mau melihat wajahnya di bayanganku. Aku tak ingin merasa seperti dulu, seperti anak kecil yang tak bisa melawan.
Air mata menetes tanpa bisa kucegah. Rumah-rumahan kecil yang dulu di pojok taman seakan-akan masih ada. Padahal sudah lama dihancurkan. Aku tak pernah benar-benar ingin kembali. Jari-jariku mencengkeram pagar kayu itu. Sakit. Tapi kalau kulepas, mungkin kakiku tak akan kuat menopang tubuhku.
Aku menutup mata. Menarik napas perlahan. Terapisku bilang, hitung mundur dari sepuluh. Lalu pergi.
Sepuluh. Aku dikunci berjam-jam di dalam gudang belakang. Kakakku diam-diam memberiku air dan sepotong roti lewat jendela. Ia ketahuan, lalu dipukul.
Sembilan. Aku ingin buang air kecil. Aku menangis, teriak, meronta, hingga dia menarikku ke luar lewat pintu samping. Aku jongkok di dekat dinding, menggigil. Teman-temanku mengintip dari pagar, aku malu. Tapi aku tak tahan lagi. “Banyak gaya! Pipis aja susah!” katanya. Air hangat membasahi kakiku, dan aku menahan tangis. Pergelangan tanganku sakit saat dia menarikku masuk lagi.
Delapan. “Gantung aja dia! Biar kapok! Cek kantongnya, siapa tahu dia nyolong duit jajan. Goyangin, biar semua jatuh!”
Tujuh. “Kalau kamu cerita ke siapa-siapa, kamu bakal mati. Bukan cuma kamu. Adikmu juga.”
Enam. “Kakakmu pintar, adikmu cantik… kamu? Kamu cuma beban. Cuma bikin susah. Aku yakin orang tuamu nyesel punya kamu.”
Lima. Kami di sungai kecil, berenang bareng. Dia ikut turun. Awalnya seperti biasa. Tiba-tiba dia menenggelamkan kepalaku. “Ayo, tahan napas!” Aku panik. “Kamu nggak bisa berenang ya? Udah, duduk aja di pinggir, jangan ganggu yang lain.”
Empat. Ranjang bertiang putih itu dulu kubanggakan. Aku merasa seperti putri. Tapi malam itu, dia datang. “Kamu nggak pantas hidup!” Bisikannya sambil menyakitiku, membuat tubuhku kaku.
Tiga.
Dua.
Satu.
Aku berdiri. Melangkah pergi. Badanku masih terasa sakit. Jiwaku lebih parah. Rumah ini, kampung ini, menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Aku tak ingin kembali lagi.